"Naraya, buka pintunya!" Tante Utari berteriak dari arah dapur.
Seseorang baru saja menekan bel pintu rumah, bahkan suara bel itu belum juga selesai saat tante Utari sudah meneriaki Naraya untuk membukakan pintu.
Naraya yang sedang belajar memang sudah akan membukakan pintu untuk tamu yang datang, namun karena keterbatasannya, dia tidak mungkin berlari ke pintu depan dengan segera.
"Iya tante…" Jawab Naraya dengan tergesa.
Walaupun Naraya sudah tinggal di rumah tante Utari selama hampir lima tahun dan telah mengenal seluk- beluk rumah ini dengan baik, tapi tetap saja ia harus berhati- hati kalau berjalan, terutama bila Angga, putra tertua dirumah tersebut, berada di rumah.
Angga yang telah berusia dua puluh tahun dan berada di semester tiga kuliahnya, sangatlah keterlaluan pada Naraya, walaupun sepupunya itu tiga tahun lebih tua dari Naraya, tapi kelakuannya tidak berbeda dari bocah delapan tahun yang masih tidak bisa membedakan benar atau salah.
Pernah suatu kali Angga sengaja meletakkan paku payung di jalan yang akan dilewati oleh Naraya, dan membuatnya menginjak benda tajam tersebut.
Ya, Naraya menginjaknya karena ia tidak bisa melihat.
Keadaan Naraya ini bukan karena ia terlahir seperti ini, tapi karena kecelakaan 10 tahun lalu yang telah merenggut penglihatannya dan juga kedua orang tuanya.
Sejak saat itu, Naraya menjadi yatim piatu dan diasuh oleh kakek dan neneknya yang sudah tua. Hanya kedua sosok itulah yang menyayangi Naraya dengan tulus dan menerima keadaan Naraya dengan lapang dada.
Namun, kemalangan Naraya tidak berakhir sampai di situ saja, setahun setelah kepergian orang tuanya, kakeknya menyusul mereka, diikuti oleh sang nenek empat tahun kemudian. Oleh karena itulah sudah lima tahun terakhir ini Naraya ikut tinggal bersama dengan tante Utari yang merupakan adik tiri dari mendiang ibunya, karena hanya tante Utari saja yang merupakan keluarga yang tersisa.
"Aw!" Naraya menahan nafasnya saat ia merasakan rasa sakit tepat di tulang keringnya saat ia menabrak sesuatu. Tangannya terulur kedepan dan mendapati meja kecil berada disana.
Meja sudut ini tidak seharusnya berada disini, ini pasti ulah Angga lagi.
Seolah membenarkan tebakan Naraya, terdengar tawa Angga dari arah ruang televisi, ia menertawakan leluconnya yang menyengsarakan sepupunya itu.
"Makanya kalau jalan lihat- lihat!" Teriaknya, tapi kemudian ia menutup mulutnya sendiri lalu mencemooh. "Ups! Lupa kalau loe gak bisa lihat!" Setelah itu tawanya semakin nyaring.
Naraya sudah biasa dengan perkataan seperti itu dari Angga, tapi tetap saja rasa sakit itu masih terasa.
Berusaha mengacuhkan rasa sakit dan rasa kesal terhadap Angga yang tertawa terbahak- bahak, Naraya melangkah dengan cepat dan lebih berhati- hati.
Percuma saja meladeni Angga, Naraya tidak akan menang dan sebagai tambahan, tante Utari akan memarahinya juga kalau ia sampai bertengkar dengan anak kesayangannya itu.
Saat Naraya baru akan sampai ke pintu depan, bel pintu itu kembali berbunyi. Mungkin tamu tersebut berpikir, orang di rumah sedang tidur.
"Naraya apa yang kamu lakukan!? Cepat buka pintunya!" Suara tante Utari yang melengking nyaring menggema ke seantero rumah.
Padahal, Angga berada lebih dekat dengan pintu depan, tapi ia tidak sedikitpun beranjak dari sofa empuknya sambil bermain game di ponselnya.
Mendengar Naraya dimarahi, tawanya terdengar semakin senang.
Dengan menahan rasa sakit di tulang keringnya Naraya menyentak pintu terbuka dengan kesal. Kenapa orang ini sangat tidak sabar?
"Iya? Ada yang bisa di bantu?" Tanya Naraya.
