Keluarga Cilioen
Keluarga Cilioen adalah keluarga atas yang bermarga sangat tinggi. Darah, keluarga, pekerjaan, dan yang lainnya serba besar oleh darah Cilioen sendiri. Tapi sayangnya, ada sisi gelap yang tidak diketahui oleh bisnis dalam keluarga yang dijalankan oleh Tuan Cilioen sendiri. Beliau memiliki seorang putri manis nan cantik bernama Raina, yang sangat ia sayang.
Tapi sisi anehnya, dalam nama keluarganya tak ada sama sekali nama istri dari Tuan Cilioen maupun ibu dari putrinya. Meskipun begitu, mereka berdua terlihat sangat senang dan nyaman.
Tuan Cilioen adalah pria sukses yang menjalankan bisnisnya sendiri, jadi tak ada campur tangan keluarganya, karena dia juga tak memiliki siapapun. Kini, putrinya lah yang menjadi penerus darahnya.
Karena itulah dia akan sangat menyayangi putrinya, karena harta yang paling manis dan sangat berharga.
Ini kisah dari putri Cilioen, Raina, yang sangat bersemangat dengan hal apapun. Meskipun dari keluarga yang sangat mampu, Raina tidak memiliki sifat manja ataupun meminta apapun pada ayahnya secara paksa. Dia sangat aktif, tapi sangat terbatas dalam pertemanan karena ayahnya. Dia juga selalu bersikap baik pada semua orang termasuk di depan ayahnya, bagaimanapun juga dia memang harus menjaga citranya sebagai seorang gadis dari darah Cilioen.
"Ini adalah kisahku, Raina Cilioen."
"Ayah... Apa kau sudah pulang?" Aku mengintip dari pintu kamar melihat sosok pria dewasa yang duduk di bawah sofa menatap laptop. Lalu dia menoleh ke arahku dan tersenyum.
"Ayah baru pulang tadi, kau mau beri sesuatu?"
"Ya... Selamat datang." Aku tersenyum membalas dan berjalan mendekat, duduk di sampingnya sambil mendekap tangan kirinya.
"Kenapa Ayah kemari jika masih menatap pekerjaan melalui laptop ini, apa ada kontrak bisnis lagi?"
"Ini hanya sementara. Sebagai eksekutif, Ayah harus mengerjakannya di mana-mana. Kau mau sarapan? Ayah akan membuatkannya."
"Tidak perlu, Ayah. Aku ingin membuatnya sendiri sekalian juga membuat untuk Ayah."
"Kau gadis yang baik." Dia mengelus kepalaku dengan lembut, membuatku merasakan kehangatannya.
Meskipun banyak pegawai Ayah yang bilang bahwa dia adalah sosok yang sangat kejam dengan tatapan dingin maupun datarnya, aku sama sekali tak percaya itu karena yang aku lihat, Ayah sangat baik memasang wajah lembut itu padaku.
Setelah itu, aku mulai berangkat ke kampus. "Baiklah, Ayah, aku akan pergi."
"Tunggu, Sayang~" Ayah mendekat dengan cepat memelukku. "Jangan bermain dengan lelaki buruk, mengerti? Carilah teman perempuan."
"Haiz... Ayah, Ayah sudah mengatakan itu selama 10 tahun padaku. Jangan khawatir, kasih sayangku tetap pada Ayah."
"Haha... Baiklah, Sayang. Hati-hati di jalan." Ayah mendekat mencium pipiku, dekat dengan bibirku.
Entah kenapa rasanya hangat bersamanya. Kali ini, Ayah benar-benar sedikit berkurang asiknya karena pekerjaan, waktu kami terbuang, padahal dulu waktu aku kecil, Ayah sering membawaku kemana mana bahkan di pekerjaan nya, karena aku hanya mau di asuh oleh ayah, tapi ya mau bagaimana lagi, sekarang aku sudah bisa bersekolah sendiri dan memang harus begitu, waktuku jadi berkurang dengan Ayah.
--
"Hai... Raina." Seorang perempuan menyapaku di depan kampus. Dia adalah Noe, temanku yang paling dekat. Aku sering bercerita, dan kita juga saling bertukar kisah.
"Pagi, Noe." Aku mendekat dan berjalan ke dalam bersama.
