Kenyataan bahwa Naraya merupakan remaja berusia tujuh belas tahun memang tidak dapat di pungkiri, melihat bagaimana dengan mudahnya Naraya jatuh dalam sikap lembut Liam pada dirinya.
Tapi, semua itu terjadi bukan tanpa alasan.
Kehidupannya yang terbilang sangat tidak menyenangkan selama ini, membuat Naraya luluh hanya dengan sedikit ucapan manis dan sentuhan lembut dari Liam, yang merupakan sebuah kesalahan.
Tapi, kehidupannya itu juga yang mengajarkan Naraya untuk lebih memahami orang- orang di sekitarnya, memaknai hidupnya dan mengerti arti penting dari sebuah kata 'buta'.
"Hatimu buta Liam, karena kamu tidak pernah menggunakannya." Seandainya Naraya dapat melihat, maka Liam akan melihat sorot mata Naraya yang tajam. "Apa yang salah dengan menggunakan hati? Apa kamu bahagia dengan hanya menggunakan logikamu?"
"Lalu apakah kamu bahagia sekarang dengan menggunakan hatimu?" Sergah Liam balik bertanya.
"Lalu apakah pikiranmu tenang sekarang setelah menggunakan logikamu?" Naraya mengggunakan metafora yang sama dalam menjawab pertanyaan retoris Liam.
Keduanya tidak mau mengalah dan keras kepala bila dihadapkan pada situasi seperti ini.
"Tidak perlu berdebat denganku." Liam ingin mengakhiri pertengkaran ini, ia mulai merasa tidak nyaman dengan setiap kata- kata Naraya yang menghujamnya. "Kita akan menikah satu jam lagi."
Mendengar kenyataan itu, Naraya tidak bisa berkata apa- apa lagi…
Mereka akan menikah, jadi tidak ada yang perlu di perdebatkan lagi. Cukup menjaga perasaan dan sikap masing- masing, serta menjalani apa yang telah tertera di dalam kontrak yang telah mereka sepakati bersama.
Bukankah akan lebih mudah seperti itu? Perasaan ini pun akan berlalu bukan? Ini hanyalah rasa suka sesaat yang Naraya rasakan, karena ia merasa sendirian…
Pasti itu…
Tepat pada saat Naraya ingin mengatakan sesuatu, pintu ruang rias terbuka dan suara nenek Asha serta hairstylist yang meninggalkan Naraya sendirian tadi terdengar diiringi derap langkah kaki mereka.
"Liam! Kamu tidak boleh di sini!" Omel nenek Asha. "Pantas saja nenek mencarimu kemana- mana dan kamu tidak ada, ternyata ada di sini! Keluar cepat." Wanita paruh baya itu terdengar sangat gusar sambil mendorong tubuh Liam menjauh dari ruangan.
Sementara nenek Asha mengusir Liam keluar, sang hairstylist memasangkan tiara di atas kepala Naraya, diantara sela- sela rambutnya.
"Wah… cantik sekali…" Seru nenek Asha dengan rasa haru saat melihat Naraya mengenakan gaun pengantin yang pernah ia pakai dulu, berpuluh- puluh tahun lalu. "Nenek harap pernikahanmu akan berlangsung selamanya, hingga maut yang memisahkan…"
Doa nenek Asha yang diamini oleh sang hairstylist tapi, Naraya diam seribu bahasa.
# # #
Tidak ada yang istimewa saat pernikahan tersebut berlangsung, semua berjalan sesuai rencana, sangat lancar dan mulus tanpa hambatan hingga Naraya tidak menyadari bahwa acara sederhana yang mewah itu telah selesai.
Segala prosedur sudah di jalani dan kini Naraya dan Liam telah menjadi sepasang suami isteri.
Tante Utari dan Ara datang ke acara pernikahan sederhana ini, tapi tidak dengan Angga dan Naraya lega karenanya.
Dikarenakan tidak banyak orang yang datang, jadi acara pernikahan ini tidak ada bedanya dengan acara makan makan malam yang selalu di adakan oleh keluarga prihadi, hanya dengan tambahan beberapa orang saja.
Apalagi bagi Naraya yang memang tidak bisa menikmati pemandangan cantik yang terhampar di depan matanya.
Setelah acara selesai, maka mulai dari sekarang Naraya akan tinggal bersama Liam di rumah mereka.
Nenek Asha mengatakan kalau rumah baru mereka ini memang sudah di persiapkan untuk Liam apabila dia menikah nanti, dan letak rumah ini tidak begitu jauh dari rumah utama sehingga setiap saat Naraya merasa bosan, dia bisa datang dan menemui nenek Asha.
