webnovel

Lelaki Dalam Kabut

Bagi Mimi, mimpi adalah bagian dari kenyataan. Apapun yang hadir dalam mimpinya akan hadir pula di dunia nyata. Namun ada satu mimpi yang tak kunjung jadi nyata, mimpi tentang lelaki yang wajahnya selalu tertutup kabut. Berbagai petunjuk hadir tentang lelaki dalam kabut tersebut, namun Mimi tak juga menemukan lelaki itu didunia nyata. Sahabatnya menganggap Mimi sudah gila karena jatuh cinta pada lelaki dalam mimpi yang bahkan tak diketahui wajahnya seperti apa. Dia juga mengabaikan cinta yang nyata ada dihadapannya karena lelaki kabut itu. Apakah lelaki itu memang benar-benar ada? Dan apakah yang dirasakan Mimi adalah cinta atau obsesi semata? Akankah pencarian Mimi membuahkan hasil? 

Zianaabia_79 · Adolescente
Sin suficientes valoraciones
74 Chs

Alan

Alan POV

Aku berjalan menyusuri taman kampus. Aku harus mencari seseorang sekarang. Setiap sudut taman kudatangi, namun tak kutemui yang kucari. Kalau begini, aku menyesal kenapa aku tak pernah meminta nomor ponselnya.

Tak menemukannya di taman, aku coba memikirkan tempat lain yang mungkin didatangi olehnya. Pikiranku tertuju pada perpustakaan. Mungkin dia disana pikirku.

Saat tiba di perpustakaan aku langsung menuju sudut yang kuduga sebagai tempat favoritnya, karena beberapa kali aku melihatnya selalu duduk disana. Namun sayangnya, kali ini dugaanku salah. Disana tak ada siapa-siapa. Aku mengacak rambutku dengan setengah jengkel. Lelah juga berkeliling mencari satu orang di kampus yang luas. Tiba-tiba aku teringat Edo, ya...Edo kemungkinan tahu dimana dia. Kucari namanya dikontak ponselku, dan kucoba menghubunginya. Dan Alhamdulillah, ternyata Edo bisa memberi tahuku dimana dia.

Sekarang disinilah aku, berdiri dihadapannya.

"Assalamu'alaikum, Mi!" sapaku.

Gadis itu Mimi mengangkat wajahnya dan menatapku. Tampaknya dia agak kaget aku menegurnya.

"Wa'alaikumussalam, " jawabnya dengan pandangan bertanya.

"Aku bisa minta waktu sebentar ngga? Ada yang mau aku bicarakan sama kamu," kataku.

Mimi melihat jam ditangannya. Lalu berkata, " Bisa, tapi ngga lama ya, karena sebentar lagi aku ada kelas."

"Setengah jam aja. Bisa?" tanyaku.

Mimi mengangguk setuju. Lalu aku mengajaknya ke taman samping kampus, agar kami bisa berbicara lebih nyaman.

"Mi, sebelumnya aku minta maaf ya, kalau apa yang aku bicarakan ini mungkin akan sedikit merepotkan kamu," kataku.

Mimi mengernyitkan dahinya, "merepotkan gimana maksudnya?"

"Ini tentang Sisi, aku mau minta tolong sama kamu," kataku.

"Ooo," gumam Mimi. "Kenapa dengan Sisi Lan?" lanjutnya lagi.

"Tolong sampaikan pada Sisi, tolong berhenti bersikap berlebihan padaku. Karena aku sangat tidak nyaman," jelasku.

"Kenapa kamu ngga mengatakannya sendiri aja? Kan lebih baik gitu Lan," tanya Mimi.

"Aku udah pernah mencobanya Mi, tapi sepertinya Sisi tak peduli. Malah makin gencar dianya," keluhku.

"Memangnya kamu benar-benar ngga ada rasa sama Sisi Lan?" tanya Mimi mengejutkanku.

Aku menatap gadis didepanku sekilas, lalu kualihkan mataku ke arah lain. Sambil berkata, "ngga ada Mi. Aku ngga punya perasaan lebih pada Sisi."

Mimi menyandarkan punggungnya ke sandaran kursi. Tampaknya dia akan menanyakan sesuatu lagi, dan benar saja,

"Kenapa Lan? Ada yang kurang dari Sisi? Ya Sisi memang sedikit agresof, tapi kan cuma sama kamu seperti itu. Sama yang lain ngga. Dia juga gadis yang baik."

"Aku tahu, tapi aku bisa apa? Perasaan tak bisa dipaksakan," jawabku.

"Apa kamu punya seseorang yang kamu suka?" tanya Mimi dengan pandangan menyelidik, "kalau kamu udah ada yang lain, mungkin aku akan minta Sisi untuk berhenti mengejarmu. Tapi kalau ngga, aku akan membiarkannya berjuang mendapatkanmu."

"Mi, ini bukan soal aku suka sama yang lain atau tidak. Tapi aku memang tidak akan pernah akan menjalin suatu hubungan dengan siapapun saat ini," jelasku.

"Kamu normal?" tanya Mimi, membuatku tertawa.

"Aku normal Mi, senormal-normalnya," kataku dengan nada geli

"Lalu kenapa kamu bilang ngga mungkin menjalin hubungan dengan seseorang?".

" Ini tentang komitmen Mi. Aku memang berkomitmen untuk tidak menjalani hubungan dengan siapapun sebelum aku siap untuk menikah," kataku.

"Maksudnya?"

"Saat ini aku akan fokus pada kuliah. Semester depan aku akan mencoba mulai bekerja, dan mengambil kuliah malam. Setelah semua dirasa siap, aku akan menjemput sendiri orang yang aku sukai, untuk kujadikan istri," terangku.

