webnovel

Let Go (Omegaverse)

Bercerita tentang bagaimana para tokoh Let Go meraih kebahagiaan mereka. Baik itu lewat pencarian yang panjang, menemukan dengan mudahnya, mempertahankan yang sudah ada, maupun dengan melepaskan yang selama ini berada di genggamannya. . . Berlatar belakang "Omegaverse", dimana selain laki-laki dan perempuan ada gender kedua yaitu Alpha, Beta dan Omega. Karena berlatar omegaverse, jadi dalam cerita ini, baik laki-laki maupun perempuan, dua-duanya bisa hamil. So, bagi yang merasa tidak nyaman dengan tema 'homoseksual' dan juga 'male preganancy', diharapkan untuk tidak membaca cerita ini. # LGBTQ+ # Male Pregnancy # Omegaverse # 17+

Leuchtend · LGBT+
Sin suficientes valoraciones
48 Chs

See You Again

Sejak keluar dari rumah sakit, aku tidak kembali ke penthouse tempat aku tinggal bersama Raymond. Aku memutuskan untuk pulang ke rumah. Tinggal bersama keluargaku seperti dulu lagi. Kurang lebih sudah hampir dua bulan aku tinggal terpisah dengannya.

Setiap hari aku tidak melakukan apa-apa selain membaca, menonton tv dan melamun. Seperti saat ini. Aku duduk di karpet lembut sambil bersandar pada cusion empuk yang sengaja di letakkan tepat di dekat jendela kaca kamarku yang ukurannya sangat besar.

Aku akan mengahabiskan soreku seperti ini setiap harinya. Duduk, sambil membacakan dongeng untuk bayi-bayi di dalam perutku. Setelahnya, aku hanya akan berdiam diri memandangi langit sore hingga matahari benar-benar tenggelam.

"Lenny." Panggil Mama dengan nada lembut.

"Mn.."

"Lihat Mama sayang."

Aku mengalihkan pandanganku dari luar jendela dan menoleh ke arah Mama. "Ada apa Ma?"

Mama duduk di depanku. Tangannya terulur dan mengelus pipiku lembut. "Lenny sudah makan?"

Aku mengangguk, "Ya, tadi sudah makan siang. Lyra juga membawa banyak camilan untukku."

"Tapi tadi Mama lihat kamu tidak menghabiskan makan siangmu sama sekali. Hm?"

Aku tersenyum, "Aku sudah kenyang Ma."

Mama terdiam sejenak, dari sorot matanya aku tahu mama sedang bersedih saat ini. Bahkan aku dapat merasakan kesedihan dari aroma yang tercium dari tubuhnya. Sejak dulu, Mama tidak pandai menyembunyikan emosinya di depan anak-anaknya.

"Lenny, kalau ada masalah bisa cerita ke Mama, jangan dipendam sendirian."

Aku menggenggam tangan Mama yang masih berada di pipiku, menurunkan tangan lembut itu dan meletakkannya di perutku yang sudah sangat besar. Aku memejamkan kedua mataku.

"Mama, coba rasakan gerakan-gerakan mereka. Mereka kuat, begitu juga Lenny." Ujarku kemudian membuka mataku. Aku tersenyum, ya, aku tersenyum menutupi perasaanku yang sebenarnya.

"Seperti kamu dan bayi-bayimu, Mama juga bisa tahu apa yang sebenarnya kamu rasakan. Tapi Mama tidak memaksa, jika Lenny sudah siap, Mama akan selalu ada untuk Lenny."

Setelah menyelesaikan kalimatnya, Mama memelukku erat. Seketika itu juga air mata yang selama hampir dua bulan ini aku tahan akhirnya tumpah. Aku sudah mencapai batasku. Aku sudah tidak kuat untuk menahan semua emosi yang selama ini kupendam.

"Mama." Aku memanggil Mamaku disela isak tangisku.

Mama mengelus punggungku lembut, "Menangislah, menangislah kalau memang Lenny ingin menangis."

