webnovel

[10] RENCANA

Ada hal yang mengganjal di hati Rizky perihal Kira yang pulang terlalu sore kemarin.

Sesampainya di rumah masih dengan keadaan letih ia langsung menemui Kira, bertanya sebenarnya apa yang terjadi.

"Kira, kenapa kamu kemarin pulang telat dari biasanya?"

Kira yang sibuk menonton TV dengan setoples cemilan di tangannya seolah tak mempedulikan Rizky dan pertanyaan yang ia ajukan.

"Kenapa? Masalah buat lo?" Jawabnya acuh.

"Hmm, saya hanya khawatir sama kamu, takut kamu kenapa-napa."

"Gue bukan anak kecil lagi, biasa saja kali."

Mendengar jawaban itu, Rizky hanya terdiam dengan helaan nafas panjang. Ia menggaruk belakang kepalanya yang tidak gatal. "Kalau begitu saya mau mandi dulu."

Kira tidak merespon. Hatinya berdecak, kepo banget! Apa gak bisa sehari saja gak gangguin gue? Tapi, sejak kapan dia ngekhawatirin gue? Apa karena dia sudah mulai cinta sama gue? Eh? Apaan sih Ra, lebay deh. Mau dia cinta kek, enggak kek, yang penting hidup lo dulu dan sekarang gak ada yang ngusik. TITIK. Batinnya sembari menaikkan kedua bahunya sekali.

***

Langit itu terlihat berwarna merah layaknya senja yang berdarah, angin berteriak dengan kerasnya, dedaunan berguguran karena terpaannya.

Terlihat dari jauh seorang lelaki di sebuah taman malam itu dengan selembar foto di tangannya, Ivan. Ia terbalut dalam peristiwa beberapa minggu ini yang menerpanya. Ditinggal oleh seorang kekasih yang sangat ia cintai begitu menusuk relung hatinya yang sangat dalam. Rasa kecewa bercampur marah kian menetap semakin menjadi.

Kira... Kira.. Kenapa sih kita harus begini? Padahal aku sudah merencanakan hidup berdua denganmu. Aku gak bisa lupain kamu. Apa perlu aku rebut kamu dari dia?

Maaf.. Maaf atas kekeliruanku saat itu. Bodohnya aku merencanakan penggagalan di pesta pernikahanmu yang jelas-jelas tidak berdampak baik untukku. Jika kamu tidak selamat saat itu, aku pasti tidak akan memaafkan diriku sendiri selamanya.

Hatinya resah, air yang coba ia bendung di pelupuk matanya sedari tadi kini jatuh berderai. Ia terduduk dalam lamunan, mencoba membakar memori saat ia berusaha menggagalkan pernikahan Kira dengan hal bodoh saat itu.

Kini, pandangannya terpaut melihat sosok perempuan berbaju ala rock n roll dengan rambut ikal tergerai di foto itu.

Untuk sekarang aku akan membiarkanmu hidup bersamanya. Tidak tahu bagaimana nanti. Karena perasaan yang timbul dari awal kita bertemu sampai detik ini aku bernafas tidak akan pernah pudar dan sirna. Maaf jika nanti aku kembali dengan seribu satu rencana untuk merebutmu. Ia bertekad kuat akan prinsip yang telah ia bangun saat ini.

Polisi? Aku tidak takut akan hal itu, Sayang.. Aku akan mempertanggungjawabkan semua kesalahanku agar nanti ku 'kan bisa memilikimu seutuhnya.

"Mikirin apa, Van?" Tanya Rendi, om Ivan yang tiba-tiba datang menghampiri.

Ivan hanya diam.

Rendi melihat foto wanita yang ada di tangan keponakannya itu. "Oh, masalah wanita."

Ivan melirik.

"Kalau sudah milik orang lain, ikhlaskan saja. Jangan jadi benalu di tanaman yang sudah subur." Kata Rendi, menasehati.

"Tapi boleh kan kalau jadi kumbang yang hinggap sementara?" Balas Ivan.

"Sementara apanya? Kalau tiap hari mengganggu, apa bedanya?" Jawab Rendi lagi.

Ivan kembali diam.

