webnovel

[7] ALASAN

Pernikahan berjalan lancar. Kebakaran tidak menghilangkan senyum suka cita di wajah para tamu undangan. Begitu pula Kira dan Rizky yang duduk berdua di pelaminan, seakan tidak ada beban yang terlihat pada keduanya.

The Girls juga memberi ucapan selamat kepada pasangan pengantin itu tanpa mempermasalahkan apa yang sedang terjadi di antara mereka.

Tiba-tiba dari kejauhan, terlihat sosok lelaki dengan jas berwarna navy elegan berpadu dengan kemeja polos berwarna hitam, sisiran rambut tertata rapi, sepatu mengkilap, serta senyum yang menghiasi wajahnya hadir di tengah-tengah mereka, Ivan. Kehadirannya membekukan pandangan Kira.

Itu Ivan? Ia terlihat berbeda. Batinnya.

Ya, baru pertama kali ia melihat mantan pacarnya itu berpakaian formal, beda dari biasanya yang selalu memakai jaket hitam ala rockstar.

"Hai, Kira, happy wedding, yaaa. Sudah pakai jilbab sekarang? Jadi makin cantik, deh." Ivan menjabat tangan Kira seakan hendak memberi selamat. Sementara Kira dan The Girls hanya diam terpaku. Rasanya ia dan Ivan seakan tidak pernah saling mengenal sebelumnya.

"Eh, i.. Iya. Terima kasih." Balas Kira gugup. Ia sama sekali tidak menyangka jika Ivan akan datang ke acara pernikahannya yang nyaris gagal. Bukan salut akan keberaniannya, tetapi salut karena Ivan tidak membuat kekacauan di pesta pernikahannya seperti video-video yang ia lihat di sosial media saat mantan datang ke pernikahaKacau sekali.

Rizky yang melihat perubahan ekspresi di wajah Kira langsung mengalihkan topik pembicaraan walau ia tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi.

"Mari, Mas. Silahkan dicicip hidangannya." Kata Rizky dengan senyum tipis. Anggukan kepala Ivan cukup membuat mereka mengerti sehingga membuat kondisi kembali normal.

Di pelaminan, sang pengantin tidak melakukan apa-apa. Hanya duduk, menyambut tamu, dan sibuk dengan teman masing-masing. Tidak ada percakapan yang pasti di antara mereka.

Saat tamu undangan sudah mulai sepi, mereka tidak mempedulikannya. Rizky sibuk dengan Qur'an-nya dan Kira sibuk dengan ponselnya. Ah.. Pengantin terburuk dan teraneh di dunia.

"Ra, kami pulang, ya. Sudah larut." Kata Dara.

"Iya, terima kasih sudah datang. Hati-hati." Balasnya.

"Mas, kami pamit, ya." Luna mengulurkam tangannya hendak menyalami Rizky, namun Rizky hanya membalas senyum dan menyatukan kedua tangannya di depan dada. Semua pandangan terpusat padanya, tak terkecuali Kira.

Dan siapa sangka, The Girls paham akan hal itu.

"Ups.. Maaf, Mas." Kata Luna.

"Tidak mengapa, saya paham bahwa anti belum mengerti. Jazakillah khair sudah datang di acara walimahan kami." Balas Rizky dengan senyum sekadarnya.

Anti? Jazakillah khair? Walimahan? Bahasa apaan sih ini? Batin Luna. Ia hanya membalas ucapan Rizky dengan mengangguk dan bergegas pergi.

Langkah kaki mereka tiba-tiba berhenti ketika suara laki-laki menyahut.

"Aku juga izin pulang juga ya, Ra. Kadonya sudah kutaruh di meja. Oke, bye.. Semoga menjadi keluarga yang sakinah, mawaddah, wa rahmah, yaa.."

"Oh, i.. Iya. Makasih." Kira masih bingung akan perubahan sikap Ivan, namun ia tidak terlalu mempedulikannya.

Malam sudah larut. Acara sudah selesai dan berjalan lancar meskipun ada beberapa kendala.

Dekorasi dan pernak-pernik berwarna pink menghiasi ruang pengantin. Kira membersihkan dirinya begitu pula Rizky yang bersiap untuk tidur.

Rizky mengambil selimut dan bantal, kemudian meletakkannya tepat di lantai samping ranjang. Hal itu menyita perhatian Kira yang sedari tadi sedang menyeka bekas make-up di wajahnya.

"Apa yang lo lakuin?" Tanyanya.

"Tidak ada. Kamu tidur di atas ya, biar aku tidur di lantai."

"Memangnya lo gak mau tidur seranjang sama gue? Ini kan malam pertama..." Katanya pelan.

"Tidak mengapa. Saya di sini saja. Malam pertama... Hmm kita lakukan lain kali saja."

