webnovel

Flower 13

Ketika Quinn membuka pintu rumahnya, sebuah robot menyambutnya dengan suara nan kaku, "selamat datang, nona Flos." bersama dengan eskpresi di monitornya yang menampilkan wajah senang.

"Hallo, Q1. Apa kau merindukanku?" balas Quinn membiarkan saja saat robot itu mengambil barang bawaannya.

"Aku sangat merindukanmu, nona Quinn. Kita sudah tidak bertemu selama lebih 14 hari." empat belas hari. Ia tidak berpikir jika ia sudah berada di rumah keluarga Knox selama lebih dari dua minggu.

"Apa kau menjaga rumah dengan baik selama aku pergi?" robot itu bergerak mengikuti Quinn dengan kaki rodanya yang bergulir sepanjang lantai. Ekspresi yang ia tampilkan juga berubah-ubah, mulai dari senang, sedih dan kembali bersemangat lagi. "Tentu saja! Aku membersihkan rumah setiap hari."

Quinn bedecak, "tentu saja. Aku membawamu ke sini untuk melakukan pekerjaan rumah."

"Aku akan menyiapkan minuman untuk anda, nona Flos." robot itu pergi tanpa meninggalkan suara. Quinn melepaskan penatnya pada sofa berwarna putih di dalam ruangan apartemennya yang minimalis. Dia tinggal sendiri, sedangkan rumahnya berada di kompleks yang berada jauh dari keramaian, namun memiliki sistem penjagaan dan keamanan yang tinggi. Di satu sisi Quinn tidak menyukai keramaian, namun di lain sisi ia cemas berada di tempat yang tidak memiliki keamanan yang ketat.

Baru saja ia ingin memejamkan matanya, alat komunikasi dipergelangan tangannya sudah berbunyi sebelum menampilkan hologram yang memperlihatkan wajah bibinya.

"Bibi." sapanya.

"Kau sudah sampai di rumah?"

"Hmm… ya." jawab Quinn singkat. Dari yang terlihat di hologram, sekarang sang bibi sedang tidak berada di rumah.

"Aku dengar kau mendapatkan undangan keluaga Knox. Ini bagus. Aku menghubungimu agar kau tidak mengabaikan undangan ini." sang bibi berkata dengan nada yang serius.

Kabar ini diterima oleh bibinya lebih cepat dari yang ia kira.

"Aku ingat kau tidak ingin terlalu mencolok, tetapi kau bahkan berhasil menarik perhatian ibunya jenderal Xavier. Wanita itu punya kelasnya sendiri, dia memiliki standar yang tinggi dalam kehidupan sehari-hari, apalagi untuk pasangan anaknya. Aku tidak perlu terkejut lagi ketika mendengar kau terpilih."

"Bibi..." Quinn memotong ocehan sang bibi. "Itu karena nyonya Knox tidak tahu warna bunga yang ada di pelipisku. Jika ia tahu dia sudah mengeluarkanku sejak awal." Quinn tidak ingin membuat sang bibi menaruh harapan yang tinggi kepadanya maupun kepada keluarga Knox. Ia juga tahu bagaimana paman dan bibinya menaruh kekhawatiran padanya.

Dulu mereka tidak begitu mempermasalahkan dirinya yang masih belum menikah, sekarang mereka khawatir dengan Jacob Pan yang mengejarnya seperti bayangan. Tidak melepaskannya serta masih memperhatikannya di balik kegelapan, bersiap untuk menyeretnya memasuki kegelapan itu di saat ia sudah terlepas dari kelaurga Knox.

Tatapan mata Quinn menjadi lebih serius, ia menyapukan tangannya ke arah rambutnya, menyebabkan bunga abu-abu di pelipisnya terlihat dengan sempurna. "Bibi, bagaimana kau bisa medapatkan undangan itu?" sang bibi bisu seribu bahasa.

"Ini adalah pemilihan keluarga Knox, terlebih lagi ini untuk mencari calon istri jenderal Xavier. Kau sendiri mengatakan bahwa nyonya Knox adalah wanita yang sempurna dan pemilih. Secara logikanya saja dia tidak akan membiarkanku mengikuti pemilihan ini sejak awal." lanjut Quinn. Mungkin saat pertama kali mendapatkan undangan dari bibinya ia tidak begitu peduli, tetapi sekarang pertanyaan yang sama selalu menghantui dirinya. Bagaimana? Bagaimana sang bibi bisa menadapatkan undangan itu?"

Bibinya yang terlihat lebih muda dari usia aslinya masih enggan untuk membuka mulut, enggan untuk memberitahukannya kepada Quinn, "bibi, jika ini terus dibiarkan, saat kelaurga Knox mengetahui kenyataan, mereka akan menuntutmu dengan tuduhan penipuan. Ini akan memberatkanmu dan paman. Selain itu juga membuka peluang bagi Jacob Pan."