"Ini rumah keluarga pak Dirga?" Tanya seorang pria berpakaian sangat rapih dengan jas hitam dan sepatu pantofelnya.
"Iya, benar. Saya keponakannya." Jawab Naraya. "Tapi… pak Dirga sudah meninggal dua tahun yang lalu…" Ucapnya perlahan.
Karena Naraya tidak bisa melihat dan tidak mengenali suara tamu tersebut, ia tidak langsung mempersilahkannya masuk.
Tamu pria itu sedikit mengerutkan keningnya. Gadis muda dihadapannya ini memang membuka matanya, namun tatapannya kosong dan ia memandang ke arah yang salah.
"Saya buta…" Naraya memberitahukan sang tamu tersebut saat ia merasakan pria itu melambaikan tangannya tepat di depan wajahnya.
Ini bukan pertama kalinya terjadi, jadi Naraya sudah terbiasa dengan perlakuan semacam ini, dan karena matanya yang tidak bisa melihat, Naraya menjadi lebih sensitive terhadap sekitarnya tapi tidak sampai di tahap ia mampu berjalan sendiri di keramaian.
Itu sama saja bunuh diri.
"Oh, maaf. Saya tidak bermaksud tidak sopan." Jawab pria itu dengan nada yang sangat formal, tapi tidak ada ketulusan dalam permintaan maafnya. "Kalau begitu, bisa saya menemui istri pak Dirga?"
"Maaf, bapak dengan…?" Tanya Naraya halus.
Biasanya pria tersebut akan menunjukkan kartu bisnisnya, tapi karena Naraya tidak bisa melihat, jadi dia harus memperkenalkan dirinya.
"Saya Rafael Wijaya, assistant pribadi ibu Amira Prihadi." Jawab pria itu dengan suara yang tegas namun berwibawa.
Walaupun Naraya tidak mengenal pria tersebut, namun dengan hanya mendengar suaranya saja, Naraya yakin pria bernama Rafael ini bukanlah orang sembarangan.
"Silahkan masuk pak Rafael." Ucap Naraya sambil melangkah, memberikan ruang pada Rafael untuk masuk ke dalam rumah. Kemudian ia menunjukkan sofa yang berada di hadapannya. "Silahkan duduk sebentar, saya akan panggilkan tante saya."
Rafael mengangguk dengan sopan, namun ia ingat Naraya tidak bisa melihat anggukannya tersebut. "Terimakasih."
Naraya tersenyum simpul sambil melangkah menuju dapur, dimana tante Utari sedang memasak bersama mbok minah.
"Siapa tuh?" Tanya Angga saat Naraya melewati ruang televisi lagi.
Naraya memutuskan untuk tidak menjawabnya karena ia pikir itu hanyalah pertanyaan sambil lalu, lagipula Angga tidak pernah peduli pada tamu- tamu di rumah ini dan melanjutkan langkahnya ke arah dapur.
Namun Angga melihat tamu kali ini berbeda, pria yang berada di ruang tamu keluarganya kini seperti orang yang sangat penting dengan pakaian yang terlihat mahal, oleh karena itu saat pertanyaannya tidak dijawab oleh Naraya, karena kesal, Angga justru melemparkan bantal sofa ke kepalanya.
"Gue tanya siapa!? Jangan sampe gue samperin loe kesana ya!" Ancam Angga.
Kalau sampai Angga yang menghampirinya, masalahnya akan berbuntut panjang.
"Tamu buat tante Utari!" Ucap Naraya dengan kesal. Sekarang bukan hanya kakinya saja yang sakit, tapi kepalanya juga.
"Tamu buat Ibu?" Angga mengerutkan keningnya. Seingatnya, keluarga mereka tidak pernah berhubungan dengan orang- orang berpakaian seperti itu.
Saat Naraya tiba di dapur, ia memberitahukan tante Utara mengenai tamunya yang menunggu di depan. "Namanya Rafael Wijaya, tante."
Seketika itu juga air wajah tante Utari berubah saat ia mendengar nama tamu tersebut. "Rafael Wijaya?"
Naraya merasa dari reaksi tante Utari yang terkejut, sepertinya mereka berdua saling mengenal satu sama lain.
"Siapkan kopi yang tante simpan di lemari pojok!" Perintah Utari dengan tergesa- gesa. "Kamu diam di sini dan jangan keluar lagi!"