"Aneh."

***

"Gimana, sih?! Kok bisa gagal?! Percuma gue bayar lo semua mahal-mahal kalau masalah beginian saja gak becus!" Teriak Ivan pada dua orang lelaki bertubuh cukup besar dengan pakaian serba hitam di sudut jalan yang tidak jauh dari cafe tempat biasa ia dan The Girls menghabiskan waktu.

"Maaf, Bos. Ya, gimana lagi, di sana banyak orang, kami takut ketahuan."

"Sudah, pergi sana!"

Dua orang lelaki itu pergi meninggalkan Ivan.

"Ahh!!!! Kiraaa!!!!!!" Teriaknya sambil mengacak-acak rambutnya yang sudah tertata rapi sebelumnya.

Tanpa ia sadari, sedari jauh ada yang melihatnya, Dara. Dan kemudian ia menghampiri. "Ooooohh.. Jadi lo dalang dari kebakaran di pernikahan Kira???" Katanya dengan suara cukup keras.

Spontan Ivan langsung menutup mulut perempuan itu. Kini mereka saling tatap. "Ssssttttt... Bisa diam gak, lo? Jaga rahasia gue." Bisiknya.

Waktu seakan berputar lebih lama, jantung Dara berdegup lebih cepat dari biasanya. Karena sadar apa yang terjadi, Dara melepaskan tangan Ivan dari mulutnya. "A.. A... Apaan sih, lo? Kita kan satu geng, mana ada rahasia-rahasiaan. Lagian lo habis makan apa, sih? Bau banget tangan lo! Ewwhh..." Saat gugup, Dara memang selalu mencairkan suasana agar ekspresi aneh di wajahnya tidak terlihat. Walaupun demikian, hal itu tidak bisa ia sembunyikan dari Ivan.

"Oh.. Tadi gue habis makan ayam penyet. Nah, kan ada sambal terasinya tuh, yaudah gue makan, dan gue lupa cuci tangan pakai sabun. Hehehe." Ivan menggaruk belakang kepalanya yang tidak gatal. Ia melajutkan, "Hmmm, lo gugup ya di dekat gue? Kenapa? Terpesona akan kegantengan gue? Ha?" Katanya sambil menyeka rambut.

"Apaan sih, lo!" Jawab Dara ketus. "Tapi benar kan kalau lo dalang dibalik kebakaran kemarin?"

"Iya. Puas?"

"Tapi, bukannya lo kemarin datang ke pernikahan Kira dengan berbeda? Kaya lebih rapi gitu? Bahkan lo terlihat senang?"

"Yaelah.. Itu cuma trik. Permainan lama. Gue mau buat Kira menyesal karena sudah mutusin gue begitu saja. Yang kemarin itu belum seberapa, ini adalah awal dari kehancuran yang besar untuk hidup Kira." Jelas Ivan sembari menaikkan satu alisnya dan melipat tangan di dada.

"Lo tahu gak? Om Gunawan bakalan jeblosin ke penjara siapa pun orang yang sudah menyebabkan kebakaran di pesta anaknya."

"Gak jadi tuh."

"Gak jadi? Tahu dari mana?"

"Nguping. Lagian mereka gak tahu dan gak ada bukti apa-apa kalau gue dalang dibalik semua itu. Toh pestanya juga lancar-lancar saja. Padahal gue buat itu biar acaranya batal dan Kira gak jadi nikah. Tapi anak buah gue gak becus. Gak ada ilmu jadi penjahat pro."

"Lo dibilangin ngeyel. Kalau ada apa-apa nanti jangan salahin gue ataupun The Girls, ya!"

"Iya iyaaa." Ivan berjalan menjauh dengan kedua tangan di kantong celana.

"Lo mau kemana??!!" Teriak Dara.

"Pulang!!!" Balas Ivan. Ia menoleh, "Mo ikut? Rumah gue lagi gak ada orang, lho!"

"Gila!!!"

***

Kira terbangun dari tidurnya. Saat meraba keadaan kasur di sampingnya, ia menyentuh kertas dan membacanya.

Assalamu'alaikum, Kira? Selamat pagi.. Kamu sudah bangun? Saya mau pergi jualan dulu. Saya gak tega bangunin kamu karena kelihatannya kamu masih terlalu lelah. Saya sudah siapin sarapan untuk kamu di meja makan. Dimakan ya..

Saat Kira melihat jam, masih pukul 08.00 pagi.

Sepagi ini dia sudah berangkat? Nyiapin sarapan pula. Bangun jam berapa tu orang? Batinnya yang masih bertanya-bertanya.

Rasanya berbeda, kini ia telah menjadi seorang istri. Biasanya yang menyiapkan sarapan di rumah adalah Bi Iyem, sekarang suaminya. Ia belum terbiasa.