"Tidak semua yang pernah kita miliki harus kita rebut lagi saat ia sudah milik orang lain. Memang benar bahagiamu adalah bersamanya, tapi apa bersamamu ia juga bahagia?"

"BAHAGIA!" Tegas Ivan. "Kami baik-baik saja sebelum ayahnya menyuruh kami putus dan menjodohkannya dengan lelaki lain." Jelasnya.

"Pft!" Rendi tertawa kecil.

"Apanya yang lucu, Om?"

"Berarti secara tidak langsung kau tidak direstui oleh ayahnya, begitu kan?"

Ivan mengangguk. Ia melanjutkan, "Semua karena aku begini, Om. Hidupku seolah tak ada tujuan. Jika hidupku saja seperti ini, bagaimana bisa aku mengurus hidup orang lain?" Katanya dengan nada sedih.

"Hmm... Sudahlah, jangan pernah menyesali sesuatu yang sudah terjadi. Lebih baik kamu lupakan saja dia. Kaya gak ada orang lain saja. Kan masih banyak di luar sana yang lebih baik dari dia.."

"Tapi tidak ada yang seperti dia. Ah.. Om takkan mengerti."

"Kau yang tidak mengerti, Van. Sampai kapan mau menunggu? Terlebih dia sudah milik orang lain. Sudah menikah pula. Tidak ada lagi kesempatan untukmu. Tidak ada lagi posisimu di sana."

"Bahkan cahaya sekecil apapun bisa memerangi kegelapan, Om. Aku tetap tidak akan menyerah." Katanya sembari menyandarkan tubuhnya.

"Yasudahlah, terserahmu. Ayolah ikut Om ke masjid."

Ia tersentak, "Ngapain?"

"Ke masjid kok ngapain... Ya sholatlah!"

Ivan hanya diam.

Rendi berdecak, "Ck! Pantas saja kau selalu gagal. Jangan salahkan hidupmu, apalagi menyalahkan mereka yang membuatmu merasa hidup yang kau jalani tidak adil. Padahal, kau saja yang tidak pernah melibatkan Allah dalam hal apapun."

DEG! Seolah ada petir yang menyambar dalam hati Ivan. Membuat jiwanya tersambar.

"I-iya. Ayo ke masjid." Kata Ivan yang menundukkan kepala, malu.

***

Kafe yang biasa menjadi basecamp The Girls terlihat sedikit ramai. Ada beberapa mobil dan laki-laki bertubuh kekar di sana.

"Ini yang lo bilang bodyguard bokap lo, Pik?" Bisik Caca.

"Iya dong, keren kan? Macooo. Mau gue kenalin satu-satu? Ha... Yang di pojokan itu namanya Bejo, yang di sebelah kanan namanya Jono, yang itu tuu.. Yang lagi megang walky talky namanya Asep, terus..." Pika terhenti saat Luna meletakkan jari telunjuknya ke bibir Pika.

"Ssssttt... Stop! Cukup Pik.. Cukup.."

"Kelihatannya saja maco, tapi namanya kampungan, ewh.." Kata Dara pelan.

"Oya, Ca, rencana lo apaan sih sampai harus ngelibatin bodyguard segala?" Luna memulai obrolan.

"Rencana? Gue bakalan nyuruh semua bodyguard untuk ngerusakin dagangannya Rizky!" Ia mengepalkan kedua tangannya.

"Ha?! Lo yakin? Lo siap berhadapan sama Om Gunawan? Gue sih ogah. Ribet urusannya." Kata Dara dengan penuh rasa takut.

"Ck! Gimana sih! Jadi gunanya kita pakai bodyguard buat apa? Buat ngelawan Om Gunawan, kan? Jadi, kenapa lo semua ketakutan?"

"Bukan takut, Ca. Tapi lo pernah lihat sendiri kan Om Gunawan itu orangnya gimana? Apapun perintah yang keluar dari mulutnya pasti gampang terwujud. Apalah daya kita yang cuma mahasiswa abadi?" Kata Pika polos.

"Sudahlah, santai saja. Gue yang bakalan hadapin sendiri demi kakak gue. Paham lo semua?! Jadi untuk sekarang gue mau pulang, malas ngomong sama orang yang gak pernah mikirin perasaan orang lain." Caca bergegas keluar kafe dengan perasaan sedikit kesal.

