Sementara itu, di dalam rumah yang berantakan dengan banyak pecahan kaca yang berserakan di lantai dan bangku serta meja yang bergeser tidak pada tempatnya, Angga berjalan menuju pintu rumah dan menguncinya dari dalam, memastikan tidak ada tetangga atau seorangpun yang menyadari kegaduhan yang telah terjadi di dalam rumah ini.
Angga meringis sambil memegangi kepalanya yang sakit lalu duduk di sofa ruang tamu, tangannya mengetik sesuatu di layar ponselnya.
Kejadian tadi benar- benar membuat dirinya tersadar dari pengaruh alcohol. Bayangan Naraya yang menjambak rambutnya sekuat tenaga sampai dia merasa seluruh kulit kepalanya akan terlepas, kembali teringat di kepalanya.
Angga menghembuskan nafasnya dengan keras sambil memijit pelipis keningnya, matanya menatap layar ponsel yang menggelap, menunggu seseorang untuk menghubunginya.
Namun, dia tidak perlu menunggu terlalu lama, karena beberapa detik kemudian layar ponselnya menyala dengan serentetan nomor yang tidak berada di dalam inbox ponselnya tertera di layar.
Sebuah senyum menyeringai di sudut bibir Angga sebelum dia mengangkat panggilan tersebut di dering ke enam, mengindikasikan kalau dia tidak sedang menunggu telepon dari orang tersebut.
"Hallo?" Sapa Angga dengan suara datar.
Hening, sebelum akhirnya suara seorang pria yang terdengar tegas membalas sapaan Angga. "Saya sudah terima foto- foto yang telah anda kirim, untuk selanjutnya silahkan di hapus foto- foto tersebut dari ponsel anda."
"Baik, pak Rafael." Jawab Angga dengan patuh. "Lalu bagaimana dengan uang saya?" Tanyanya dengan antusias.
"Seharusnya uang tersebut sudah terkirim ke rekening anda." Jawab Rafael dengan tanpa nada.
"Oke, terimakasih. Kalau ada yang lain, yang anda atau Ibu Amira butuhkan, bisa hubungi saya saja." Mata Angga berbinar, mengingat nominal uang yang di janjikan Amira akan di berikan padanya. Nominal itu tidak sedikit untuk pekerjaan mudah dan menyenangkan seperti ini.
"Sudah saya katakan berkali- kali, jangan menyebut nama." Ujar Rafael dengan tegas.
"Oh, maaf saya lupa…" Tapi, sebelum Angga dapat mengakhiri kalimatnya, sambungan telepon telah terputus dan meninggalkan Angga hanya dengan nada dering yang monoton.
Angga tidak begitu peduli, dia mengangkat bahunya sambil bersiul, mengecek nominal uang di rekeningnya yang meningkat drastis dan hal ini membuat senyumnya lebih merekah.
Setelah mengecek nominal uang di rekening bank nya, Angga kemudian membuak folder foto dan video. Disana dia dapat melihat foto Naraya yang sedang menangis dengan bajunya yang telah separuh terbuka, menunjukkan dadanya yang mulus dan bra hitam miliknya.
Angga menatap foto tersebut berlama- lama lalu kemudian memutar video yang berisikan mengenai apa yang telah dia perbuat terhadap Naraya hingga berkali- kali sambil tersenyum senang.
Angga berbohong saat mengatakan kalau dia telah menghapus video tersebut, karena pada kenyataannya dia berniat untuk mengambil keuntungan lebih melalui video itu.
Kenapa dia harus menghapusnya?
Secara pribadi Angga menyukainya. Kalau saja Naraya tidak berhasil melarikan diri, kemungkinan besar dia sudah melancarkan aksinya hingga akhir dan mungkin dia akan mendapatkan bonus dari Amira Prihadi…
Amira Prihadi dan Rafael…
Tiga hari yang lalu Rafael datang menemuinya dan menawarkan Angga untuk melakukan hal ini, namun dia ragu, karena biar bagaimana pun juga dia masih memiliki hubungan darah dengan Naraya, tapi begitu nominal uang disebutkan, keraguan Angga menguap menjadi debu.
Persetan dengan hubungan saudara kalau dia bisa mendapatkan uang banyak dengan cara ini…
Tapi, setelah Angga mendapatkan uang yang dijanjikan, dia masih tidak puas, dia merasa bahwa dia bisa saja mendapatkan lebih.
