Sepanjang perjalanan pulang ke rumah, Joy bertanya-tanya apakah ayahnya sudah pulang ataukah masih di luar?
Alangkah senangnya jika dia bisa melihat ayahnya menyambutnya pulang.
Keinginannya terkabul, dia melihat ayahnya duduk disana persis sama seperti kemarin.
"Papa, Joy sudah pulang."
Mendengar putrinya yang menyapanya, si ayah segera mematikan tivinya.
"Bagaimana pelajarannya? Apakah masih ada kesulitan?"
"Tidak ada. Sungguh ajaib sekali. Untuk pertama kalinya Joy bisa langsung mengerti apa yang dijelaskan ibu guru."
Mendengar ini ayahnya tertawa dengan bangga.
"Tentu saja, putri papa kan sangat pintar."
Hati Joy serasa melayang jauh dan tubuhnya terasa ringan seakan-akan dia memiliki sayap di punggungnya. Dia tidak pernah merasa sesenang ini sebelumnya.
"Apa hari ini kau mau menemani papa jalan-jalan?"
"Iya!" seru Joy dengan penuh semangat tidak peduli apakah tempat tujuan mereka akan membosankan atau tidak.
Dia lebih memperdulikan untuk menghabiskan waktunya bersama ayahnya.
Setelah berganti pakaian, Joy dan ayahnya segera pergi ke suatu tempat. Tempat itu adalah sebuah taman dimana ada banyak berbagai macam tanaman dan permainan untuk anak-anak kecil.
Joy bisa melihat sepasang suami istri membawa anak-anak mereka bermain disana.
Joy tidak mengerti kenapa mereka datang ke tempat yang dikhususkan untuk anak kecil. Dia sudah bukan anak kecil dan tidak mungkin dia bermain ayunan atau merengek minta dibelikan permen gulali seperti yang dilakukan anak-anak disana. Namun dia tetap berjalan mengikuti ayahnya.
Jalanan yang mereka lewati penuh dengan berbagai macam bunga di kedua sisinya membuat dirinya menikmati pemandangan indah disekitarnya.
Ada suara anjing yang menggonggong dengan riang sambil berlari bersama anak kecil laki-laki. Ada juga anak yang merajuk minta digendong atau ingin makan es krim pada orangtuanya.
Joy melihat sekelilingnya dan rasa iri muncul didalam hatinya. Dia juga ingin merasakan indahnya masa kanak-kanak. Sepertinya dia tidak memiliki masa-masa indah seperti anak-anak yang dilihatnya.
Setelah beberapa menit berjalan, jalanan yang mereka lewati terasa lebih sepi dari sebelumnya.
Kening Joy semakin mengerut saat mereka menemui dinding yang ditutupi secara rapat oleh dedaunan rambat. Mereka menemui jalan buntu. Atau setidaknya itu yang dipikirkannya sebelum akhirnya ayahnya memasukkan tangannya ke antara daun tersebut dan mengangkatnya kesamping.
Ajaib sekali, terdapat sebuah terowongan di balik dedaunan rambat tersebut. Sayangnya terowongan tersebut sangat gelap seolah tidak ada penerangan sama sekali didalamnya.
"Apa kau penasaran?" tanya ayahnya
Iya, tapi dia tidak penasaran tempat apa itu. Dia penasaran mengapa ayahnya membawanya ke tempat ini. Ditambah lagi dia memiliki rasa takut pada gelap. Dia tidak suka gelap. Dia bahkan sangat membenci kegelapan.
Dia akan selalu menyalakan lampu kecil di kamarnya tiap kali dia tidur. Terkadang dia tidak bisa tidur jika ada terang yang masuk kedalam matanya. Sehingga dia akan memakai penutup mata agar sedikit sekali terang yang masuk menembus kelopak matanya.
Memang terdengar konyol, tapi itulah dirinya. Joy tidak akan bisa tidur didalam kegelapan namun juga tidak bisa tidur jika terlalu terang.
Dan kini, ayahnya mencoba mengajaknya berjalan memasuki terowongan gelap itu. Dia merasa dia akan memasuki mimpi buruknya kembali dimana dia berada ditengah kegelapan yang tidak memiliki ujung.
"Apakah aman?"
Gardnerr tersenyum lembut saat menjawab pertanyaan putrinya.
"Tentu saja. Kau tidak akan menyesal."
