“Hu... hu...hu... ”
Suara rintihan itu terdengar dari mulutku sendiri. Akupun tak menyangka bahwa aku bisa merintih kesakitan juga.
Aku membungkus tubuhku dengan selimut tebal. Rasa dingin itu justru semakin menjadi-jadi.
“Kamu beneran sakit bro?”
Tanya Dani yang tiba-tiba masuk ke dalam kamarku, tak lama dia mendekatiku yang tengah menggigil kedinginan.
Dipegangnya dahiku denga telapak tangan kirinya.
“Serius demam bro!” Katanya kaget
“Sudah minum obat?” tanyanya lagi.
“Belum.” Jawabku kemudian.
“Simpanan obatmu dimana?”
“Atas lemari.”
Dani segera menuju ke arah lemari pakaian di sebelah kirinya.
Agak menjinjit dia menemukan kotak P3K yang agak berdebu.
Sebagai seorang atlet, aku jarang menggunakan obat saat sakit, hingga kotak itu hampir saja terlupakan.
“Wahhh... aman gak nih obatnya?” tanyanya sendiri, sembari membuka kotak obat.
Setelah menemukan obat penurun panas, dia membaca lebih dulu petunjuk penggunaan dan tanggal kadaluarsanya.
“Untung belum kadaluarsa. Nih minum dulu bro.” Katanya sambil memberikan obat dan segelas air minum padaku.
“Jangan... 2 hari lagi kita masuk arena.” Kataku mengingatkan.
Susah payah, aku berusaha untuk duduk.
Bukan hanya suhu badanku yang tinggi, tulang-tulang di sekujur tubuhku juga terasa linu.
Namun, demi mengikuti pertandingan ini, aku tak ingin saat pemeriksaan kesehatan nanti, aku justru terkena masalah karena minum obat.
“Oh iya... sori bro.” Dani menepuk dahinya sendiri. dengan segera dia menyingkirkan obatnya. Dan hanya memberikan aku segelas air.
“Waktu Bang Hendra bilang kamu sakit, aku gak percaya. Kukira dia bercanda. Gak taunya beneran. Besok bisa berangkat gak nih?” tanya Dani cemas.
“Harus berangkat. Ini mimpi seumur hidupku bro.” Kataku kemudian.
Dani hanya menggelengkan kepalanya melihatku tengah terkapar tak berdaya.
“Lebih baik kamu balik tidur lagi deh. Aku gak akan bilang siapapun kalo kamu sakit. Pokoknya besok kamu harus sembuh bro. Aku gak mau kalo dipasangkan dengan yang lain. Gak akan seseru berpasangan dengan kamu bro.”
“Iya tahu... biar merangkak sekalipun. Aku pasti berangkat bro.”
Aku kembali membaringkan tubuhku. Mataku mulai terasa berat.
Tak lama aku merasakan sesuatu yang dingin menyentuh dahiku.
“Ini kompres. Jangan di lepas.” Kata Dani setelah selesai menempelkan penurun panas di dahiku.
Masih setengah sadar kulihat Dani segera keluar dari kamar, mematikan lampu dan menutup pintunya.
Besok pagi kami akan melakukan perjalanan ke Malaysia untuk mengikuti pertandingan di arena balap.
Bagaimanapun keadaannya, besok aku harus berangkat.
Aku tak ingin usahakan bertahun-tahun harus pupus hanya karena demam ini.
*****
Paginya...
Jam 6 pagi aku membuka mata.
Berkat di kompres dan tidur semalaman, badanku terasa lebih segar.
Linu-linu di sekujur tubuhku tak lagi kurasakan.
Tak ingin mengambil risiko kedinginan seperti semalam, akhirnya aku memutuskan untuk membersihkan badanku dengan air hangat.
Sudah lebih dari 10 tahun aku hidup di asrama atlet. Pindah dari satu daerah ke daerah lainnya.
Aku memulai karierku sebagai pembalap di usia 12 tahun.
Mulai dari pembalap tingkat kabupaten, kemudian lolos seleksi menjadi pembalap tingkat propinsi, sampai akhirnya setelah 10 tahun lebih aku di dunia balap, tahun ini aku lolos babak penyisihan mewakili negaraku untuk bertanding di tingkat international.
Seandainya kedua orangtuaku masih ada, tentu mereka sangat bangga dengan keberhasilanku.
Sebagai yatim piatu, aku berjuang keras agar jangan sampai salah pergaulan. Untungnya dunia atlet membawaku jauh dari narkoba dan minuman keras.
“Bagaimana bro?” tanya Dani saat memasuki kamarku.
“Siip...” jawabku yakin
“Serius?”