"Bukan gitu, Ca... Ca! Caca!" Teriak Dara sembari melihat Caca yang perlahan menjauh.

Bukannya tidak memikirkan perasaan Ivan, Ca. Tapi, kalau kau seperti ini terus kapan kesempatanku untuk masuk menggantikan Kira? Batin Dara.

***

Gerimis bersemayam dalam dekapan syahdu. Suaranya, rintik dan aromanya, menandakan kerinduan yang teramat dalam, menghadirkan kenangan yang mengusik jiwa. Menunjukkan sepasang sejoli yang belum harmonis di rumah bergaya klasik itu.

"Kira... Sarapannya sudah saya siapkan di meja." Kata Rizky yang sibuk dengan buku yang cukup tebal di tangannya.

"Hm."

Setelah selesai makan dan mandi, Kira mencoba menghubungi papanya, bertanya kabar atau sekedar basa-basi.

"Halo, Pa? Gimana? Sehat? (....) Oo bagus deh (.....) Rizky? Itu lagi sibuk nulis dan baca-baca (....) Papa kapan pulang ke Indo? Ra kangen Papa (....) Beneran ya Pa, jangan lama-lama, awas kalau bohong (....) Apa? Oh yasudah Pa, semangat yaaa kerjanya...."

Kira menutup telponnya.

"Papa?" Tanya Rizky.

"Ya iyalah, sudah tahu nanyak."

Rizky hanya diam. Kira dibuat penasaran olehnya. Sebelumnya ia tidak pernah melihat Rizky sesibuk itu. Ditemani dengan kertas dan tinta, bukan tepung dan kelapa. Ia mencoba bergabung dalam keheningan raut wajah Rizky dan bertanya beberapa hal yang terbesit di pikirannya.

"Ngapain sih lo? Sebelumnya gue gak pernah lihat lo sesibuk ini?"

"Oh, ini saya lagi ngitung penjualan putu selama seminggu ini saja. Kenapa?" Rizky menjawab santai, hanya saja pandangannya tidak luput dari kertas yang ada di depannya.

"Gak papa sih. Penasaran gue."

Lagi-lagi Rizky hanya diam. Hal ini membuat Kira emosi. "Woi! Kalau orang ngomong itu dilihat! Bisa ngehargai orang gak sih?!" Nada bicara Kira meninggi.

"Maaf, memangnya kamu pernah ngehargai saya saat saya benar-benar khawatir padamu kemarin? Atau pada semua hal yang berkaitan dengan saya, apa pernah kamu peduli barang sekali saja?"

Kali ini giliran Kira yang diam. Dari raut wajahnya ia terlihat tersindir.

Karena tidak ada terdengar balasan suara dari Kira, Rizky melirik sekilas dan ia sadar bahwa perkataannya barusan salah. "Maafin saya Kira. Saya tidak bermaksud. Saya hanya tidak ingin diganggu saat ini. Maaf saya sedang sibuk. Mungkin lain kali kita bisa bercerita." Rizky bergegas menuju ruang kamar.

"Dua. Dua hal yang sampai saat ini bikin gue bertanya-tanya..." Langkahnya tiba-tiba terhenti ketika Kira kembali membuka obrolan.

"... Pertama, kenapa lo gak mau tidur seranjang sama gue? Kalo tahu gitu lo kan bisa tidur di kamar lain saja tanpa harus tidur di lantai? Apa lo punya penyakit menular? Kedua, kenapa lo gak pernah nyentuh gue sama sekali padahal kita sudah menikah? Ada yang salah dari tubuh gue?"

Rizky terdiam sesaat. "Maaf, saya harus menyiapkan beberapa hal penting untuk mengembangkan usaha saya ke depannya. Mengenai jawaban itu, kelak kamu akan tahu jika kamu mau bersabar dan mengambil ibroh (pelajaran) dari setiap hal yang saya lakukan terhadapmu. Saya permisi." Rizky pergi ke salah satu ruangan yang agak jauh dari ruang tamu.

"Dasar aneh. Berani-beraninya dia buat gue penasaran. Awas saja, gue balas nanti!" Katanya kesal sembari melipat kedua tangannya di dada.