Mimi tertegun mendengar ucapanku. Mungkin dia tak menyangka aku akan menjawab seperti itu.

"Jadi sebenarnya kamu sudah ada orang yang kamu suka belum?" tanyanya.

"Harus dijawab?" tanyaku.

"Iya harus dong. Biar aku bisa bilang ke Sisi, supaya tidak terus mengejar yang semu. "

"Ya, aku memang sudah punya seseorang, yang kuharao bisa jadi pendampingku di masa depan." kataku sambil menatap Mimi.

"Dia udah tahu? Maksudku, gadis yang kamu suka udah tahu kalau kamu suka dia?"

Aku menggeleng, "aku memang tak berniat memberi tahunya sekarang. Seperti yang aku bilang tadi, kalau sudah waktunya, aku akan langsung menemuinya, dan akan mengajaknya menikah."

"Kalau dia ngga tahu, gimana kamu bisa yakin kalau dia bisa jadi pasangan kamu?"

"Aku titipkan dia pada Allah. Seandainya pun Allah tidak menakdirkan kami berjodoh, tak ada yang harus dipermasalahkan."

Mimi menggelengkan kepalanya, "entahlah, kamu aneh Lan. Aku ngga ngerti pola pikir kamu, " katanya dengan nada bingung.

"Ngga usah dipikirkan. Itu kan komitmen aku. Yang penting tolong bantu aku kasih tahu Sisi ya!".

" Okey, aku coba bantu. Tapi jangan berharap banyak kalau Sisi akan mendengarkan aku ya. Kamu tahu sendiri bagaimana keras kepalanya Sisi."

Setelah itu Mimi pamit karena ada kuliah lagi. Kutatao punggungnya yang perlahan menjauh meninggalkanku. Aku tersenyum sambil memejamkan mata.

Allan POV emd

---

Mimi memasuki kelas dengan sedikit terburu-buru. Dia takut dosen lebih dulu masuk ke kelasnya. Di kelas sudah ada Sisi duduk di kursi dekat jendela.

"Sini Mi!" katanya sambil menepuk meja dibelakangnya. "Lo habis darimana? Gue cariin ngga ketemu," tanyanya.

"Habis ngobrol sama orang," jawabnya singkat.

Sisi tak bertanya lagi, dia sibuk dengan ponselnya, wajahnya tampak resah. Mimi tahu apa yang membuat Sisi begitu resah. Nanti setelah kelas selesai, dia akan bicara pada Sisi.

---

"Lo kenapa Si? Kusut banget mukanya?" tanya Mimi.

"Alan Mi, dia ngga pernah respon apapun dari gue. Puluhan pesanku diabaikan, telepon juga tak pernah dia angkat. Apa dia benar-benar tak menyukaiku ya Mi?" keluhnya.

"Lo beneran ngga bisa lupain dia Si?"

"Ngga bisa Mi. Gue cinta mati sama dia," katanya sambil mengusap wajahnya. "Gue udah berusaha membuatnya menoleh kearah gue. Gue kirim makanan ke rumahnya, gue kirim hadiah saat ulang tahun anggota keluargamya, tapi dia tetap tak bergeming. Malah dia pernah mengirim pesan ke gue, katanya dia tak nyaman dengan yang apa yang gue lakukan. Padahal salahnya dimana coba? Gue kan cuma mau nyenengin dia? Emang salah kalau gue kepengen dia itu sedikiiiiit aja merhatiin gue?" curhat Sisi.

"Si, boleh gue ngasih saran?"

"Boleh," jawab Sisi.

"Bisa ngga lo jauhin Alan dulu. Mungkin Alan merasa pengap dengan segala bentuk perhatian elo. Ya ibaratmya kalau orang lapar, tapi dikasih makan berlebihan, tetap aja nanti muntah. Sesuatu yang berlebihan itu rasanya ngga akan enak. Biarkan perut mencerna dulu, setelah itu lo kasih makan lagi. Gitu juga dengan Alan, kasih sedikit waktu, biar dia ngga bosen dengan segala perhatian elo. Mungkin kalau lo kasih space ke dia, nanti dia malah kangen dan nyari-nyari elo," kata Mimi panjang lebar.

"Iya juga ya Mi. Benar kata lo. Mungkin Alan eneg ya sama kelakuan gue, " Kata Sisi sambil tersenyum. "Mulai hari ini, gue akan ambil jarak sama dia. Gue akan melihat dari jauh aja," katanya lagi.

"Nah gitu dong. Biar elo juga bisa lihat, bahwa dunia itu ngga sebatas Alan, Alan dan Alan. Siapa tahu nanti lo malah ketemu sama orang lain yang suka sama elo, dan elo suka sama dia. "

Sisi tersenyum kecil, "makasih ya Mi. Lo memang best friend gue."

Mimi tersenyum, sambil merentangkan tangannya. "Kalau gue best friend, kasih peluk dong!"

Sisi tertawa, lalu berdiri dan memeluk Mimi. Mereka tertawa bahagia.

Persahabatan yang didasari ketulusan selalu akan terasa indah. Saling menasehati dengan cara yang baik tentu akan lebih mudah diterima dari pada dengan menegurnya dengan keras. Persahabatan tidak melulu tentang mengajaknya bahagia, tapi juga mencegahnya dari luka. Jika sudah terlanjur ada yang terluka, maka sahabat yang akan membantu menyembuhkannya.

Dari kejauhan, tampak seseorang sedang melihat mereka yang sedang berpelukan. Sosok itu tampak tersenyum melihat Mimi dan Sisi. Tak lama dia melangkah pergi.