Nial langsung masuk ke dalam rumah. Tak lupa ia melepas sandal baru pemberian kakek Zul dan menyimpannya di bagian atas teras rumah panggung miliknya. Ia baru ingat sesuatu dan berniat untuk menyelesaikannya. Tapi sebelum itu ia segera memasak ikan yang ia terima dari kakek Zul, hingga menimbulkan aroma semerbak di dalam rumah. Ia sangat pandai dalam perihal masak memasak tak hanya itu, ia juga cekatan dalam melakukan pekerjaan rumah seperti menyapu dan mencuci piring. Ia belum bisa menceritakan kebahagiaannya hari ini pada ayahnya. Ia terburu-buru mencuci sepatunya yang penuh lumpur agar bisa di pakai hari Senin.
Sambil menunggu ikan matang ia kemudian bergegas mencuci sepatu sekolahnya di samping rumah. Ia menyikat permukaan sepatu yang hampir penuh lumpur dengan hati-hati. Tak butuh waktu lama untuk menyikat sepatunya, warna sepatu itu kembali lagi dan terlihat seperti baru. Ia kemudian menjemurnya di bagian teras rumah panggungnya yang masih terkena cahaya kuning mentari.
Aroma semerbak itu semakin tercium di sudut-sudut ruangan. Ayah memanggil Nial yang langsung di datangi oleh Nial. Ikan itu telah masak ia menawarkan ayah untuk makan tapi ayah berdalih kenyang.
“Dari mana kamu mendapatkan ikan itu Ni,?” Tanya ayah menunjuk ikan yang berada di atas tungku perapian.
“Nial mendapatkan ikan itu dari hasil pancingan Nial ayah” Nial menceritakan pertemuannya dengan kakek Zul. Menceritakan sandal barunya hingga menceritakan upah yang ia dapatkan. Ayah antusias mendengarnya, tapi ia justru merasa gagal menjadi seorang ayah untuk membahagiakan Nial.
Suara pintu belakang terbuka dan menampilkan sosok perempuan yang amat Nial sayangi. Dia adalah ibu Nial, ia baru pulang dari pekerjaan proyek. Nial segera menghampirinya, ibu mencuci tangan dan kakinya terlebih dahulu di samping rumah. Nial memanggil ibunya untuk duduk bergabung bersama di ruang tengah. Perempuan itu tersenyum pada Nial dan ayahnya bergantian.
“Aroma apa ini Ni,? Aromanya sangat lezat” Ungkap ibu. Nial menceritakan lagi apa yang baru saja ia ceritakan pada ayahnya barusan. Cerita itu sederhana tapi apa yang mereka terima sangatlah berharga untuk mereka malam ini. Biasanya selain garam mereka akan menyantap terasi atau sambal untuk di nikmati. Namun malam ini, ikan-ikan segar itu bisa menemani makan malam mereka.
“Ah iya, ini upah yang di berikan kakek Zul” Nial mengeluarkan beberapa lembar uang dari sakunya, Ia memberikan uang itu pada ibu.
“Itu untukmu Ni, simpanlah untuk keperluan Nial. Urusan biaya obat ayah ibu bisa menanggungnya.” Ibu mengusap pucuk kepala Nial. Ayah semakin tak kuasa melihat dua sosok yang begitu berarti dalam hidupnya saling melempar perhatian padanya.
Berawal dari tiga tahun yang lalu. Saat ayah masih bisa berjalan normal dan bekerja normal seperti ayah kebanyakan. Ayah selalu berangkat pagi untuk bekerja dan pulang sore untuk beristirahat. Saat itu Nial masih berusia tujuh tahun, ia bermain bola tanah lapang bersama teman – teman seusianya. Ibu biasa berkebun di belakang rumah seperti penduduk sekitar. Menanam berbagai jenis sayuran untuk di makan sendiri bersama keluarga.
Ayah yang bekerja serabutan tidak menentu kerja di mana setiap hari. Satu hari bekerja di pasar, besok bisa bekerja sebagai tenaga kerja dalam pembangunan bangunan-bangunan. Kadang pula pergi ke sungai untuk memancing kadang pula menjadi sopir angkutan barang-barang ke kota.
Pagi itu Senin, Hari pertama Nial masuk sekolah, Nial di antar ibu pergi ke sekolah. Yang kebetulan sekali hari itu ayah bekerja menjadi sopir ke kota untuk mengantar barang-barang. Jarak sekolah ke rumah Nial juga cukup jauh, sehingga mereka memutuskan untuk berangkat bersama. Hidup yang sederhana tapi mereka sangat bahagia. Sekolah Nial waktu itu masih swasta, sebelum akhirnya ia berpindah sekolah karena ada orang bakk yang mau memberikan beasiswa untuknya.