Joy menelan ludah tanpa sadar tubuhnya menjadi kaku tak bergerak. Dia sungguh ingin menolak dan segera pulang ke rumah. Dia ingin mengunci dirinya didalam kamar dimana dia bisa merasa aman.
Namun, dia juga tidak bisa menolak ajakan ayahnya. Keinginannya untuk lebih mengenal ayahnya juga tidak kalah besar dibandingkan rasa ketakutannya.
"Joy, kau tidak perlu takut. Ada papa disini."
Gardnerr melihat putrinya menatap lurus kearahnya. Dia bisa melihat sinar ketakutan menari di kedua mata putrinya.
Sedetik kemudian, tangannya yang sedari tadi menahan tanaman rambat itu, menarik kembali tangannya. Kini terowongan yang gelap itupun kembali tak terlihat dan tersembunyi oleh 'tirai' dedaunan rambat.
"Bagaimana kalau kita kembali dan cari tempat duduk yang nyaman?" ajak ayahnya.
Untuk sesaat mata Joy mengerjap beberapa kali. Dia bertanya-tanya apakah dia telah membuat ayahnya marah? Apakah ayahnya tidak akan mengajaknya keluar bersama lagi setelah ini? Apakah ayahnya menyesal telah mengajaknya keluar?
Memikirkan hal ini membuat Joy merasa takut. Bukan karena soal terowongan gelap itu, tapi dia takut dia tidak akan memiliki kesempatan ini lagi.
Rasa ketakutannya jika ayahnya akan meninggalkannya jauh lebih besar daripada rasa takutnya akan gelap. Karena itu dia membuat sebuah keputusan yang tidak pernah ia bayangkan sebelumnya.
Joy mengepalkan kedua tangannya untuk memberinya keberanian.
"Papa, Joy mau lihat apa yang ingin papa tunjukan didalam sana."
Joy sama sekali tidak menyadari bahwa suaranya bergetar saat mengucapkannya. Namun Gardnerr menyadarinya.
Gardnerr mengulurkan tangannya dihadapan putrinya yang sedang termenung.
Melihat tangan yang terulur itu, Joy mengulurkan tangannya sendiri dan menggenggam tangan besar ayahnya.
Kapan terakhir kali dia menggandeng tangan kedua orangtuanya? Dia sama sekali tidak ingat.
Hangat. Itulah yang dirasakan Joy saat tangan ayahnya menggenggam tangannya yang kini tampak lebih kecil dimatanya. Ternyata tangannya jauh lebih kecil dibandingkan tangan ayahnya.
Joy mengangkat wajahnya dan saat melihat senyuman lembut ayahnya, Joy merasa tenang.
'Kau tidak perlu takut. Ada papa disini.'
Kata-kata itulah yang memberinya sebuah keamanan. Dia mempercayai ucapan sang ayah seutuhnya.
Mereka berdua masuk kedalam terowongan... persis yang diduganya, dia sama sekali tidak bisa melihat. Gelap gulita.. tidak peduli seberapa jauh dia berjalan, dia tidak menemukan cahaya sama sekali.
Satu-satunya yang bisa membuatnya bertahan dan melangkah dengan berani adalah genggaman ayahnya.
Sekitar lima menit kemudian, Joy mendengar sesuatu. Suara seperti air mengalir dan kicauan burung. Dia juga merasakan hembusan angin dari arah depannya.
Semakin jauh mereka berjalan, sebuah cahaya mulai terlihat dihadapan mereka. Begitu keluar dari terowongan, kedua matanya disambut oleh cahaya matahari yang menyilaukan.
Setelah mulai terbiasa dengan terang, kini matanya disambut oleh pemandangan yang tidak biasa.
Burung-burung dengan warna indah berterbangan di langit dengan bebas, sebuah danau kecil namun sangat indah dengan air yang jernih. Joy bahkan hampir bisa melihat hingga ke dasarnya.
Berbagai macam bunga yang indah menghiasi tempat itu. Bahkan ada beberapa bunga yang belum pernah ia lihat sebelumnya menari dengan cantik disekitar mereka. Dia juga melihat banyak kupu-kupu beraneka ragam berterbangan di atas bunga-bunga.
Belasan pohon.. tidak.. Puluhan pepohonan berdiri dengan tegak mengelilingi tempat itu, seolah pepohonan tersebut ada untuk melindungi tempat ini.
Joy mencoba menghirup udara tersebut dengan satu hirupan yang panjang. Udara disana sangat bersih dan segar. Dia bisa tinggal disana berhari-hari dan tidak akan bosan.
