webnovel

LINDAP

Lindap mengisahkan tentang Alra, putri dari pasangan suami - istri bernama Dian, dan Aisyah. Kedua orang tuanya memutuskan untuk pindah dari kota besar menuju kota kecil di pulau Jawa. Awalnya kehidupan Alra berjalan dengan baik-baik saja, hidup dengan sederhana karena pekerjaan ayahnya yang selalu berganti tempat. Akan tetapi, ketika Alra mulai duduk di bangku SMP, perselingkuhan ayahnya dengan Susi mulai terjadi, dan Alra ketahui tanpa sengaja. Hal itu membuat sekolahnya menjadi tidak terarah, Aisyah juga menjadi berbeda, dan lebih memilih untuk mendatangi berbagai dukun agar suaminya kembali pulang. Tak hanya permasalahan keluarga yang dia terima, dampak dari permainan dukun yang dilakukan Aisyah pun dia terima dengan gangguan yang hantu-hantu itu berikan. Alra semakin tidak tenang dengan kehidupannya di rumah, dia lebih suka di sekolah untuk bertemu dengan teman-temannya, tapi rupanya di sekolah pun masih ada konflik yang menurutnya lumayan rumit. Berbagai macam masalah datang secara bersamaan, tapi suasana yang memanas berubah manis ketika dia duduk di bangku kelas 9 semester akhir. Bertemu dengan cowok bernama Hazel merubah dunianya yang terasa hambar, banyak yang berubah menjadi manis, dan lebih berwarna. Alra juga bertemu dengan orang-orang yang sama rasa dengannya, terutama dengan masalah keluarga yang sama. Mereka berbagi cerita, dan memberikan uluran tangan agar gadis itu semakin kuat.

meybulansafitrii · Adolescente
Sin suficientes valoraciones
156 Chs

EMPAT BELAS

Bell pergantian kelas telah terdengar sejak beberapa menit yang lalu, tapi Alra masih diam di tempatnya dengan helaan napas kasar. Rasanya sangat malas untuk beranjak dari kelasnya saat ini, padahal kelasnya sudah sepi, dan hanya dirinya yang ada di dalam sana.

Mereka semua telah pergi, meninggalkan kelas dengan seragam merah putih, dan tas masing-masing.

Alra beranjak, melihat ke arah luar kelas melalui jendela kaca. Terlihat teman kelasnya tengah berbaris dengan rapi sambil menunggu guru olahraga. Dia segera mengambil seragam olahraga sekolah lamanya, menggantinya di dalam toilet yang tak jauh dari kelas dengan cepat. Setelah menyimpan seragam merah putihnya dengan aman, Alra mulai berlari menghampiri teman-temannya.

Semua pasang mata tertuju pada Alra, ketika gadis itu mendekat, anak-anak itu bergegas mengambil posisi dengan teman yang menjadi pasangan masing-masing.

Alra tertawa miris dengan lirih, mereka semua sangat jahat. Tidak ada yang mau berpasangan dengannya, tapi Alra tidak peduli. Dia mengambil posisi barisan paling belakang sendirian dengan wajah yang di tekuk.

Tak lama kemudian pria gempal dengan kaos olahraga berwarna hijau datang.

"Kita gak olahraga  hari ini," ucap pria itu.

"Lah! Pak, kenapa?" sahut seluruh anak-anak kecuali Alra.

"Saya ada  rapat dadakan, kalian olahraga sendiri aja ya! Ruang olahraga buat penyimpanan barang gak saya kunci, ambil aja alat olahraga apa yang kalian suka!" jelas Pak Mus lagi dengan kening bertaut dalam karena terik matahari, "Oke, saya pergi!"

"Hat-hati Pak!" ucap Tina dengan keras.

Pria itu mengangguk, dan berlari pergi menuju tempat parkir khusus guru yang ada di dekat pohon besar. Entah pohon apa itu, tapi terlihat seperti pohon mangga yang tidak berbuah. Alra merasa hari ini sangat sial karena harus mengganti pakaiannya lagi, dan kelas kali ini sangat membuang waktunya yang berharga.

Gadis itu melenggang pergi, meninggalkan teman-temannya yang sibuk membicarakan permainan yang akan mereka lakukan nanti. Pembicaraan yang sangat tidak di minati Alra membuatnya bergegas pergi, dan mengganti seragam sekolahnya.

Setelah mengganti, dia kembali pergi meninggalkan kelas. Halaman sekolahnya semakin sepi, helaan napas panjang kembali dia keluarkan dengan berat. Kakinya mulai mengambil langkah maju, berjalan dengan lamban sambil menikmati sinar matahari yang sangat bagus untuk ke sehatan.

"Aw!" pekik Alra, membalikan badan dengan salah satu tangan yang menyibak ke belakang.

Keningnya semakin bertaut dalam ketika melihat gadis yang lebih tinggi darinya menangis tersedu-sedu. Teman-temannya yang lain menatap Alra dengan sinis, salah satunya yang bertubuh gempal berjalan mendekat. Namun, Alra sibuk dengan bagaian punggungnya yang tertempel kertas kosong.

"Heh! Kamu ini anak baru, adik kelas, udah berani ya bikin kakak kelas nangis! Temen aku nangis gara-gara kamu!" ucapnya dengan begitu ketus.