Terdengar manis memang, walaupun kata 'dekat' yang di katakana nenek Asha itu masih membutuhkan 5 menit jarak tempuh dengan kendaraan.
Acara makan malam itu berakhir pukul 10 malam dan Liam menggenggam tangan Naraya dan bersikap sangat amat manis di hadapan anggota keluarganya.
Setengah alasan dari tindakannya adalah untuk membuat Amira marah dan setengahnya lagi adalah untuk menyenangkan nenek Asha. Itu saja.
Karena begitu pintu mobil di tutup dan hanya ada mereka berdua, Liam kembali ke sifatnya yang semula. Dingin.
Bahkan sisa- sisa kehangatan sikapnya yang ia tunjukkan pada Naraya beberapa hari lalu untuk waktu yang sangat singkat juga ikut menghilang.
Kini, mereka seperti orang asing.
Menikahi satu sama lain tapi duduk dalam diam dengan pikirannya masing- masing.
Begitu mereka sampai ke rumah baru mereka, Liam masih memiliki kesadaran untuk membantu Naraya untuk turun dari mobil.
Beberapa pelayan di sana menyambut pasangan baru ini di depan pintu dengan senyum merekah di wajah, namun Liam mengangkat tangannya dan memerintahkan mereka untuk membubarkan diri.
Dia tidak membutuhkan sambutan- sambutan semacam itu.
Dan dalam diam, Liam menggenggam tangan Naraya dan mengantarkannya ke kamar mereka.
"Ini kamarmu, kamarku ada di sebelah." Kata pertama yang ia ucapkan setelah meninggalkan pesta pernikahan mereka.
Liam bersikeras untuk memiliki kamar yang terpisah dengan Naraya, dengan alasan dia masih sekolah dan berada di satu kamar yang sama tidak akan membantu. Well, biar bagaimanapun Liam adalah pria dewasa…
Dengan alasan ini nenek Asha dan yang lainnya setuju, tentu saja tidak dengan Amira, namun siapa yang peduli?
Setelah pernikahan ini, Liam telah memenuhi janjinya, jadi wanita itu tidak bisa complain atau menuntut apapun dari nya lagi.
"Okay." Naraya melepaskan tangannya dari Liam dan mulai merraba jalannya sendiri…
Namun Liam kembali menarik tangannya dan menuntun Naraya untuk mengetahui letak perabotan di dalam kamarnya ini.
"Kasur… lemari… nakas… kamar mandi…" Dan seterusnya, Liam membawa Naraya mengelilingi kamarnya dan menjelaskan satu persatu barang- barang yang ada.
Barulah pada saat itu Naraya menyadari betapa luasnya kamar yang ia tempati. Mungkin bisa dikatakan jauh lebih luas dari kamar yang ia tempati di apartment Liam.
"Dan ini piyamamu." Liam mengambilkan satu stel piyama untuk Naraya dan meletakkannya di tangannya. "Untuk area rumah kamu bisa meminta pekerja disini untuk membantumu."
"Terimakasih." Jawab Naraya pelan.
Setelah itu, ada keheningan yang jatuh di kamar tersebut, begitu hening hingga membuat tidak nyaman.
"Besok kita akan pergi pagi- pagi sekali, jadi sekarang tidurlah." Ucap Liam, pada akhirnya memecah kesunyian.
Naraya tahu mereka akan pergi kemana, karena nenek Asha bersikeras agar mereka berbulan madu dan mereka berdua telah menyetujuinya.
Sebetulnya tidak masalah kemana mereka pergi, karena Naraya tidak akan menikmatinya juga, bukan? Apalagi dengan hanya berdua dengan Liam dalam hubungan yang seperti ini.
Seandainya saja Liam tidak berpura- pura untuk bersikap hangat pada Naraya dan mengatakan kata- kata tidak berperasaan seperti tadi… maka mungkin, hubungan mereka tidak akan seperti ini.
"Terimakasih." Ucap Naraya lagi.
Setelah itu ia merasakan Liam berjalan menjauh darinya dan begitu Naraya mendengar suara pintu yang tertutup, ia menghembuskan nafasnya dengan lega dan mulai melepas baju pengantin yang ia kenakan.
Baju pengantin ini tidak begitu rumit, sehingga Naraya tidak membutuhkan orang lain untuk membantunya melepaskannya.
Tapi, yang tidak Naraya ketahui adalah, Liam tengah memperhatikannya sambil bersandar di pintu kamar. Ia sama sekali tidak keluar dari kamar itu.