"Tempat apa ini?" tanya Joy
Terlihat sekali bahwa Joy sangat menyukai tempat itu.
"Oasis milik papa."
"Oasis?"
"Disaat ayah mendapat tekanan atau sudah tidak kuat untuk menghadapi kehidupan ini, papa akan kesini untuk menenangkan diri. Tidak ada yang tahu tempat ini. Jadi rahasiakan tempat ini dari siapapun."
"Termasuk mama?"
"Termasuk mama."
"Kenapa?"
"Kalau mamamu tahu tempat ini, maka tempat ini bukanlah oasis bagi papa lagi."
"..."
Joy terdiam tidak bisa membantah ucapan ayahnya.
Jika memang ibunya tidak boleh tahu mengenai tempat ini, lalu kenapa ayahnya membawanya ke tempat ini?
Gardnerr mengajak putrinya yang bengong untuk duduk di dekat danau.
Setelah itu dia mengeluarkan sebuah buku sketch beserta pensil dan memberikan kedua benda tersebut pada putrinya.
Joy memandang ayahnya dengan bingung, dan matanya membelalak saat beliau menyuruhnya untuk menggambar mengenai perasaannya saat ini.
Bagaimana perasaan Joy saat ini? Dia merasa sangat menakjubkan. Melihat pemandangan indah dihadapan matanya membuatnya seolah-olah dia sedang bermimpi indah.
Namun disaat yang sama, dia juga merasa bingung. Bagaimana kalau ini semua memang hanya mimpi? Sebenarnya dia juga sempat mencubit pipinya sendiri beberapa saat lalu. Jadi ini pasti bukan mimpi karena dia masih bisa merasa sakit.
Dia tahu persis seperti apa perasaannya saat ini. Tapi dia tidak tahu harus bagaimana untuk mencurahkan perasaannya dalam bentuk sebuah gambar.
Joy melirik ke arah samping untuk melihat ayahnya sedang larut dalam aktivitasnya.
Apakah mungkin ayahnya juga menggambar sesuatu?
Akhirnya Joy berusaha kembali fokus pada kertas putih besar dipangkuannya.
Setengah jam kemudian, Joy dan ayahnya menyelesaikan gambarnya hampir bersamaan.
Hasil gambar Joy merupakan sebuah dua buah gunung beserta setengah matahari diantaranya. Ada beberapa rumah berbentuk segiempat beserta atap dengan bentuk segitiga di sebelah kanan kertas. Disebelah kiri ada beberapa baris bergambar rumput dengan di tengah-tengan kertas ada jalan seperti jalan raya dari arah gunung menuju kebawah bagian kertas. Jalan tersebut membatasi bebarisan rumput disebelah kiri dengan beberapa rumah disebelah kanan.
Tidak lupa ada burung yang berbentuk huruf m melebar di bagian atas kertas serta dua buah mobil di bagian bawah kanan.
Hasil gambarnya sama persis seperti anak SD yang baru belajar menggambar.
Melihat gambar putrinya yang kekanak-kanakan, Gardnerr tertawa terbahak-bahak.
"Papa..." Joy menggerutu dan menarik buku hasil gambar ayahnya.
Begitu melihat gambar ayahnya, mata Joy tidak bisa lepas dari gambar itu. Dia sama sekali tidak tahu ayahnya bisa melukis seseorang dengan begitu nyata.
Anehnya, dia merasa sangat familiar dengan orang-orang yang ada disana. Tapi Joy tidak bisa mengingat dimana dia pernah bertemu dengan mereka.
"Papa, siapa mereka?" tanya Joy penasaran.
"Rahasia."
"Huh?"
Ayahnya tertawa geli melihat tingkah laku putrinya.
"Baiklah, sudah saatnya pulang."
Joy menurut dan mengembalikan buku hasil gambar ayahnya pada beliau.
"Simpan saja. Itu buatmu."
Joy bertanya-tanya untuk apa dia menyimpan gambar wajah-wajah yang tidak ia kenal. Namun karena gambar itu merupakan hasil gambar ayahnya sendiri, Joy tetap akan menyimpannya dengan baik.
"Oh tidak. Joy lupa membeli hadiah ulang tahun Meryl."
"Kalau begitu bagaimana kalau kita mampir mall sebentar."
Mereka berduapun pergi ke mall dan masuk ke beberapa toko ternama untuk mencari hadiah yang tepat.
