webnovel

living in a nightmare

Waktu kecil kita sangat mudah menyuarakan mimpi kita. Namun, seiring berjalannya waktu kita sadar akan arti dari sebuah mimpi tersebut dan keadaan itulah yang menuntut kita untuk lebih memahami diri sendiri. Mimpi Ve hanya satu ketika dia mulai menginjak umur belasan tahun: ingin hidup damai dan normal tanpa tekanan dari pihak manapun. Namun, tuhan belum mengabulkan mimpi tersebut, bukan kebahagiaan dan tawa yang menghiasi harinya justru hari-hari Ve bertambah buruk setiap hari. Hingga suatu hari takdir mempertemukannya dengan Elios, laki-laki yang memiliki senyum secerah mentari dan penuh percaya diri. Bersama Elios dan kedua temannya, Ve merasa diperlakukan sewajarnya walau terkadang diacuhkan. Namun, itu lebih baik daripada mendapat tekanan setiap saat. Ve merasa dirinya lebih hidup dan berwarna bersama mereka walau dia tahu bahwa hari yang buruk akan datang. Petualangan demi petualangan bermunculan di hidup Ve, gadis itu tumbuh menjadi lebih pemberani dan percaya diri. Namun, saat kepercayaan dirinya mulai berkembang bencana yang memukul hati datang menghujam. Dunia mimpi dan kenyataan bagaikan jebakan untuk Ve dan Ve harus memilih sebuah pilihan sulit, akankah dia memilih dunia mimpi yang penuh fantasi untuk ditinggali ataukah kembali ke dunia asalnya dan mengejar mimpi yang sempat tertunda? Apa mimpi Ve yang sempat ia tunda? Dan apakah hidupnya baik-baik saja atau dia hanya berada dalam khayalan semu?

Acha_bii · Fantasía
Sin suficientes valoraciones
2 Chs

Chapter 1: My Family is Not Mine

Angin berhembus dengan perlahan seolah berusaha menyampaikan pesan rahasia, di pinggir pantai yang damai seorang gadis berambut hitam sepinggang duduk manis di atas hamparan pasir putih.

Suara deburan ombak dan kicauan burung menjadi musik alami yang dia dengar, sambil memejamkan kedua mata gadis itu menikmati kedamaian yang jarang dia rasakan.

Bayangan-bayangan indah berputar di dalam kepalanya bagaikan film lama yang sangat dia rindukan, tanpa dia sadari senyuman manis terukir di wajah putihnya yang pucat.

"Veronica!" sebuah teriakan yang hampir setiap waktu dia dengar, dengan malas gadis itu membuka mata dan menatap hamparan laut biru di depannya.

"Aku harus pergi." ucap Ve lirih lalu memejamkan mata.

"Cepat bangun!" seru seorang wanita dengan nyaring sambil menarik selimut dan melemparnya ke arah Ve.

Ve membuka matanya dengan cepat saat selimut itu jatuh tepat di atas wajahnya, Ve mendudukan badannya yang terasa lelah di pinggiran kasur.

"kamu liat jam berapa sekarang?! cepat antar susu-susu itu!" bentak Audrey mamah dari Ve.

"iya mah, setelah bersiap aku akan mengantarnya." Ve bangkit dari kasurnya hendak menuju kamar mandi tapi tertahan karena tarikan dari Audrey.

"Jangan beralasan! kamu sudah terlambat jangan buat masalah yang akan membuatmu semakin terlambat!" Audrey terus membentaknya hingga lantai bawah.

Ve meninggalkan rumah dengan sepeda dan sekeranjang penuh botol susu, dia berkeliling komplek untuk menaruh sebotol susu di depan rumah setiap pagi sebelum Ve berangkat sekolah.

Keluarganya hanyalah keluarga kecil yang selalu berkekurangan. Kedua orang tuanya bercerai saat Ve masih berumur lima tahun dan Audrey mengambil hak asuh atas Ve dan adik kembarnya Felicya. Audrey membanting tulang untuk membesarkan kedua anak perempuannya seorang diri, hingga suatu hari Audrey bertemu dengan pria tampan dan mulai jatuh hati dengannya.

Sang ibu rela melupakan anaknya demi tersenyum bersama pria asing itu, di saat yang bersamaan Felicya mengidap penyakit gagal ginjal. Ve berusaha keras mencari uang untuk membawa adiknya berobat hingga terpaksa harus putus sekolah. Namun, suatu hari saat pulang Ve dikejutkan dengan kondisi rumah yang berantakan dan ibunya yang mabuk berat, ditambah celengan yang selama ini dijaga sudah kosong.

Pria itu menghilang setelah membawa harta Audrey, Ve tersenyum miring mengingat kejadian kala itu. Dia sangat mengingat dengan detail saat ibunya mengamuk di rumah dan mengambil uang Ve, bahkan Audrey tak segan-segan memukul Ve dengan kuat.

Ve memarkirkan sepedanya di teras rumah lalu berlari menuju kamarnya di lantai dua, dia harus bergerak gesit dan cepat kalau tidak ingin terlambat sekolah.

sepuluh menit kemudian Ve berlari turun, seperti hari-hari sebelumnya Ve dihadapi pemandangan yang menyesakkan hati, bagaimana tidak?

Audrey sang ibu memasangkan helm kepada Felicya dengan tatapan lembut, tatapan yang Ve rindukan dari sosok seorang ibu, Ve menarik napas panjang sebelum menuju teras.

