"Ponsel?" Naraya mencoba menebak benda kecil di dalam genggaman tangannya yang tadi diberikan oleh Raka.
Ponsel ini, bukanlah ponsel berlayar datar dengan fitur canggih dan fungsi touch screen, seperti halnya ponsel- ponsel keluaran terbaru, melainkan sebuah ponsel dengan tombol- tombol angka yang dapat Naraya sentuh.
Ponsel tipe lama.
Namun, ponsel seperti itulah yang cocok untuk Naraya, karena dengan begitu akan mempermudah dirinya untuk menerima dan melakukan panggilan telepon.
Ponsel tersebut sangat kecil dan mudah di selipkan di saku celananya dan berwarna merah marun yang manis, sayang sekali Naraya tidak bisa melihatnya.
"Pak Liam meminta saya untuk memberikan ponsel ini kepadamu." Ucap Raka. "Kalau kamu butuh sesuatu tinggal tekan angka satu untuk panggilan cepat."
Raka membantu Naraya untuk meraba posisi angka satu di atas tombol- tombol ponsel tersebut.
"Tekan agak lama untuk panggilan cepat, maka kamu akan terhubung ke nomor saya." Raka menerangkan.
Wajah Naraya terlihat sumringah dan antusias mendengarkan penjelasan Raka. Ini merupakan ponsel pertamanya dan juga merupakan hadiah pertama yang Liam berikan untuknya.
Kalau saja Liam tidak mengatakan niatnya untuk membawa wanita- wanita lain ke dalam rumah mereka nantinya, mungkin Naraya akan dapat berimajinasi mengenai kehidupan pernikahan impiannya walaupun pernikahan tersebut hanya akan bertahan satu tahun.
Waktu satu tahun tersebut sudah cukup bagi Naraya untuk merasakan bagaimana rasanya memiliki seseorang yang akan menjaganya.
Kalau saja Liam tidak mengatakan niatnya yang buruk itu atau setidaknya merahasiakannya dari Naraya…
"Nomor pak Liam?" Naraya dengan polosnya bertanya.
Pikirannya yang masih remaja terlalu sederhana untuk menangkap dan memahami situasi yang rumit ini. Naraya pikir, dengan Liam memberikan ponsel padanya, setidaknya dia akan membiarkan Naraya untuk meneleponnya juga, kan?
Raka berdehem untuk membersihkan tenggorokannya.
"Kalau nomor satu merupakan panggilan cepat ke nomor pak Raka, apakah yang nomor dua merupakan panggilan cepat ke nomor pak Liam?" Naraya bertanya dengan hipotesisnya sendiri, sayangnya dia tidak dapat melihat perubahan ekspresi wajah Raka saat ini.
"Naraya begini…" Raka mencoba untuk mencari kata- kata yang tepat untuk di gunakan agar Naraya tidak terlalu tersinggung, tapi gagal, hingga akhirnya dia memutuskan untuk berkata apa adanya. "Di ponsel ini hanya ada nomor saya karena pak Liam sangat sibuk, jadi kemungkinan dia tidak bisa selalu mengangkat setiap panggilan masuk, jadi…"
"Iya saya mengerti…" Potong Naraya dengan lembut.
Tentu saja Naraya mengerti kalau Liam tidak akan mungkin mau menerima telepon darinya, tidak perduli seberapa manisnya Raka merangkai kata- katanya untuk disampaikan pada Naraya, pada intinya akan sama saja.
Namun Naraya cukup senang menerima ponsel tersebut, terlebih lagi karena itu dari Liam, karena biar bagaimanapun juga, walaupun hanya hal kecil, itu berarti Liam masih menaruh perhatian pada dirinya.
"Tapi, tidak usah khawatir, pak Liam memiliki nomormu kok." Raka mencoba menghibur Naraya.
"Iya." Jawab Naraya singkat sambil tersenyum samar.
"Kalau ada apa- apa hubungi saya saja." Ucap Raka sebelum dia melangkah pergi. "Terutama kalau tante dan sepupumu mulai menyakitimu kembali." Dia memperingatkan, memberitahu Naraya secara tidak langsung kalau dia tahu perlakuan tante utari dan anak- anaknya padanya.
"Iya saya mengerti…" Naraya mengangguk dengan sungguh- sungguh. Hatinya merasa lebih tenang saat ini karena dia merasa Raka berada di pihaknya, dan berusaha membelanya. "Pak Raka, terimakasih ya." Ucap Naraya dengan lembut, dia tersenyum dan menampilkan lesung pipi di kedua sisi wajahnya.