Sayangnya, saat dia menemukan yang sesuai dengan selera Meryl, harganya sangat diluar pikirannya. Namun saat dia menemukan harga yang sesuai dengan anggarannya, dia yakin barang yang dibelinya pasti akan dibuang oleh gadis itu.
Joy menghela napas pasrah. Sepertinya mustahil jika ingin membelikan hadiah Meryl dengan anggaran dibawah lima puluh juta saja.
"Ada apa? Apa tidak ada yang cocok?" tanya ayahnya.
"Harganya yang tidak cocok. Rata-rata diatas lima puluh juta."
Yah, dia tahu Meryl juga pasti tidak akan menggunakan hadiah pemberiannya jika tahu anggaran yang ditetapkannya hanya lima puluh juta.
Joy yang dulu tidak akan peduli dengan keuangan keluarga mereka dan langsung membeli tas atau barang apapun seharga dua ratus juta tanpa pikir panjang.
Sedangkan Joy yang sekarang, dia merasa sayang jika harus mengeluarkan uang dua ratus juta hanya untuk sebuah tas sebagai hadiah ulang tahun temannya.
Terlebih lagi, temannya yang satu ini pasti akan menindasnya begitu keluarganya menjadi bangkrut.
"Seandainya saja ada tas seharga diatas dua ratus juta, tapi Joy hanya membayar lima puluh juya. Tidak mengeluarkan uangpun malah lebih baik." gumamnya lebih ditujukan pada dirinya sendiri.
Dia sama sekali tidak tahu bahwa ayahnya mendengar gumamannya dengan jelas.
"Baiklah. Sudah malam. Lebih baik kita pulang dulu."
Tanpa banyak bicara, Joy menurut dan mengikuti ayahnya.
Begitu mereka tiba dirumah, mereka melihat sebuah mobil sudah berada didalam halaman rumah mereka.
"Mama sudah pulang." seru Joy dengan girang.
Malam itu, sekali lagi keluarganya menghabiskan waktu makan malam dengan lancar.
Tampaknya ada suatu kejadian bagus yang menimpa ibunya. Beliau tampak tersenyum tanpa henti dan terus bersenandung.
"Mama kelihatan senang sekali." ucap Joy mencoba memancing sebuah percakapan
"Coba dengar apa yang terjadi hari ini. Hari ini kita tanda tangan kontrak dengan perusahaan asing. Mereka akan membangun sebuah hotel disini dan mereka ingin memakai jasa kita untuk design hotel mereka."
"Tidak hanya itu. Entah siapa yang menghubungi pengacara, tapi klien mama yang semula tidak mau membayar kaca yang retak, kini mau membayar beserta bunganya. Ternyata ini bukan yang pertama kalinya dia melakukan kecurangan."
Jantung berdetak dengan cepat. Kenapa dia merasa dia pernah mendengar topik ini?
"Kecurangan apa?"
"Dia sengaja merusak produk kita, dengan begitu dia bisa mengambil yang baru dan meminta harganya diturunkan beserta ukuran kaca yang lebih lebar."
"Memangnya boleh seperti itu?"
"Seharusnya tidak boleh. Tapi orang itu mengancam akan membawa kasus ini ke pengadilan. Ommu sama sekalj tidak berani ambil resiko dan menuruti kemauannya."
"Gara-gara ini usaha ommu mengalami kerugian besar tiap tahunnya. Tapi dengan kontrak ini, setidaknya ommu bisa bertahan selama dua tahun ke depan."
Pinalti.. Bukan yang pertama kalinya... Perusahaan asing... Kenapa Joy merasa semua ini berhubungan dengan ayahnya?
Joy mengamati sikap ayahnya yang tampak santai sambil menikmati hidangan makanannya.
Dia membandingkan penampilan ayahnya saat ini dengan kemarin malam di ruang kerja ibunya. Hal ini membuatnya sadar akan satu hal.
Alasan usaha saudara-saudara ibunya bisa bertahan hingga sekarang meskipun selalu mengalami kerugian besar tidak lain karena ayahnya selalu bekerja dibalik layar. Diam-diam ayahnya membantu ibunya menyelesaikan masalah usaha keluarga.
Papa, sebenarnya sudah berapa banyak yang telah kau perbuat untuk kami berdua? Seberapa banyak kami menyakiti hatimu tanpa memperdulikan pengorbananmu?
Joy segera menghapus air matanya, tidak membiarkan kedua orang tuanya menyadari perubahan raut mukanya.