1 jam kemudian.
Saat bersiap keluar bersama tim Administrasi & Finance yang sudah menyelesaikan pekerjaannya, Maya mendengar teriakan dan keributan tak biasa dari halaman parkir.
Setengah penasaran Maya berjalan agak cepat, untuk melihat apa yang sebenarnya terjadi.
Diantara karyawannya yang ada di sana, tampak seorang pengendara mengenakan pakaian serba hitam, yang masih berada di atas motor sport. Sepertinya pengendara itu baru saja memasuki halaman parkir.
Tak lama pengendara itu membuka helm fullface nya dan tersenyum lebar saat melihat Maya.
“Langit?” Maya tak percaya dengan apa yang dilihatnya.
Diiringi keriuhan orang-orang yang ada di sana, Langit turun dari motor sportnya dan berjalan mendekati Maya.
“Apa kabar Kak Maya?” tanya Langit, masih dengan senyumannya.
Maya yang tak masih tak percaya dengan kedatangan Langit, masih berdiri termangu.
“Kamu... Kesini make motor itu?” tanyanya menunjuk motor sport 250 cc yang terparkir tak jauh dari tempatnya berdiri.
“Iya.”
“Dari Jakarta?”
“Iya.”
“Serius?” Maya masih tak percaya.
“Serius.”
“Perjalanan berapa lama?”
“Mmmm.... sehari semalam.”
“Kecepatan?”
“Mmmm.... yakin mau tau?”
Secepatnya Maya menggelang.
“Mmmm... Gak usah deh. Ngeri ngebayanginnya. Nekat sekali kamu.”
“Heheheh...” Langit hanya menyeringai melihat keterkejutan Maya.
“Tim mu tahu kamu kesini?”
“Entahlah...” Langit mengedikkan bahu.
“Kamu gak kabur kan? Bukannya tour mu masih belum selesai?”
“Tenang saja Kak... Aku cuma manfaatin liburanku kok. Habis tahun baru aku balik lagi kok.”
“Tapi...”
“Sudaaah... ceritanya nanti saja. Ayo makan. Aku lapar.”
Belum sempat Maya menyelesaikan kalimatnya, Langit sudah menarik tangannya. Membawanya bergabung dengan karyawan lain yang tengah menikmati hidangan.
Mereka tak menyadari, bahwa di sudut lain ada sepasang mata yang menatap marah.
*****
Setelah semalam menyambut tahun baru bersama di kantor, mereka pulang jam 2 dini hari.
Maya kembali ke rumahnya menggunakan mobil. Sedangkan Langit mengekorinya di belakang dengan sepeda motor.
Setelah memastikan Maya tiba di rumah dengan aman, Langit melajukan motornya ke salah satu hotel yang cukup dekat dengan tempat tinggal Maya.
Esok paginya....
Jam 9 pagi, Langit sudah berada di depan rumah Maya.
Hari ini, setengah memaksa Langit mengajak Maya berkendara menggunakan motor sportnya. Alasannya dia ingin menikmati perjalanan ke pantai menggunakan motor.
Maya yang tak ingin berdebat, hanya bisa menerima ajakan Langit.
Tak lama, Maya keluar dari rumah.
Rambut panjangnya dikepang rapi seperti kepangan Katniss Everdeen, salah satu karakter di film The Hunger Games.
Mengenakan jaket, celana jeans dan sepatu kets, semuanya berwarna hitam. Senada dengan pakaian yang dikenakan langit. Bedanya pakaian Langit berbahan kulit.
“Punya fullface ternyata. Padahal tadinya mau aku belikan.” tanya Langit saat melihat Maya menenteng helm fullface di tangan kirinya.
“Pinjam dari kantor tadi pagi.” Jawab Maya seraya memasang helmnya, kemudian melangkah menaiki motor.
Hari ini kantor tutup total selama 1 hari, hanya bagian keamanan yang tetap berjaga dengan jadwal sift. Memberikan kesempatan pada semua karyawan yang begadang semalam untuk beristirahat total. Agar saat mereka masuk esok hari sudah dalam kondisi yang benar-benar bugar.
Dengan kecepatan 60 km/jam Langit melajukan motornya membelah jalanan yang masih lengang. Hanya ada beberapa kendaraan berlalu lalang dan petugas kebersihan dipinggir jalan yang tampak sibuk membersihkan sisa euforia tahun baru semalam.
Sebenarnya, dengan spesifikasi 250 cc bisa saja Langit melajukan motornya lebih cepat, namun dengan Maya di belakangnya, Langit hanya ingin Maya tetap nyaman berkendara.
*****
Hanya membutuhkan waktu 1,5 jam saja untuk mencapai pantai yang ingin mereka tuju.
Setelah membayar tiket masuk, Langit membawa motornya ke tempat parkir yang sudah disediakan.