Tensi di antara mereka terasa meningkat walau hanya berkomunikasi dengan hologram. Dari dalam hologram, Quinn tidak menemukan kegoyahan sedikitpun dari sang bibi. Dengan suara yang tegas, wanita itu memecah kesunyian yang menyelimuti mereka, "Bagaimanapun, apapun cara yang aku lakukan untuk mendapatkan undangan itu, tidak usah kau pikirkan. Aku tidak melakukan hal ilegal. Jika nyonya Knox menyukaimu itu lebih baik."

Quinn mendesah, "bibi… apa kau tidak mendengar apa yang baru saja aku katakan? Aku tidak akan menghadiri jamuan makan malam nanti. Dan aku akan keluar dari pemilihan itu."

"Quinn, kau jangan bertingkah bodoh. Setelah kau keluar, Jacob Pan akan mendesakmu. Aku tahu itu. Apa yang akan kau lakukan setelah itu?" mereka sama-sama lelah, namun tidak ada satupun dari mereka berdua yang mau mengalah.

"Aku berencana untuk pergi ke planet lain." ujar Quinn tidak yakin.

Bibinya terdiam, memberikan Quinn tatapan tidak percaya, sebelum ia juga membuang nafas dalam. "Percaya padaku, dengan keadaanmu yang sekarang. Kau tidak akan bisa pergi meninggalkan planet ini." itu benar, karena orang dengan keadaan seperti dirinya, tidak akan diperbolehkan untuk memasuki planet lain dengan mudah.

Pada akhirnya, Quinn memutuskan untuk tetap datang ke undangan jamuan makan malam keluarga Konx. Undangan resmi yang menunjukkan tempat dan jam jamuan itu ia terima tidak lama setelah ia memutuskan panggilannya dengan sang bibi.

Mengikuti alamat yang telah diberikan, Quinn memandang keramaian ibu kota kerajaan Crescere dengan dagu yang bertopang pada tangannya. Langit Soul Planet malam ini dipenuhi dengan aurora bersamaan dengan meteor yang hampir seperkian detiknya berusaha menembus atmosfer. Pikirannya jauh entah kemana di saat supir di depannya memanggilnya.

"Nona, kita sudah sampai." bangunan di depannya adalah bangunan yang tidak asing untuk Quinn. Ini adalah restauran yang paling terkenal di seantero planet. Sebuah restauran bintang lima yang membutuhkan waktu tunggu lama agar dapat menikamti makanan di sana.

Malam itu Quinn menggunakan dress berwarna pastel yang terlihat sederhana. Meskipun sederhana, pakaian yang digunakannya terlihat menjadi seribu kali lebih menarik setelah dipasang di tubuhnya yang sempurna. Rambutnya ia biarkan terurai, sedangkan poninya juga menutupi pelipisnya. Apalagi jika bukan untuk menutupi bunga abu-abu yang ia miliki. Mungkin selama ini Quinn tidak begitu memikirkan pendapat orang lain, hanya saja, ia juga tidak suka menjadi pusat perhatian orang-orang.

Setelah memperlihatkan undangan yang tidak lupa ia bawa, pelayan restauran membawanya ke ruangan VIP yang telah keluarga Knox pesan. Menyapa dengan tutur kata beserta suara yang lembut, Quinn menjadi orang terakhir yang hadir dalam jamuan tersebut.

"Maaf aku terlambat." ujarnya, mencoba memberikan wajah bersalah kepada sang nyonya rumah yang telah terlebih dahulu datang dan duduk di baik meja bundar.

"Oh nona Flos, kau sudah datang. Tidak apa, kami semua juga baru datang." Quinn duduk di kursi yang masih tersisa— kursi yang berada di sebelah Seeli yang langsung berbisik kepadanya. "Kakak, kau sangat cantik malam ini."

"Hmm… kau juga." jawabnya dengan senyuman tipis di sudut bibir.

Setelah duduk, Quinn akhirnya mulai memperhatikan sekitar— memperhatikan siapa saja orang-orang yang telah ada di meja itu. Bukan hanya Seeli yang sudah datang, Youna yang kecantikannya sangat mendominasi malam itu juga sudah datang. Walaupun mata mereka bertemu, wanita itu tidak melemparkan senyuman kepada Quinn. Begitu pula dengan Quinn, gadis yang terkenal dingin dan jarang tersenyum di antara gadis-gadis yang lain.

Selain itu, bukan hanya nyonya Knox yang datang, namun jamuan itu juga dihadiri oleh nenek Knox. Seorang wanita tua yang rambutnya sudah memutih. Akan tetapi, style-nya masih tidak ingin ketinggalan jaman.

Dan terakhir, di sebelah sang nenek adalah, sang putra keluar itu Knox sendiri— sang jenderal Xavier Knox.