webnovel

Rumah Samping Kuburan

"kalau main, Maghrib udah harus balik ya sar. Ndak baik kalau main ke rumah orang sampe malam."

Aku menyampaikan niatku untuk sowan ke rumah adek dari ayah angkat ibuku. Rumah nya lumayan jauh dari rumah ini. Aku hanya rindu dan ingin bernostalgia, meski kenangan kenangan yang aku dapatkan dulu tak selalu baik, tapi aku begitu rindu masa itu. Kalau kata orang jaman now, gagal move on. Terang saja aku tak bisa move on, kenyamanan bersama mereka tak pernah bisa terganti.

"Iya mbak, insyaallah gak sampai malam. Aku cuma pengen jenguk saja, kata ibu beliau sakit." Ucapku meyakinkan sepupuku.

"Yowes nek ngunu, ati ati. Salam nggo Mbah ya."

***

Desa ini seperti surga, begitu indah. Dengan hamparan sawah yang menghijau dan gunung gunung yang menjulang tinggi. Mas Awi sengaja melambatkan laju kendaraannya, dia tahu persis jika orang di sebelahnya ini begitu merindukan tempat ini.

"Kenapa gak beli rumah di sini aja ma? Kayak nya mama suka."

"Engga pa, aku ga mau ada keributan lagi di antara aku dan keluarga budhe, nanti di kira kita pindah kesini karena mengharapkan warisan si Mbah."

"Apa sampai segitunya pikiran mereka ma?"

" Papa belum tau keluarga kami, mereka rela saling bunuh hanya karena harta yang tak seberapa. Aku hafal sekali sifat mereka, saling fitnah, serakah, bermuka dua. Tapi bagaimana pun mereka keluarga kita."

Aku melemparkan pandangan keluar mobil, membuka sedikit kaca mobil dan mengeluarkan tanganku.

"Subhanallah... Ademnya..." Gumamku memejamkan mata.

Tempat ini begitu asri, sampai pernah suatu hari ada orang yang di cari cari keluarga nya karena tak pulang setelah bekerja di sawah, alasannya cuma satu, betah.

"Sari.." suara familiar terdengar memanggil ku dari kejauhan.

"Ya Allah Mbah, pripun kabarnya?" Orang tua yang mau aku jenguk sekarang ada di hadapanku. Entah apa yang sedang beliau lakukan di tempat yang jauh dari rumahnya.

"Kata ibu,Mbah sakit? Kok bisa sampai sini Mbah? Kan harusnya istirahat."

"Mbah gak opo-opo, bosen nek omah. Ayo ayo Nang omah." Ucap si Mbah seraya menggandeng tanganku. Aku pun manut saja, sedangkan Amira dan mas Awi menyusul di belakangku dengan mobilnya. Mbah ngga mau di ajak naik mobil, katanya mual kalau bau mobil, heheheh.

"Kamu kok datangnya udah sore toh, nginep sini ya?"

"Sebenarnya tadi berangkat pagi dari rumah budhe, berhubung sari minta pelan pelan menikmati pemandangan, sampai sari lupa waktu."

"Ya wes nek gitu nginep sini ya?"

Aku tak menjawab, hanya tersenyum.

Memandang hamparan tanah kuburan samping rumahnya. Saat kecil dulu aku pernah bertanya. Apa ngga takut tinggal di samping kuburan? Tapi jawab Mbah dan keluarganya, apa yang di takutkan? Sejatinya manusia akan mati.

"Mbak.. sari dan mas Awi nginep di rumah Mbah Sul ya, besok sari pulang." Ku kirim kan SMS pada kakak sepupuku agar dia tidak cemas dan menungguku pulang.

"Ayo ayo makan, Selak Maghrib. Nanti kamu tidur di kamarnya om Lukman AE ya. Bocah e lagi kerja di luar kota, umpama de e ngerti nek kamu bakal kesini, pasti dia pulang. Soalnya beberapa waktu lalu dia membicarakan mu, katanya lama ga ketemu."

Kamar om Lukman dekat sekali dengan ruang keluarga dan kamar mandi. Kamar yang seakan akan lama tak di tempati oleh penghuni nya ini terasa pengap. Akhirnya aku buka jendelanya. Mataku mengerjap ngerjap, dibalik jendela aku lihat sosok pocong memandangku. Melayang dari kejauhan dan mendekati ku. Belum sempat pocong itu mendekat, buru buru ku tutup lagi jendela kamar itu.

"Lapo sar, Ono opo?" Tanya Mbah Sul mendekatiku. Aku menoleh padanya dan mundur beberapa langkah.

"Sesajen buat apa mbah?" Aku melihat Mbah Sul membawa sesajen di tangannya, lengkap dengan dupa nya.

"OOO biasa, nek malam Jumat memang selalu pasangan sajen, buat ngindari dari hal hal buruk. Terutama demit yang suka sekali mengganggu kampung ini."

"Demit Mbah ?" Seketika bulu kudukku berdiri, teringat sosok pocong di hadapanku tadi.