Keduanya turun dari motor, menitipkan helm di tempat penitipan kemudian berjalan bersama menuju bibir pantai.
Suasana di pantai pun masih terlihat lengang, hanya ada 2 kelompok orang yang berkerumun tak jauh dari tempat mereka.
Langit melepaskan sepatu dan jaketnya, kemudian duduk santai di atas pasir.
Tak lama, Maya pun melakukan hal yang sama. Mengambil tempat duduk di samping Langit, kemudian berselonjor santai.
Menyenangkan rasanya, membiarkan kaki telanjangnya sesekali tersapu air laut. Dinginnya angin laut mampu memberikan efek ketenangan dalam hati dan pikiran.
“Aku sudah lama gak ke pantai.” Kata Maya membuka obrolan.
“Oh.. ya. Padahal kan dekat dari kantor.” Langit menatap tak percaya.
“Terakhir aku ke pantai, saat Bapakku masih mejadi sosok Bapak yang penyayang.” Kenang Maya.
Matanya nanar menatap jauh ke lautan yang seolah tak berujung. Seolah menatap kilas balik masa kecilnya.
“Umur berapa itu?”
“11 tahun. Saat aku lulus SD dengan nilai tertinggi, kami merayakannya di pantai.”
“Wahh... 18 tahun lalu berarti.”
“Begitulah. Pantai hanya membuatku teringat dengan Bapak. Dan itu sangat menyakitkan.”
Langit terkejut dengan pengakuan Maya.
“Apa kita pergi saja dari sini?” tanya Langit merasa bersalah.
“Gak usah... Sudah saatnya aku harus belajar melupakan laki-laki itu.” Kata Maya perlahan namun penuh tekad.
Tangannya menahan Langit yang hendak bangkit.
Langit yang akan beranjak, mengurungkan niatnya dan kembali duduk di samping Maya.
“Dimana beliau sekarang?” tanya Langit penasaran
“.....” Maya terdiam
“Maaf... Gak usah dijawab jika keberatan. Anggap saja aku tak pernah bertanya.” Langit meralat pertanyaannya.
“Bapakku... Meninggal karena gantung diri.” Jawab Maya dengan suara perlahan.
Langit hanya bisa menatap tak percaya mendengar jawaban Maya. Matanya menyiratkan berbagai macam pertanyaan.
“Kenapa kamu terkejut? Tak ada yang harus dirahasiakan.Toh lama-lama kamu juga akan tahu. Bukannya kamu paling jago kalo mencari informasi tentang aku?” Kata Maya setengah menyindir.
“Hah..?” mata Langit melebar menatap Maya.
“Kamu pikir, teman-temanku di cabang lain gak akan memberitahu aku? Langit, si pembalap berbakat yang jadi incaran banyak wanita, justru penasaran dan bertanya banyak hal tentang Maya. Kalo kabar itu gak aku dapatkan dari email internal kantor, mungkin itu sudah bisa jadi judul besar-besaran di koran?” jelas Maya sarkastik.
“Hahahahhahaa.” Menyadari tindakannya selama ini ternyata diketahui Maya. Langit hanya bisa tertawa lebar.
“Jadi aku ketahuan ya?” tanyanya jenaka.
“Kamu gak pantas jadi detektif.” Jawab Maya serius.
“....”
“....”
Tiba-tiba saja, keheningan tercipta saat keduanya sama-sama terdiam.
“Jadi.... Bagaimana?” Langit bertanya perlahan.
“Apanya?”
“Sejak awal, kamu tahu maksudku mendekatimu kan?”
Langit bertanya seraya menatap Maya intens.
“Hentikan!” jawab Maya tegas.
“Kenapa?” tanya Langit tak mengerti.
“Aku tak bisa memberi harapan apapun padamu. Jangan buang waktumu untukku.”
“Aku sama sekali tak membuang waktu. Aku sekarang sedang mengejar masa depanku.”
"Untuk apa mengejar masa depan yang sudah pasti akan gagal?"
"Tapi aku ingin tetap mencobanya."
“Carilah gadis lain yang jauh lebih muda dan lebih cantik, bukan aku.”
“Tapi aku cuma mau kamu.” Langit bersikeras.
"Pokoknya hentikan!!! Sebelum aku mengusirmu." nada suara Maya mulai meninggi.
"Tak perlu diusir pun, besok aku juga harus pergi!" balas Langit dengan nada suara tak kalah tinggi.
“......”
Tak tahu harus menjawab apa, Maya hanya terdiam menatap Langit yang masih saja menatapnya intens.
Laki-laki di depannya ini benar-benar keras kepala.
Sementara itu, setelah berhasil membuat Maya tak bisa lagi berkata-kata, diam-diam Langit menyunggingkan senyum di sudut bibirnya.