Seolah tersihir oleh kalimat yang di ucapkan oleh Mama, air mataku tumpah begitu saja. Tangis yang selama ini kutahan akhirnya keluar.

Aku sudah tidak kuat lagi. Mimpi buruk yang hampir setiap malam menghantuiku membuatku semakin merasa tertekan. Mimpi yang selalu sama dengan wajah yang juga selalu sama, Ralph. Ya, aku selalu terbangun di tengah malam setelah aku tinggal terpisah dengan Raymond dan semua ini karena mimpi buruk mengenai kejadian penculikan itu selalu masuk ke dalam tidurku.

Aku seolah melihat dengan jelas bagaimana Ralph menyetubuhiku dengan kasar. Bagaimana dia menembakku dan juga Steve. Semua itu terus dan terus hadir hampir di setiap tidur malamku.

Sesekali aku juga memimpikan Raymond, Raymond dan Terry lebih tepatnya. Dimana mereka berdua terlihat bahagia, berpelukan sambil menggendong bayi mereka yang lucu.

Mengingat mimpi-mimpi itu membuat dadaku sesak. Bagaimana bisa aku menjalani hidupku dengan tenang jika hal-hal menyakitkan itu terus hadir di setiap malamku. Aku tidak sekuat itu untuk terus menahan segala emosi dalam dadaku.

"Mama selalu di sini untuk Lenny, Papa, Lyra dan Louise juga. Kami semua ada untuk Lenny."

"Tapi.. hiks.. sakit Ma. Lenny tidak kuat." Isakku.

Mama kembali mengelus punggungku dengan lembut. "Mama panggilkan Raymond ke sini, ya?"

Aku melepaskan pelukan Mama, menggelengkan kepalaku sambil menghapus air mataku yang sepertinya akan keluar lagi.

"Lenny belum siap Ma."

Mama mengangkat wajahku, kini aku bisa melihat wajah sedih Mama. Bola matanya yang indah kini terlihat sama sakitnya denganku. Dadaku kembali sesak, pandanganku kembali memudar, air mataku sudah hampir keluar dengan bebas. Aku bukan hanya menyakiti diriku, bayi-bayiku, tapi juga Mama.

"Lenny, bukan hanya kamu yang terluka, tapi Raymond dan anak-anaknya juga. Kami juga terluka melihat Lenny seperti ini setiap harinya."

"Maafkan Lenny, Ma." Ujarku sambil kemudian kembali terisak.

Mama kembali meraihku dan membawaku ke dalam pelukannya. "Mama mengerti. Mama juga pernah berada di posisi Lenny. Tapi mama selalu yakin, semua yang ada di dunia ini memang sudah dituliskan oleh Tuhan, tapi yang memilih takdir itu sendiri adalah diri kita sendiri dan Raymond sudah memilih Lenny untuk menjadi takdirnya."

.

.

.

.

Aku terbangun dengan tenggorokanku yang kering dan sakit. Sepertinya aku tertidur karena terlalu banyak menangis. Aku mengintip keluar dari sela-sela tirai jendela kamarku, di luar sudah sangat gelap. Pastilah aku tertidur cukup lama.

Ku putuskan untuk bangun dari tempat tidurku dengan susah payah dan kemudian berjalan menuju kamar mandi. Aku mencuci mukaku. Aku dapat melihat dengan jelas mataku yang kini membengkak melalui pantulan di cermin. Aku menghela nafas dan kemudian keluar dari kamar mandi.

Alih-alih keluar dari kamarku, aku lebih memilih untuk kembali merebahkan tubuhku di tempat tidur. Dengan mata bengkak seperti saat ini membuatku tidak ingin bertemu siapapun.

Aku kemudian memejamkan mataku, mengingat-ingat kembali apa saja yang telah terjadi padaku selama hampir satu tahun terakhir.