Biar bagaimanapun juga manusia adalah makhluk serakah yang tidak pernah puas kan?
# # #
Berdiri di ambang pintu, yang menghubungkan sebuah kamar mewah dengan design yang spektakular dan sebuah balkon yang menyajikan pemandangan taman mawar yang luar biasa indah, Amira baru selesai menerima telepon dari Rafael, dia mengangguk dan tersenyum dengan licik.
"Bagus." Ucapnya dengan desisan sebelum menutup ponselnya.
Mata Amira yang bulat dan memancarkan kesinisan menatap langit yang menggelap tanpa cahaya bulan, sepertinya hujan akan mulai turun.
Ini hanyalah langkah awal dari rencana- rencana yang telah dia susun untuk Liam selama bertahun- tahun.
Ini hanyalah permulaan.
Amira akan menggunakan Naraya untuk menjatuhkan Liam dan menghancurkannya.
Ini hanyalah permulaan dari balas dendam yang telah Amira pupuk sekian lama.
# # #
Naraya tertidur karena kelelahan setelah menangis dan berontak untuk melepaskan diri, hal ini benar- benar menghabiskan tenaganya.
Namun, dia terbangun saat mobil yang dikendarai oleh Raka berhenti dan Liam menggendongnya keluar dari mobil.
"Aku bisa jalan…" Ucap Naraya dengan pelan sambil menggeliat turun dari dekapan Liam.
Tanpa aba- aba Liam melepaskannya dan membuat Naraya sedikit limbung karena tiba- tiba harus berdiri dan kehilangan keseimbangannya.
Beruntung Liam menahan tubuhnya sebelum Naraya jatuh ke aspal jalanan.
Setelah Liam yakin Naraya sudah mendapatkan keseimbangannya kembali, dia melepaskan tangannya yang menopang tubuh Naraya dari pundaknya lalu kemudian menggenggam tangannya seraya membawanya masuk ke dalam lobby gedung dan seterusnya memasuki lift menuju apartment milik Liam.
Sepanjang perjalanan menuju apartment Liam yang terletak di lantai tertinggi, tidak ada satupun yang berbicara di antara mereka berdua.
Sebetulnya Naraya ingin menanyakan dimana Raka, karena dia tidak mendengar langkah kaki lain selain milik dirinya dan Liam, tapi Naraya tidak berani membuka suara.
Setelah beberap detik di dalam lift, Liam kembali menarik tangan Naraya untuk mengikutinya begitu pintu lift tersebut terbuka.
Liam berjalan dengan langkahnya yang panjang dan Naraya harus setengah berlari untuk mengejarnya, ada perasaan takuk kalau- kalau dia akan menabrak sesuatu, tapi mengenyahkan perasaan tersebut, berpikir kalau Liam tidak mungkin akan menabrakkannya ke tembok.
Setelah berjalan beberapa lama, Liam akhirnya berhenti, tapi dia tidak juga melepaskan genggamannya pada tangan Naraya ketika dia memasukkan kode- kode rumit untuk membuka pintu apartmentnya.
Naraya merasa Liam menariknya masuk kedalam ruangan yang terasa asing dengan bau maskulin yang menguar di udara.
Ini pasti rumah Liam. Batin Naraya.
Setelah itu, dia merasa Liam mendorong tubuhnya dan membuatnya terduduk di sofa yang empuk lalu meninggalkan Naraya sendiri disana.
"Liam…?" Naraya memanggil namanya dengan khawatir. Dia merasa asing dengan tempat ini dan merasa takut apabila hanya di tinggal sendirian.
Sebelum Naraya memutuskan untuk bangkit berdiri dan mencari Liam dengan cara menjelajahi ruangan tersebut, Liam telah berdiri di sampingnya tanpa suara dengan segalas susu hangat di tangannya.
Pria tersebut mendorong pundak Naraya dengan pelan sampai dia terduduk kembali, kemudian meraih kedua tangan Naraya dan menggenggamkan susu hangat ke tangannya.
Liam kemudian duduk di atas meja tepat di hadapan Naraya, jarak mereka begitu dekat hingga kaki mereka bersentuhan.
"Katakan, siapa yang melakukan ini padamu." Suara Liam sangat datar, namun matanya yang memandang bekas memar di leher Naraya tidak bisa menyembunyikan kemarahannya.