Alra masih sibuk dengan kertas kosongnya, kemudian dia menatap gadis gempal itu dengan tatapan yang lebih sinis.

"Minta maaf dong! Gara-gara kamu luka yang ada di wajahnya, yang harusnya kering malah berdarah lagi!" teriaknya lebih ketus.

"Lah? Kok salah gue sih? Lo yang salah, lo yang marah!" sahut Alra.

"Nyolot ya jadi orang!"

"Lo kan yang nempelin ini? Kertas gak guna yang di tempelin ke punggung gue, terus sekarang nyalahin gue?" teriak Alra lebih keras sambil melempar kertas kosongnya pada wajah lawan bicaranya.

"Berani ya!"

Alra tersenyum miring.

"Gak waras!" ucap Alra sebelum akhirnya melenggang pergi dengan lagak sombongnya.

***

Gadis itu berdiri di ambang pintu kantin, dia masih berpikir untuk masuk atau tidak karena merasa tidak nyaman berlama-lama di dalam kelas, akhirnya Alra melangkah masuk. Duduk di salah satu meja yang dekat dengan jendela kaca besar.

Perhatiannya berpusat pada langit biru yang membuat moodnya semakij baik kali ini. Ia tertawa kecil, menyandarkan punggungnya pada punggung kursi, dan menoleh ke arah samping. Helaan napas kembali keluar, dia merasa jengah dengan orang-orang yang terus menghampirinya tiada henti.

Kedua tangannya mulai di lipat di depan dada, menatap dengan datar beberapa teman laki-laki yang satu kelas dengan Alra.

"Apa?" tanya Alra.

"Kamu tuh udah bikin lena nangis bukannya minta maaf, malah lipet tangan kaya orang yang paling jago!" sahut Daffa dengan kening bertaut dalam.

"Aduh! Yang salah itu temenmu, ngapain juga dia naro kertas di punggung aku? Salah kan? Gitu nyalahin balik, gak waras!"

"Heh! Kamu tuh yang gak waras, anak baru udah berani aja!" sahut Dipa ketus.

Alra tertawa terbahak-bahak hingga perutnya sakit, tapi detik berikutnya tatapannya kembali menjadi datar, dan sinis.

"Terus kalau anak baru harus tunduk sama yang namanya senioritas? Gak akan! Lo aja sana yang tunduk, gue gak mau!" sahut Alra.

"Eh! Bilangnya lo gue segala, udah kaya orang yang paling berkuasa aja kamu ya Al! Bukannya minta maaf malah belaga sok keras di sini!" ucap Daffa.

Alra kembali menghela jengah, kepalanya semakin sakit karena harus berurusan dengan orang-orang seperti mereka.

"Apa sih ha apa? Lo mau apa dari gue? Waktu gue tuh kebuang gara-gara lo semua, mendingan pergi deh kalau gak penting!"

"Minta  maaf Alra, minta maaf!" ucap Daffa sambil menekan setiap kata yang dia keluarkan.

"Aduh! Gak mau, gue gak mau minta maaf! Gue gak salah Daffa, gue gak salah!"

"Terserah kamu aja deh, nanti kalau guru panggil atau kepala sekolah yang panggil, aku gak tanggung jawab!" ucap Daffa sebelum akhirnya pergi bersama Difa, dan Uken.

"Dih! Siapa juga yang minta pertanggung jawaban atau pertolongan dari lo? Gue gak salah, jadi gue gak takut!" sahut Alra setengah berteriak.

Daffa tak menggubris, dia tetap fokus dengan perjalanannya kali ini. Sementara Alra yang mulai emosi mencoba untuk bernapas dengan tenang, menetralkan lagi mood yang baru saja kacau menjadi lebih baik.

Orang-orang di sini terlalu aneh untuknya, apa lagi dengan mereka yang meminta permohonan maaf darinya. Padahal Alra tidak salah, kakak kelas itu yang salah, dia adalah korban yang tertuduh menjadi pelaku.

"Alra!"

Panggilan yang terdengar seperti ingin mengajak perang itu membuat Alra  mendengus kesal. Dia menoleh, dan mendongak, menatap Hendrik tajam dengan kening bertaut dalam.

Cowok itu tertawa kecil, dan ikut duduk berseberangan dengan Alra. Entah apa yang dia lakukan di sini, Alra muak melihat wajah sok ganteng itu.

"Kamu yang ngebuat temen kelasku nangis ya? Dia nangis dari tadi gak berenti-berenti, katanya sakit banget bagian mata. Itu gara-gara jatoh dari sepeda, terus waktunya kering malah kekelupas lagi," ucap Hendrik.

"Bukan gue Hendrik, bukan gue!" sahut Alra ketus.

"Terus kronologinya gimana kalau bukan kamu?"

"Tadi tuh gue jalan, terus tiba-tiba ada yang nempelin kertas di punggung. Refleks aja gue balik sambil hempasin tangan ke belakang. Gue  gak salah, yang salah mereka!"

"Kalau kamu gak salah kenapa mereka bilang kamu salah?"

"Mana  gue tau, intinya gue gak salah, dan gak mau minta maaf!"