Dimulai dari pertemuanku dengan Eckart, masa heat yang kulewati bersama Raymond, kemudian pertemuanku dengan Ralph setelah enam tahun dia menghilang. Aku juga ingat pertengkaranku dengan Eckart yang berujung pada penculikan, pemerkosaan dan akhirnya koma selama satu bulan lebih. Kemudian pemeriksaanku setelah keluar dari rumah sakit dan ternyata aku sedang hamil yang entah anak siapa. Melewati masa kehamilan yang normal dan menyenangkan. Dan terakhir, kedatangan omega bernama Terry yang ternyata adalah fated pair Raymond yang kemudian berujung dengan aku yang pingsan dan dirawat di rumah sakit.

Semuanya berjalan begitu saja, sangat cepat dan tidak terasa beberapa minggu lagi aku akan melahirkan bayi-bayi dalam kandunganku. Lalu, kebenaran akan terungkap, siapa yang menjadi ayah dari mereka.

Aku takut, takut akan kenyataan yang tidak sesuai dengan keinginanku. Aku juga tidak sabar ingin segera bertemu dengan dua malaikat yang sudah mengubah kehidupanku selama hampir sembilan bulan ini.

Tok... Tok...

Mendengar suara pintu diketuk, aku membuka mataku. Ingin segera bangkit dari tidurku, tapi apa daya aku hanya bisa bangkit secara perlaha. Dengan perutku yang sudah sangat besar dan berat ini, membuat gerakanku yang tadinya sudah lambat kini semakin dan semakin melambat.

"Masuk saja, tidak di kunci." Ucapku sambil sedikit berteriak.

Aku bisa mendengar suara pintu terbuka, namun aku tidak langsung melihat siapa yang masuk. Aku masih sibuk dengan berusaha bangkit dari tempat tidur.

"Aku sudah bangun dari tad-" Kalimatku berhenti setelah aku dapat bangkit dari tempat tidur dan langsung melihat sosok yang kini sedang berdiri di ambang pintu.

"Ray..." Gumamku.

Raymond kemudian langsung menerobos masuk dan memelukku dengan erat. Tubuhnya bergetar hebat. Pun dadaku terasa sesak.

"Maafkan aku, maafkan aku Lenny." Ujarnya dengan suara yang sama bergetarnya dengan tubuhnya.

Aku yang masih syok tidak dapat berbuat apa-apa. Aku mematung dalam pelukan Raymond. Masih tidak percaya dengan apa yang sedang terjadi.

"Lenny, maafkan aku." Raymond melepaskan pelukannya.

Aku menatap wajah Raymond. Dia tidak terlihat baik sama sekali. Kantung matanya menebal, lingkar hitam di sekitar matanya terlihat gelap, dan pipinya terlihat lebih tirus. Keadaan Raymond tidak jauh lebih baik dariku.

Aku menundukkan kepalaku dan kemudian terduduk lemas di tempat tidurku. Aku menarik tubuh Raymond, memeluknya erat. Menghirup aroma tubuhnya dalam-dalam. Aku rindu padanya. Aku benar-benar rindu. Aku yang sejak tadi menahan emosiku kini mulai terisak. Emosi yang selama ini aku tahan terlepas.

Raymond mengusap pucuk kepalaku, "Lenny."

"Ray, aku merindukanmu." Ujarku di sela isak tangisku.

"Aku juga, merindukanmu dan bayi-bayi kita."

Setelah mendengar ucapan Raymond, aku merasakan kehangatan kini mengalir perlahan di dadaku setelah mendengar ucapan Raymond.

Raymond membiarkanku memeluknya, tangannya tanpa henti mengusap pucuk kepalaku dengan lembut. Isak tangisku perlahan mereda dan kemudian berhenti sepenuhnya.

Aku kemudian mendongak. Aku bisa melihat wajah Raymond, matanya memerah, ada sisa air mata di sekitaran pipi dan matanya, sepertinya dia juga menangis.

Aku tersenyum, "Aku tidak tahu rindu ternyata bisa sangat menyakitkan."