"Oh iya, kemarin ada yang bilang melihatmu sama seorang pria."
"Pria? Pria siapa?"
"Entahlah, mungkin pria tinggi dan gede... Ayahmu kah? (Tapi kenapa terlihat seperti om-om yang tak punya istri?)" Noe menatapku sambil menebak. Pikiran nya juga sedang berpikir sesuatu yang aneh.
"Oh... Itu Ayahku. Kemarin dia menjemputku."
"Menjemputmu? Ayahmu? Sejak kapan Ayahmu setampan itu... dan aku baru tahu itu Ayahmu."
"Yah, dia memang begitu sih," balas ku, memang benar Ayah memiliki wajah yang tampan, tubuh yang begitu dominan, Ayah juga termasuk masih muda tapi jiwa nya masih seperti Ayah lain nya kok.
"Ya ampun, sangat aneh tapi nyata deh... Bagaimana dengan ibumu?" tatap Noe.
Tapi wajah ku menjadi sedih. "Dia tak ada sangat lama. Ayah tak pernah memberitahuku kenapa aku bisa tidak memiliki ibu. Aku bahkan tak tahu ibuku sendiri karena namanya tak tertulis di kartu keluarga. Di sana hanya ada namaku dan Ayah sendiri," balasku.
"Oh... Begitu... Maaf ya."
"Tak apa, meskipun begitu, tinggal bersama Ayah juga sangat hangat," balasku yang berjalan duluan.
"Hangat? (Apa maksudnya hangat?)" Noe sepertinya berpikir dengan bingung.
Sepulang sekolah, aku berjalan sendirian keluar dari gerbang sekolah, tapi ada seorang lelaki berseragam sama sekolah sepertiku memanggil namaku.
"Raina."
Hal itu membuatku menoleh padanya, dan aku berekspresi terkejut tak percaya karena itu adalah Raiyan, lelaki kelas sebelah yang dikenal populer banget di kalangan sekolah maupun di luar sekolah. Dia adalah ketua Organisasi Intra Sekolah. Aku masih bingung kenapa dia memanggil namaku. Hatiku agak waswas karena takut akan sesuatu yang melanggar sekolah karena dia juga yang mengurus sekolah.
"Raina, selamat sore," lelaki yang bernama Raiyan itu mendekat dengan tatapan ramah.
"Ketua OSIS... Ada apa?"
"Aku ingin tahu, apa kau pernah mendaftar menjadi anggota OSIS di sini saat angkatan kelas tiga?"
"Ya, sayangnya aku tidak diterima."
"Itu berarti saat itu kita masuk OSIS bersama, benar bukan?"
"I... iya, ada apa?"
"Tidak ada. Aku hanya baru tahu rupanya gadis secantik kau tidak diterima dalam OSIS. Padahal sayang sekali, karena nilaimu juga sangat tinggi. Kenapa kau tidak diterima?" Raiyan menatap wajahku dengan penasaran. Aku mulai berkeringat dingin karena alasan aku tidak masuk OSIS bukan karena aku tidak diterima. Itu karena Ayah benar-benar menolak aku masuk OSIS karena dia bilang OSIS hanya akan membuang waktuku. Apa yang harus aku jawab nantinya. "Aku... Aku... Um..." Aku mulai tak tahu harus membalas apa. Aku takut Raiyan akan bilang bahwa Ayahku sangat membatasi kebebasanku... Setelah itu dia tak akan mendekatiku. Aduh, gimana ini!?
Tapi tiba-tiba sebuah mobil hitam mewah datang berhenti tepat di pinggir jalan kami.
Aku menoleh dan melihat dari kaca hitam mobil dan keluar seseorang dari pintu mobil supir yang rupanya Ayah, yang masih berpakaian formal hitamnya.
"Sore, Sayang," tatapnya padaku dengan lembut meskipun wajahnya dikenal datar.
Tapi saat aku menoleh ke wajah Raiyan, aku benar-benar bingung karena wajah Raiyan terlihat nampak pucat dan berkeringat dingin.
"Ketua OSIS... Um... Dia Ayah k-
"Ah... Aku... Aku harus pergi, Raina. Terima kasih." Raiyan langsung menyela dan berjalan pergi begitu saja. Entah dia takut pada Ayah yang bertubuh besar atau ada sesuatu yang membuatnya takut.