"Iya.. kampung ini dulu ramai kalau malam, banyak orang bercengkrama atau pun ngeronda. Tapi embuh, sejak kapan tiba tiba terdengar rumor adanya pocong di kampung ini. Gosipnya, pocong itu anak Bu Haji alwa, rumahnya di ujung kampung sana. Anaknya pengedar narkoba, dia mati karena over dosis. Prosesi pemakaman nya tak ada masalah, tapi setelah di makamkan baru muncul rumor pocong mengganggu dan minta tolong. Entah apa niatnya menghantui warga kampung sini."

" Mbah.." ingin rasanya aku cerita tentang pocong yang aku lihat di samping rumah tadi. Tapi aku urungkan, pasti si Mbah gak percaya.

"OPO nduk?"

"Hehehe.. laper." Ku alihkan pembicaraanku mengenai sesajen dan pocong. Perutku seharian baru di isi tadi saat sarapan dan di isi roti di perjalanan.

"Owalah .. ayo makan, mbak Yul mu udah masak special buat kamu dan nak Awi. Amira tidur, biar dia istirahat aja."

Ku tinggalkan Amira yang sedang tidur nyenyak di kamar, ku ikuti langkah kaki si Mbah yang masih membawa sesajen, mataku memperhatikan mulutnya yang sedang berkomat kamit dan meletakkan sesajen tersebut di ruangan yang berada di dapur. Setelah itu kami lanjut ke meja makan.

"Berapa hari Sar di malang? Ndak nunggu sampe 7hari nya Mbah Gimah mu?" Tanya mbak Yul sambil menyendok kan makanan ke mulutnya.

"Kayaknya ga bisa lama mbak, kan mas Awi juga harus kerja heheh, insyaallah nanti maen lagi."

Ku bantu mbak Yul merapikan meja makan dan membawa sisa sisa piring kotor ke dapur. Kurasakan ada sepasang mata sedang memperhatikanku, di tambah lagi dengan aroma kemenyan membuat aura dapur semakin tak karuan, parno, tegang, kebayang pocong tadi sore. Ah.. konyol, mungkin aku tadi sedang berhalusinasi. Mana ada pocong sore sore hahahha.. ku tepiskan pikiran pikiran burukku, hanya untuk menenangkan hatiku yang tak menentu.

*****

"Pa.. anterin ke kamar mandi yuk !!"

"Hemmm.. adem ma, besok aja ya.."

"Duh.. mules ini, yuk pa !"

Aku mendengus sedikit kesal, susah sekali membangunkan mas Awi yang sedang terlelap. Padahal dia orang yang mudah sekali bangun.

Kriiieeeekk..!!

Suara pintu kamar berderit, suasana rumah sudah sepi, jam dinding menunjukkan pukul 01.00 dini hari. Aroma kemenyan tak lagi ku cium, hanya saja ku rasakan banyak sekali mata yang menatapku tajam.

Kuurr...!!

Perutku berguncang lagi, alhasil berlarilah aku ke kamar mandi. Aku terkesiap setelah melihat pintu dapur yang aku kira langsung tembus ke kamar mandi.

" Lho.. kok ? Mana kamar mandinya ?" Gumamku sambil memegang perut yang mulai melilit. Aku menatap samar pada bangunan kecil di seberang dapur

"Mungkinkah itu kamar mandinya?" Jujur saja dari kecil aku main ke rumah ini, tak pernah sekalipun aku ke kamar mandi. Namun apes kali ini buatku, aku harus melewati pohon pohon randu dan kuburan.

"Ya Allah.. apa dosa ku, kenapa harus melewati kuburan? Kenapa pula kamar mandi ada di seberang rumah. Apa ga ada kamar mandinya di rumah ini?"

Aku yang masih ragu ingin melangkah keluar, menutup kembali pintu dapur.

Kuurrr...!!!

"Uuuuhhh ..." Ku buka kembali pintu dapur dan berniat berlari melewati pohon pohon randu serta kuburan tersebut. Tapi aku kembali terpaku, pintu dapur yang tadinya menembus ke halaman belakang, berubah menjadi kamar mandi.

"Lhooooh..!"

Perut mulai melilit lagi, tak lagi aku fikirkan apa yang terjadi barusan, yang pasti saat ini harus ku selesaikan dulu hajatku.

"Ma.. mama.." ku dengar suara suamiku memanggil dan mengetuk pintu.

"Iya pa, bentar mules."

Sejenak hening.. sepi.. bahkan suara hewan hewan malam pun tak terdengar.

"Pa.. papa.." panggilku, berharap suamiku menjawab panggilan ku. Tapi tetap sepi, tak hayal ku tuntaskan hajatku dan membuka pintu.

"Pa.. " ku panggil lagi, mataku menelusuri isi dapur, tak ku temukan siapapun.

"Ngapain ma?"

"Astaghfirullah haladzim." Kututup kembali pintu kamar mandi, jantung berdegup kencang tak karuan, mata pun mulai merebak ketakutan.

"Mama.." suara itu begitu nyaring di telinga ku. Aku pun menutup telinga, membuka pintu dan berlari sekencangnya masuk ke dalam kamar. Sesampainya di kamar ku tarik selimut yang di gunakan suamiku dengan kasar dan ku benamkan kepalaku kedalam bantal seraya beristigfar.