“Iya... aku sudah fit 100%.”
“Siiippp lah kalo begitu. 1 jam lagi kita berangkat. Aku juga akan siap-siap dulu.” Katanya seraya beranjak dari kamarku.
*****
Tepat jam 9.30 WIB
Aku bersama team tiba di bandara.
Setelah melalui pemeriksaan bagasi melalui X-Ray, kami berjalan menuju antrian chek-in.
“Kamu sudah benar-benar sehat, Sky?” tanya Bang Hendra, Sky adalah nama panggilanku di asrama.
Kata mereka Sky lebih enak terdengar macho daripada Langit, padahal artinya sama saja.
“Sehat lah Bang. Dia cuma demam panggung saja. Biasalah... masa Abang gak ngerti.” Jawab Dani yang disambut tawa oleh semua anggota team.
“Hahahahaha...”
“Mana mungkin aku demam panggung. Tadi malam aku benar-benar masuk angin. Bukan karena demam panggung.” Kataku membela diri.
“Masa kamu lupa, setiap akan masuk arena, kamu selalu sakit. Yang demam lah, flu, batuk pilek. Bahkan pernah juga diare.”
“Masa sih?” tanyaku tak percaya
“Sebagai teman satu team, aku sangat hafal kebiasaanmu itu bro.” Dani menjawab dengan yakin.
“Yang paling parah, waktu kita akan bertanding di kota S. Sudah berapa kali kamu bolak balik ke toilet. Sampai-sampai kamu hampir di diskualifikasi. Untungnya kamu tiba di sirkuit tepat waktu sebelum waktu perpanjangan habis.”
“Hahahaha...” lagi-lagi tawa menggema dari anggota team.
Aku hanya menggaruk kepala yang tak gatal, tak tahu harus berkata apa.
Saking asyiknya bercanda, aku sampai tak melihat ada koper di depanku.
Tak sempat mengerem langkah, kakiku sudah menabrak koper itu dengan keras hingga terlepas dari genggaman si pemilik.
Aku segera berlari mengejar koper itu, sebelum terhempas lebih jauh.
Bruk... bruk...bruk....
Koper itu bertabrakan dengan bebrapa koper lain yang berjajar. Sebelum akhirnya aku berhasil menghentikannya.
Secepatnya aku membawa kembali koper itu pada si pemilik.
“Maaf kak.. Maaf. Aku tidak sengaja menabrak kakak.” Kataku menyesalinya.
Sebagai permintaan maaf kutangkupkan kedua tanganku di depan dada.
“Iya gak apa-apa... Lain kali tolong hati-hati.” Jawab perempuan itu seraya mengambil koper miliknya yang ada di depanku.
“Maaf ya Kak...” kataku lagi yang disambut senyuman tipis di bibirnya.
Setelah meminta maaf dan mengembalikan koper yang baru saja aku tabrak, aku berdiri mengantri tepat di belakang perempuan itu.
Dengan postur tubuhnya yang semampai, dengan mudahnya dia menarik perhatian orang-orang yang ada di lobi ini.
Tak terkecuali aku...
Perkiraanku usianya mungkin sekitar 2-3 tahun lebih tua dariku.
Tingginya sekitar 170 cm, sedikit lebih pendek dariku yang memiliki tinggi 178 cm.
Rambut panjang sepunggung yang hitam legam, nampak rapi dikuncir ekor kuda dan sedikit bergelombang.
Tubuhnya padat namun tidak berisi. Sepertinya dia rajin berolahraga, terlihat jelas dari kaki jenjangnya yang berdiri kokoh mengenakan celana jeans panjang berwarna biru dan sepatu kets putih bergaris biru senada dengan jeans yang dikenakannya.
Walaupun kaos oblongnya yang berwarna putih bersih terlihat sedikit kedodoran, tetap tak mampu menyembunyikan bentuk tubuhnya yang atletis.
Kulitnya kuning langsat, terlihat begitu sehat dan terawat.
Dan wajahnya....
Walaupun aku hanya sempat memandangnya sekilas, aku tahu dengan sangat jelas bahwa perempuan ini...
Sangat cantik.
“Ssstt.... Cantik gak ?” sebuah suara di belakangku mengalihkan perhatianku dari pemandangan indah di depanku.
Tanya Dani penasaran.
“Cantik lah....” jawabku kemudian.
“Kenalan dong.” Pintanya
“Ogah.” Aku menggeleng.
‘aku akan kenalan, tapi bukan di depanmu.’ Kataku dalam hati.
Entah kenapa, seandainya bisa, aku ingin mengenal perempuan ini hanya untuk diriku sendiri.