"Sayang?" Ayah memegang pundakku dengan wajah serius bercampur bingung.
"Apa kau baru saja bergaul dengannya?" Dia bertanya padaku dengan sangat dekat.
Oh astaga, Ayah benar-benar sangat mencolok di publik ini dengan tubuh besar dan berototnya hehe, bukannya meninggikan beliau, tapi memang begitu kenyataannya. Tunggu, kembali ke topik... Apa yang harus aku jawab. Aku mulai cemas.
"Um... Tidak, Ayah. Dia hanya bertanya sesuatu soal... (Tunggu... Jika aku bilang soal OSIS, Ayah akan sangat marah atau tidak ya... Harus buat alasan.) Dia hanya bertanya soal barang yang dia pinjam padaku," balasku yang mencoba berbohong mencari alasan meskipun wajah Ayah sama sekali tidak menunjukkan kepercayaan pada ucapanku.
"Baiklah, masuk ke mobil... Kita pulang sekarang." Dia memasang wajah lembutnya lagi dan mendekat mencium keningku. Aku benar-benar sangat senang ketika Ayah melakukan hal itu, apalagi di depan publik seperti ini.
"Baik, Ayah," aku membalas dengan senang lalu masuk ke mobil.
Ayah menoleh ke sekolahku tanpa sepengetahuanku. Dia memasang wajah serius dengan lirikan seperti ada sesuatu yang membuatnya kesal di sekolahku. Apa ada sesuatu yang membuatnya begitu? Yang pasti, aku benar-benar takut. Tapi Ayah pasti akan bersikap lembut padaku. Aku lalu menutup pintu, dan Ayah masuk mengendarai mobilnya.
Melihat Ayah masih memakai baju formal itu, aku mulai berpikir tentang sesuatu dan membuatku bertanya. "Ayah, apa pekerjaan Ayah sudah selesai di perusahaan?"
Ayah terdiam sebentar, masih fokus ke jalan, lalu membalas ucapanku. "Ayah sudah selesai di sana, Sayang. Mulai besok mungkin tak akan ada acara sepertinya."
"Benarkah!?" Mendengar itu aku benar-benar senang.
"Ayah tidak bohong, kan? Besok tak ada kerjaan, kan?"
"Kenapa kau begitu antusias, Sayang? Apa ada sesuatu yang ingin kau lakukan besok?" balasnya dengan nada lembut sambil tersenyum lirih.
"Ehehe, aku hanya ingin menghabiskan waktu bersama Ayah," balas ku. Aku benar benar sangat senang tidak karuan, karena Ayah selalu sibuk setiap hari termasuk hari libur. Karena besok aku juga libur, aku bisa bersama Ayah selalu.
"Ayah, aku Sayang pada Ayah," tatap ku lalu Ayah tersenyum kecil. "Ayah juga sayang pada mu, jadilah gadis yang baik." Dia membalas sambil menghentikan mobil nya di lampu merah.
Aku masih tersenyum lalu mendekat mencium pipi Ayah. Ayah lalu menoleh pada ku dengan tatapan nya yang sangat tersayang pada ku. "Itu manis, terima kasih sayang." Dia mengelus kepala ku.
Aku benar benar sangat senang dengan hal ini, aku harap mereka tidak iri aku punya Ayah yang begini hehe.
Saat kami sudah sampai di rumah besar kami. Aku langsung meletakan barang ku dan mandi tapi Ayah masih melepas bajunya dan akan bergantian dengan ku.
Sebelum nya aku bicara pada Ayah. "Ayah... Aku akan berendam... Jadi mungkin agak lama, bagaimana jika Ayah menggunakan kamar mandi lain," kata ku yang menatap Ayah di kamar melepas jas nya.
"Tentu, nikmati mandimu." Astaga dia membalas begitu, hehe aku jadi tenang deh. Kini berendam air hangat selepas lelah hari ini benar benar sangat nyaman.
"Huf.... Sangat nyaman banget... Rasanya beban terlepas," benar benar nyaman bukan, apalagi kamar mandi dan bak mandi di sini benar benar besar, aku jadi kepikiran pengen liburan di pemandian air panas deh sambil melihat bintang dengan tempat nya yang terbuka di bawah langit, pastinya akan sangat menyenangkan.