"Mah, aku berangkat ke sekolah dulu." ujar Ve di samping Audrey.

Hanya deheman kecil yang Ve dapatkan, Ve menulikan pendengarannya dan bergegas pergi dari rumah itu.

Felicya selalu mendapatkan perilaku spesial dari Audrey yang terkesan pilih kasih, Felicya selalu mendapatkan perhatian lebih dan mulai besar kepala.

Mengingat hal itu Ve menitikkan air mata yang langsung diusap kasar dengan tangannya, "jangan jadi cengeng, kamu gak kalah spesial Ve!" gumamnya.

Ve sampai di sekolah sekitar sepuluh menit kemudian dengan gerbang yang hampir tertutup, beruntung gadis itu berhasil masuk sebelum gerbang benar-benar ditutup. Di depan kelas dia disambut dengan senyuman Felicya, senyuman kemenangan lebih tepatnya.

"Aku kira kamu akan terlambat hari ini." ucapnya sambil memainkan ujung rambut bergelombang miliknya.

"Aku tidak akan terlambat." ucap Ve pelan sambil melangkah melewatinya.

Meskipun kembar Ve dan Felicya memiliki banyak perbedaan bahkan mereka berdua sangat berbeda. Ve dengan rambut panjang dan hitam miliknya berbeda dengan rambut coklat bergelombang milik Felicya, ditambah gaya bicara dan berpakaian mereka sangat berbeda. Satu-satunya hal yang sama dari mereka hanyalah bulu mata yang lentik. Bahkan tidak banyak yang tahu kalau mereka adalah anak kembar.

###

Satu sekolah dengan adik sendiri adalah hal yang dihindari Ve, bukan karena dia tidak ingin menjaga adiknya tapi karena dia juga membutuhkan waktu untuk menyendiri dan bebas.

Takdir justru menyatukan Ve dengan adiknya bahkan Audrey yang meminta agar mereka menjadi satu kelas, Ve terus memberontak dalam hati dia tidak memiliki keberanian untuk mengungkapkannya.

Felycia dengan segala kekurangannya selalu melimpahkan tugasnya kepada Ve dan tidak sedikit meminta uang kepada Ve hanya untuk mentraktir teman satu gerombolan mereka, secara diam-diam tentunya, Felicya tidak ingin mereka tahu fakta bahwa dia bersaudara dengan Ve, Ve yang dikenal pendiam dan penyendiri di dalam kelas.

Bel istirahat sudah berbunyi, hampir semua murid berhamburan keluar dari kelas menuju kantin. Merasa senang harus keluar dari kelas yang sumpek yang dipenuhi dengan pelajaran. Namun, berbeda dengan Ve gadis itu masih duduk di kursinya yang berada di nomor dua dari belakang.

Ve melirik ke luar jendela, dimana lapangan dipenuhi murid yang berlalu lalang. Seseorang memukul meja Ve keras membuat Ve harus menahan rasa terkejutnya selama beberapa detik.

"Waktunya ke kantin!" Seru Airyn, orang yang duduk di samping Ve.

"Mau sampai kapan sih kamu gebrak mejaku?" tanya Ve kesal.

Airyn hanya cengengesan, "sampai lulus. Udah ayo kita ke kantin!" gadis berambut pendek sebahu itu menarik tangan Ve manja.

"lain kali aja, aku males." balas Ve yang menaruh kepalanya di atas meja.

Airyn menghembuskan napas kasar, seolah paham dengan sifat Ve gadis itu pergi sendiri tanpa memaksa Ve ikut bersamanya.

"Yaudah aku pergi, dasar penunggu kelas." bisik Airyn sebelum pergi.

Ve memandangi kepergian Airyn, satu-satunya orang di kelas ini yang peduli dengan dirinya dari awal bertemu. Ve memasang earphone yang selalu dia bawa, detik berikutnya alunan musik terdengar di telinganya, membuat Ve memejamkan matanya perlahan.

Alunan musik yang tenang seolah mengantarkan Ve ke dalam hijaunya padang rumput, dibawah sinar mentari dan hembusan angin sepoi-sepoi Ve merasa nyaman.

Ve telah berada di dunia impiannya, dunia yang damai. Namun, kedamaian itu sirna saat Ve mendengar suara deringan besi yang saling bertubrukan.

Dengan penasaran Ve mencari asal suara yang telah menghancurkan mimpi indahnya. Di kejauhan Ve melihat dua sosok laki-laki sedang beradu pedang, pergerakan mereka sangat cepat diikuti suara nyaring dari pedang mereka.

"Siapa mereka dan kenapa pakaian dan pedang mereka aneh?" tanya Ve untuk dirinya sendiri.

Pakaian mereka aneh dan seperti tokoh dalam film fiksi kebanyakan, hanya warna pedang yang menjadi ciri antara mereka.Ve memperhatikan seorang dengan pedang berwarna biru, sebiru kristal. Orang itu terlihat kewalahan dan memiliki luka di tangan kanannya, terlihat dari noda warna merah pada pakaiannya. Sedangkan yang satu lagi memegang pedang berwarna hitam pekat, dia terlihat lebih meyakinkan untuk menang daripada lawannya.

Ve masih setia menonton perkelahian dari balik semak-semak dengan serius dan dia tidak menyadari seseorang mengarahkan pisau di lehernya.

"Jangan bergerak!"

Adakah pemikiran tentang kisah saya? Tinggalkan komentar dan saya akan membaca dengan serius

Acha_biicreators' thoughts