"Sama- sama, Naraya." Jawab Raka. "Kalau begitu saya permisi dulu. Untuk urusan sekolah, nanti saya akan hubungi kamu ya."
"Baik." Suara Naraya terdengar ceria, dia baru akan melangkah keluar dari kamarnya untuk mengantarkan Raka, namun di tolak dengan halus.
"Tidak perlu di antar, sampai disini saja." Ucap Raka yang kemudian pergi.
Begitu Naraya mendengar langkah kaki Raka yang semakin menjauh lalu suara tante Utari yang berbasa basi untuk menawarkannya minuman dingin lagi, Naraya melangkah masuk kedalam kamarnya dan mengunci pintunya.
Senyum masih menghiasi bibir Naraya saat dia merebahkan tubuhnya di atas ranjang sambil menggenggam ponsel mungil pemberian Liam di tangannya.
# # #
Di kediaman Prihadi.
Liam baru saja kembali dari kantor dengan penat yang membuat kepalanya terasa sakit, wajahnya yang dingin bertambah terlihat tidak menyenangkan begitu melihat Amira Prihadi duduk santai di ruang televisi.
Liam merutuki ketidakberuntungannya ini.
Kalau saja bukan karena nenek Asha yang memintanya dengan sungguh- sungguh untuk tetap tinggal disana, sudah sejak lama Liam angkat kaki dari rumah utama ini, demi menjaga kesehatan mentalnya untuk menjauh dari Amira Prihadi.
Untungnya, setelah menikah dengan Naraya nanti, nenek Asha setuju kalau Liam dan Naraya menempati rumah di sisi kiri rumah utama.
Walaupun kedua rumah tersebut berada di satu area, namun jarak tempuh diantara keduanya bisa memakan waktu kurang lebih sepuluh menit dengan menggunakan kendaraan.
Dengan adanya taman dan kebun yang luas serta danau buatan, menjadikan lingkungan di sekitar kediaman keluarga Prihadi seperti desa kecil yang asri dengan dua rumah menjulang tinggi di antaranya.
Rumah utama merupakan tempat tinggal keluarga Prihadi, namun rumah kedua dibangun lima tahun lalu dan memang diperuntukkan untuk Liam setelah dia menikah.
Untuk saat ini, hanya ada pelayan yang membersihkan rumah kedua tersebut secara berkala.
Liam memasuki rumah tanpa menegur ataupun menatap Amira yang sedang tertawa melihat film comedy.
Begitu pun Amira, walaupun dia tahu Liam telah kembali, tapi dia tidak ada niat untuk mengalihkan fokusnya pada hal yang tidak berguna, menurutnya.
"Liam, kesini sebentar."
Liam mendongakkan kepalanya saat ia mendengar suara nenek Asha yang lembut memanggilnya dari lantai dua rumah.
Terlihat nenek Asha tengah melambaikan tangannya, meminta Liam untuk masuk kedalam kamarnya.
Liam menurut, dan daripada harus berurusan dengan Amira, akan lebih baik apabila dia mendengarkan permintaan nenek Asha, karena jarang sekali sang nenek meminta sesuatu darinya.
"Nenek ingin menanyakan pendapatmu. " Ucap nenek Asha dengan antusias.
"Pendapat apa Nek?" Tanya Liam dengan lembut.
Nenek Asha kemudian mengeluarkan gaun putih dari lemari pakaiannya dengan hati- hati dan meletakkanya di atas ranjang dengan perlahan, seolah- olah dia sedang menimang bayi yang tertidur.
"Bagaimana menurut kamu?" Tanya nenek Asha ceria.
Liam sedikit mengerutkan keningnya. "Bagus." Jawabnya singkat karena memang tidak mengerti jawaban seperti apa yang nenek Asha inginkan.
"Bukan itu maksud nenek." Nenek Asha menepak bahu Liam dengan ringan.
"Lalu apa nek?" Liam tersenyum kecil pada neneknya, padahal kalau nenek Asha ingin memukulnya lebih keras lagi, Liam tidak masalah dengan itu.
"Ini merupakan gaun yang nenek kenakan saat menikah dengan kakekmu dulu dan sekarang nenek ingin calon menantu nenek yang mengenakannya saat pernikahan kalian, bagaimana menurutmu? Apakah Naraya akan suka?" Tanya Nenek Asha penuh harap.