Sekolah Nial berjalan dengan lancar. Ibu menungguinya sambil membawa beberapa kue buatannya yang di jual di luar sekolah. Persis setelah Nial selesai sekolah jualannya pun laku cukup banyak. Merasa mendapatkan keuntungan lebih akhirnya ibu selalu membawa kue-kue yang bervariasi saat akan mengantarkan Nial sekolah. Ia mengantar sampai gerbang dan berjualan di luar pagar sekolah. Orang-orang berlalu lalang satu dua membeli kue buatan miliknya. Hal itu berkali-kali terjadi hingga beberapa bulan.
Senin kesekian Nial di antar lagi oleh ayah dengan truk pengangkut barang ke sekolah. Tak lupa ibu membawa beberapa kue bermacam-macam. Sekolah Nial berjalan lancar hingga akhirnya mereka menunggu ayah pulang. Matahari sangat terik saat mereka menunggu ayah pulang, hingga matahari hampir sudah mulai jingga di ufuk barat dan ayah belum juga ada tanda-tanda untuk datang menjemput. Orang-orang sudah sepi di sekolah, ibu memutuskan untuk pulang berdua bersama Nial. Ibu sedikit cemas, namun ia kembali tersenyum saat Nial menceritakan nilai hasil belajarnya ia sangat bangga dan bahagia.
Mereka tiba di rumah saat matahari sudah terbenam. Orang-orang sudah kembali dari tempat mereka bekerja, namun ayah masih belum juga datang. Ibu semakin cemas, apalagi ketika Nial bertanya tentang ayahnya. Ibu hanya mampu menjawab bahwa ayahnya sedang ada urusan sehingga pulang lebih lambat. Nial masih tujuh tahun saat itu dan ia tidak banyak bertanya lagi perihal ayah. Hingga suara langkah kaki berlari menaiki teras rumah panggung mereka sambil berteriak mengetuk pintu. Ibu dan Nial terperanjat kaget segera membuka pintu. Ia mendapatkan kabar bahwa ayah Nial kecelakaan truk dan sedang dalam pengobatan di salah satu rumah sakit di kota.
Ibu terduduk tak percaya, ibu merasakan kedua kakinya lemas tak berdaya. Ibu memeluk Nial tanpa kata, keduanya menghampiri ayah ke kota malam itu. Dan pada saat itulah kehidupan yang lebih terjal banyak mereka lewati. Kesedihan datang bertubi-tubi, belum lagi banyak rencana yang ingin ayah hadiahkan untuk Nial sebagai hadiah atas nilai sekolahnya yang bagus-bagus. Ia ingin berjalan-jalan bersama sebagai keluarga kecil tapi justru kecelakaan itu mengubur semua rencana itu sebelum Nial tahu.
Saat itu semuanya berubah, ibu tidak lagi berkebun seperti biasanya. Ibu tidak lagi mengantarkan Nial sekolah seperti biasanya. Tidak ada ibu lagi di sisi Nial saat ia pergi sekolah, Nial harus mandiri setiap pagi. Ia bangun lebih pagi dan ia harus berangkat sekolah sendiri. Ibu pergi bekerja sebagaimana ayah bekerja setiap hari. Hidup mereka tidak boleh berhenti semuanya harus tetap berjalan sebagaimana mestinya. Nial tumbuh kuat di usia kecilnya dan ibu menjadi lebih kuat menahan semua yang menjadi takdirnya. Ekonomi keluarga melemah drastis. Obat ayah sangat mahal sehingga terpaksa Nial harus menjual satu-satunya alat berharga miliknya hadiah dari ayah ketika Nial pertama kali masuk sekolah. Benda itu adalah telpon genggam yang lumayan canggih. Selain karena Nial yang rajin belajar, anak-anak seusianya banyak yang ikut bimbingan untuk menambah jadwal belajar. Karena ayah belum mampu mengikutkan Nial bimbingan berbagai pelajaran. Ia memutuskan membelikan Nial hape agar ia bisa belajar mandiri. Nial tidak mengenal game yang ada pada hape miliknya hal itulah yang membuat ayah jadi mantap untuk membelikan Nial hape, karena yang Nial tahu dalam benda persegi panjang itu hanya ada pelajaran dan ia sangat suka belajar.
Kini tiga tahun berjalan dan kehidupan mereka masih serba kurang. Ibu tidak ingin membuat Nial sedih atas apa yang terjadi, Nial juga tak ingin ibu melihatnya bersedih. Itulah yang membuat mereka selalu terlihat bahagia dan semangat satu sama lain. Hari-hari sulit itu hampir datang tiap hari, tapi bukan berarti mereka akan saling menyalahkan satu sama lain.
Nial menggeleng saat ibu menolak uang darinya. Baginya apa yang menjadi miliknya itu juga milik ibunya. Tapi ibu masih juga menolaknya.
“Tapi Nial hadiahkan ini untuk ayah Bu,” Ungkap Nial.
“Tidak Ni, kamu pakai saja uang itu. Tidak perlu khawatir pasti akan ada rezeki lain untuk ibu” Begitulah jawab ibu.
Nial mengalah ia terpikirkan untuk membelikan uang itu sesuatu yang lebih bermanfaat. Ia teringat kakek Zul, ia bertekad untuk membuat ibu tidak lagi bekerja lebih keras untuk mereka.