webnovel

Paparazzi

Berbagai hal berkecamuk di dalam pikiranku. Aku yang hampir terpental dari kabin Vini bersusah payah mengatur degup jantungku yang terpacu. Kedua tanganku masih erat berpegangan di kedua sisi kabin. Pandanganku memudar, bukan hanya karena debu yang beterbangan akibat kecepatan Vini, tetapi juga karena bayangan akan terjadi sesuatu yang berbahaya, karena berdiri di hadapanku sosok-sosok yang membuat kesan bahwa sebentar lagi akan terjadi perang. Skenario terburuk adalah aku tidak akan bisa keluar dari sini dengan selamat karena menyaksikan sesuatu yang seharusnya tidak kusaksikan.

'Miauuuww…Miaaauuwww' Bigul dan Tygul membawa perhatianku kembali ke saat ini.

Semuanya terjadi begitu cepat ketika tiba-tiba Ms. Gyna sudah berada di hadapanku dan Verya dan berkata,"Verya, ini bukan saat yang tepat. Kembali ke Aster Biru, sekarang!"

Mata ramah beliau yang membulat dan kalimatnya yang tegas menyadarkanku bahwa situasi ini sangat serius. 

Sejurus kemudian Ms. Gyna mematikan kamera depan Vini lalu berkata,"Matikan kamera belakang, cepat!" 

Verya terkesiap dan menuruti apa kata Ms. Gyna. Semua kamera kini telah non aktif. Verya tidak membantah atau berkata apapun. Sebaliknya, Verya menuruti semua kata-kata Ms. Gyna untuk kembali ke Aster Biru, setidaknya itulah yang akan dia lakukan karena mesin Vini kembali dihidupkan. 

Verya bersiap memutar Vini ketika tiba-tiba suara seorang pria mencegah kami untuk pergi.

"Tunggu, penyusup! Siapa yang mengizinkan kalian masuk ke sini?! Ini pelanggaran. Kalian memasuki wilayah tanpa izin! Bersiaplah untuk dituntut!" 

'Pria itu! Pria yang kulihat pertama kali saat tersesat. Raden Mas Lukman. Benar, itu dia. Dia bilang kami penyusup? Aduh, bahaya. Kami harus melakukan sesuatu.' Aku berusaha berpikir dengan jernih.

"Penyusup? Jangan mengada-ada. Mereka masuk ke sini tepat di depan matamu, Lukman. Tidak ada gunanya berusaha membalikkan keadaan. Cepat selesaikan masalah ini." Bapak Wodin dengan cepat melindungi kami.

"Ada yang mengundang kalian ke sini? Kalau tidak ada, sebaiknya kalian pergi. Bara Salju bukan tempat untuk membolos sekolah." Raden Mas Lukman terus menatap kami seperti akan memangsa.

Tanpa sepatah katapun, Verya kembali menghidupkan mesin Vini. Aku kembali berpegangan tepat sebelum Vini berjalan memutar lalu keluar dari dalam wilayah Bara Salju. 

Verya mengendarai Vini dengan sangat perlahan, tapi kali ini tidak menuju jalan kembali ke Aster Biru. 

"Lho, Verya, kita mau kemana?" Aku bertanya sambil memandang ke sekeliling.

"Ssst, Miss jangan berisiiik. Hush!" Verya berbisik seokah khawatir suaranya akan terdengar orang lain.

"Miaaau....miaaauuu." Bigul dan Tygul mengeong di bawah kakiku.

"Pacars, kalian tau kaaan, kita sedang berpetualang menghadapi bahaya. Jadi, waspada yaaaa. Kalau ada yang mencurigakan, langsung terkam. Okeeee?" Verya iuga berbisik kepada kedua kucingnya.

Aku mencoba menebak jalan pikiran Verya. Vini perlahan  menuju ke arah Hutan Hujan. Apa yang akan dilakukan Verya? Kami hanya berdua dan jika terjadi sesuatu hal yang berbahaya, siapa yang akan menyelamatkan kami?

Di tengah lamunanku, tiba-tiba Verya mematikan mesin Vini di tempat yang agak tersembunyi di tepi Hutan Hujan.

"Miss Levita, ayo cepat!" Verya turun dari Vini, mengambil ponsel dari saku bajunya, lalu mengaktifkan kameranya.

"Pacars, coba tolong cari tanda bahaya di sekitar sini." Verya memberi perintah kepada kedua kucingnya.

Bigul dan Tygul melompat keluar lalu berpencar ke dua arah.

"Verya, kita mau apa?!" Tanyaku.

"Kembali ke Aster Biru tanpa mengetahui apa yang sedang terjadi di dalam sana? Hohohooo, for-get it, Miss Levita. Bukan kebiasaan I melepaskan berita bagus begitu saja." Jawab Verya.

Tak kusangka gadis tercantik di Aster Biru ini memiliki keberanian yang tak terduga.

"Jadi, kita mau kembali ke Bara Salju? Tapi ini bahaya!" 

Sebenarnya ucapanku barusan lebih ditujukan untuk diriku sendiri. Aku akan melakukan sesuatu yang berisiko di tempat asing bersama seorang siswi yang membolos demi mendapatkan sebuah informasi. Kugelengkan kepala dan berucap dalam hati,'aku pasti sudah gila.'