Kini, Kira dan Rizky tinggal di salah satu perumahan elit di pusat kota, tidak terlalu jauh dari rumah Gunawan.

Flashback

Ada rapat keluarga sesaat setelah acara pernikahan selesai.

"Kira, setelah ini kamu tinggal dengan Rizky, ya." Pinta Gunawan.

Apa? Tinggal dengan penjual putu? Gak salah? Pasti rumahnya.... Katanya dalam hati.

Seakan tahu apa yang ada di pikiran Kira, Gunawan menyela, "Kamu tenang saja, rumah kita dan Rizky gak beda jauh, kok. Ya kan, Nak Rizky?"

"Insyaa Allah, Pak."

"Kok Pak, sih? Panggil Papa saja. Sekarang saya kan juga orang tua kamu." Tambah Gunawan dengan senyum lebarnya.

"Iya, Pa. Insyaa Allah Kira akan nyaman tinggal di rumah saya."

Kira hanya terdiam.

"Saya rasa Kira setuju. Baiklah, kalian silahkan packing. Nanti biar supir Papa saja yang mengantar kalian, takut ada apa-apa di jalan karena kelelahan."

Di perjalanan…

"Kenapa sih gak tinggal di rumah Papa saja? Gue takut gak betah tinggal di rumah lo!" Tanya Kira sembari memasang raut wajah kesal.

"Kamu itu sekarang tanggung jawab saya. Dan sudah saatnya rumah saya diisi dengan orang yang istimewa sepertimu." Balas Rizky dengan senyuman.

"Gak usah gombal. Gak mempan. Gue juga ter..." Omongan Kira terhenti saat mereka memasuki komplek perumahan elit berstandar internasional. "...paksa." Ia terkesima. "Eh, kita ngapain ke sini? Ini kan Hanania Residence? Salah satu perumahan super elit!" Ia shock.

Rizky hanya tersenyum tipis.

Mobil itu berhenti tepat di depan rumah mewah berlantai tiga beraplikasi putih cerah. Tanaman bonsai berjejer rapi di depan teras. Air mancur menabur semerbak percikan embun. Cahaya lampu hias di depan rumah menambah kesan syahdu. Kira merasa sedang memasuki istana surga. Benar-benar mewah.

Gila. Ini sih dua kali lipat rumah Papa. Gede banget... Batinnya.

"Ayo masuk." Kata Rizky setelah beberapa saat melihat ekspresi Kira.

"I-ini rumah lo? Gak mungkin!"

Rizky menoleh, dan hanya tersenyum.

"Pak, terima kasih ya sudah mengantar kami. Kopernya biar saya saja yang bawa." Kata Rizky kepada supir.

"Baik, Mas. Kalau begitu saya permisi dulu."

Rizky hanya membalas dengan anggukan.

Saat memasuki rumah bergaya klasik itu, bola mata Kira memutar. Pandangannya tertuju pada seluruh isi rumah yang nampak lebih mahal dan mewah dari apa yang ada di rumahnya.

"Lo tinggal di sini sendirian? Orang tua lo mana?"

"Iya. Tapi selama ini rumahnya kosong, saya tinggal di pesantren. Orang tua saya.... Hm..." Rizky terlihat sedikit ragu untuk menjawab. Sedangkan Kira masih menatap Rizky penuh dengan tanda tanya. Dan Rizky paham akan hal itu.

"... Orang tua saya tinggal di kampung. Kemarin mereka tidak bisa datang karena kebetulan di sana juga ada hajatan penting di hari yang sama. Tapi mereka tahu kok kalau kita menikah dan mereka titip salam untuk kamu." Jelas Rizky. Maafin saya Kira, saya terpaksa berbohong. Saya janji suatu saat akan saya ceritakan semuanya kepadamu di waktu yang tepat. Batin Rizky. Dan itu cukup masuk akal bagi Kira.

"T'rus ini rumah siapa?"

"Rumah majikan saya. Sudah sudah, jangan banyak tanya." Rizky berbohong lagi.

Majikan apa? Kok dia aneh, sih...

"Kapan orang tua lo ke sini?" Lanjut Kira.

"Belum tahu. Belum ada kabar. Mungkin bulan depan. Itu juga belum pasti. Biasanya mereka ke sini sebulan sekali saja." Jeda beberapa saat. "Kamar kita adalah kamar utama di rumah ini dan itu ada di lantai dua. Itu di sana." Rizky menunjuk ke arah pintu yang terlihat cukup besar yang tepat berada di depan mereka.

"Ya sudah, gue naik duluan ya. Lelah."

Rizky hanya membalas dengan anggukan. Sekali lagi maafin saya sudah membohongi kamu, Ra. Hatinya melirih.