Verya mendekatiku dan menatapku serius.

"Miss Levita, tidak ada satu sudut pun di Lorin yang belum pernah I jelajahi. Soooo, don't worry. I know what I'm doing." Verya tersenyum untuk menenangkanku setelah berkata demikian.

"Miaaauuu...miaaauuu." Ternyata Bigul dan Tygul sudah kembali.

"Oke. Thank you, Pacars. Let's go, Miss Levita. Pacars bilang aman, ya kaaaan Pacars? Percaya deeeh sama Pacars I." Verya kembali berusaha meyakinkanku.

Dengan penuh keraguan, aku turun dari kabin Vini. Verya mengambil jalan di antara pepohonan besar yang terdapat di sepanjang tepi Hutan Hujan. Aku mengikutinya di belakang. Bigul dan Tygul berjalan di sebelah kanan dan kiriku, jadi aku seolah terlindungi oleh Verya di depan dan kedua kucingnya di sisiku. Cerahnya langit dan semilirnya angin sangat menenangkan. Entah apa yang sedang terjadi di dalam Bara Salju, yang pasti aku memang sangat ingin tahu.

Tak terasa beberapa menit kami berjalan dalam hening. Gerbang megah Bara Salju yang sekarang berada di seberang kami membuatku bergidik. Ingatanku kembali ke suasana tegang yang sebelumnya terjadi. Tatapan tegas Miss Gyna dan seringai licik Raden Mas Lukman bergantian muncul dalam kepalaku.

BRUK! 

"Aw!" Aku menabrak Verya yang tiba-tiba berhenti berjalan.

"Miss Levita, jangan bengooong. Fokus. Fooo-kus. Yaaaa." Verya mengingatkanku.

Kali ini konsentrasi penuh adalah hal yang harus aku lakukan. Keraguan dan rasa takut harus aku kesampingkan.

2Verya mengedarkan pandangan. Tatapannya kini tertuju ke sebuah pohon besar yang terletak agak ke bagian tengah Hutan Hujan. 

"Itu akan jadi tempat persembunyian kita." Verya berkata sambil menunjuk pohon besar itu.

Aku masih terus mengikutinya tanpa bersuara.

Setibanya di balik pohon besar, Verya mengeluarkan sesuatu dari saku rok nya. Sebuah benda oval, berwarna silver dan berbentuk seperti telur ayam. Benda itu sepertinya terbuat dari logam, karena aku bisa melihat pantulan wajah Verya di permukaannya. 

"Tolong pegang sebentar." Verya menyodorkan telur silver itu kepadaku.

Seketika rasa dingin terasa di telapak tanganku ketika kupegang telur itu. Benar rupanya bahwa telur ini terbuat dari logam yang cukup berat. Benda apa ini? Ketika kuperhatikan dengan seksama, ternyata ada sesuatu berbentuk seperti mata. 

"Kita jadi paparazzi, Miss Levita." Kata Verya setengah berbisik.

"Apa?!" Apa aku tidak salah dengar?

"Pa-pa-raz-zi. Sssst, Miss Levita jangan kaget yah." Sambil berkata demikian, Verya menekan bagian bawah telur, lalu muncul sesuatu yang membuatku takjub.

"Woah! Baling-baling bam….." Refleks aku berkata.

"Ssssst! Udah dibilang jangan berisiiiik, Miss Levitaaaa." Verya gemas membekap mulutku.

Aku mengangguk cepat-cepat sambil menangkupkan tangan sebagai permohonan maaf.

Verya mengeluarkan ponselnya dan mulai menekan-nekan keypad. Sekejap kemudian, baling-baling di bagian atas telur silver itu mulai berputar dan mulai bergerak ke atas, terbang meninggalkan telapak tanganku. 

Aku memandang takjub. Tak ada suara, bahkan desisan sekecil apapun ketika baling-baling bambu itu berputar. Sungguh alat intai yang sempurna.

"Mari kita tes salah satu karya bestie I yang puwaaaling jenius, Heri Imanuddin Dalusasono, hihihi." Verya berbisik kepadaku sambil terus melihat ke arah telur yang mulai terbang memasuki wilayah Bara Salju, siap mengintai kejadian di dalam yang tidak bisa kami lihat.

"Miss Levita, yuk kita sit back and relax sambil nguping. Tenaaang, semua dalam genggaman I." Verya berkata sambil melambaikan ponselnya dan mulai duduk bersandar di pohon.

Aku penasaran apakah alat buatan Heri itu bisa berhasil mengintai tanpa ketahuan, mengingat kami tidak mengetahui sistem keamanan di Bara Salju. Bisa saja tiba-tiba sebuah detektor benda asing dipasang di atap gedung, lalu menghanguskan si telur terbang seketika. 

"Iiiih Miss Levita, udah deeeh jangan overthinking. Bara Salju nggak secanggih ituuuu, hihihihi." Seolah mendengar isi kepalaku, Verya berkata lalu terkekeh.

Aku hanya tersenyum, lalu duduk di sebelah Verya.

"Hari pertamaku mengajar, malah membolos. Guru macam apa aku ini." Gumamku.

Aku dan Verya saling berpandangan, lalu kami tertawa. 

"Miaaaauuwww, miaaaauuuuuw." Bigul dan Tygul mengeong, entah apa artinya.