Tidak ada hal yang berarti di akademi. Seperti biasa, aku hanya memperhatikan pengajaran Guru Grace dengan kesadaran yang tidak utuh.
Sempat ada kejadian di mana sebuah kapur tulis melayang ke arahku. Namun, aku bisa menghindari itu. Yah, meski selanjutnya aku tidak bisa menghindari serangan rotan yang diberikan langsung oleh Guru Grace.
Sampai jam pelajaran terakhir, pipiku masih merah lebam. Untungnya, ini tidak sakit lagi karena aku mengganti kemampuan pasifku menjadi tahan sakit, bukan anti gores lagi.
Hanya sebuah percobaan, karena aku tidak pernah mengganti kemampuan pasif yang kudapat dari Roh Kontrak-ku.
Aku memiliki empat kemampuan pasif yang dapat diganti sesuka hati selama Roh Kontrak-ku tidak ngambek atau sejenisnya.
Pertama adalah anti gores, kedua adalah penghilang rasa sakit, ketiga adalah pemindah rasa sakit ke penyerang, dan keempat adalah … rahasia~ Tunggu saja tanggal mainnya.
Aku melakukan berbagai percobaan dengan kemampuan pasif keduaku itu. Saat memakan makanan, aku tidak merasakan apa-apa—Semuanya hambar, seperti apa yang dimasak Revalia. Saat menyentuh sesuatu, aku tidak merasakan apa-apa—entah itu berat atau sebagainya.
Lalu keesokannya, akademi libur karena itu adalah hari sabtu. Gadis-gadis yang biasanya berpakaian dengan seragam akademi mereka, kini sedang mengenakan pakaian santai di Distrik Asrama ini.
Niatnya sih, hanya ingin menghabiskan waktu sampai satu jam berlalu. Namun tidak kusangka, ketika aku memanjat salah satu pohon dan berbaring di dahannya yang nampak kuat, aku ketiduran.
Untung saja dahannya tidak patah atau akunya banyak gerak. Jika itu terjadi dan ada saksi mata, mungkin aku akan dilarikan ke rumah sakit.
Dilihat dari menara jam yang ada di tengah-tengah Distrik Akademi ini, aku bisa memastikan kalau aku sudah ada di sini selama lima jam lebih.
Jam sekarang adalah delapan. Kira-kira aku datang ke tempat ini sekitar jam tiga. Yup, menganggapnya dengan lima jam tidaklah salah.
Untuk mengapa aku ada di sini, tidak ada alasan tetap. Aku hanya ingin jalan-jalan karena merasa jenuh saat lagi-lagi bangun lebih cepat dari biasanya.
Seharusnya pintu depan asrama terkunci, tetapi sepertinya Kepala Asrama lalai dan berakhir dengan membiarkan pintunya tak terkunci.
Memikirkan soal asrama … aku jadi teringat dua gadis yang tadinya masih tidur di kamar itu. Mereka sudah bangun, 'kan? Dan sekarang mungkin ….
"… Benar juga, mereka pasti sedikit khawatir denganku yang tidak pulang-pulang seperti Bang To– Lupakan."
Melompat dari dahan pohon, aku pun mendarat ke tanah dengan selam– Ah~ kepalaku sedikit pusing, tetapi ini … bukan masalah.
"Ketemu juga kau."
Di ujung jalan, aku mendengar suara yang sepertinya diarahkan padaku. Pemilik suara itu adalah Ravelia. Ia berlarian kecil untuk sampai kemari.
"Ke mana saja kau? Kami berdua mencari-carimu dari tadi."
"Maaf, maaf. Aku ketiduran di atas sana."
Mendengar permintaan maafku sambil menunjuk ke dahan pohon, Ravelia membuang nafas tidak percaya dengan itu.
"Ada-ada saja. Ayo, kembali. Kau belum makan ataupun mandi, bukan? Meski ini hari libur untuk pelajaran di akademi, bukan berarti ini itu juga ikut libur."
"Iya, iya. Tidak usah menarik tanganku, ah."
***
Tanpa kusadari, hari libur telah berakhir.
Angin berhembusan dengan lembut menerpaku. Pandanganku terarah ke bawah, menangkap cahaya yang satu per satunya dimatikan karena sudah saatnya tidur.
Tanganku yang meremas pembatas mulai gemetaran, merasakan dingingnya malam di tempat tinggi seperti atap asrama ini.
"Kenapa kamu malah ada di sini?"
Begitu suara yang berasal dari belakang tersebut mencapai telingaku, aku berbalik dan menemukan Ravelia di sana.
"Bukan apa-apa. Daripada itu, bukankah tadi kamu sudah tertidur, Tuan Putri? Apa ada sesuatu yang mengganggumu?"
Ravelia kemudian menggeleng disertai desahan. Namun itu bukanlah untuk jawaban dari pertanyaanku tadi, melainkan untuk hal yang berbeda.
"Bisa panggil aku dengan namaku? Jika malas, sebutkan saja yang singkatnya. Kita sudah cukup dekat untuk memanggil nama singkat."
"Reva, begitu?"
Reva mengangguk dengan senyuman di wajahnya. Apa ia merasa senang dengan itu? Yah, baguslah, kupikir.
"—Aku tadi memang tidur. Namun, karena tadi terlalu banyak minum, aku terbangun. Setelahnya, aku tanpa sengaja tidak menemukan dirimu dan pintu kamar yang sedikit terbuka. Karena pintu depan asrama terkunci, aku mencoba berkeliling dan tiba di sini."
Niat sekali ia, mengelilingi asrama hanya untuk mencariku. Meski ini tidak seluas Asrama Kelas Dua Lion, tetap saja melangkahi tangga bagi dirinya yang terbiasa memakai lift pasti merupakan hal yang merepotkan.
"Lagian, ada yang ingin kukatakan."
Berjalan ke tempatku, Ravelia lalu menyandarkan punggungnya ke pembatas atap. Berbeda denganku yang menempelkan telapak tangan padanya.
"Besok … kamu punya waktu luang?"
Entah kenapa … aku merasa kalau Reva mengatakan sesuatu yang diucapkan seseorang ketika ingin mengajak orang lain untuk kencan.
"Yah, harusnya ada. Memangnya untuk apa kamu menanyakan itu? Mengajakku berkencan? Kalau iya, tentu kuterima."
Aku tersenyum masam mengatakan itu. Tidak serius, jadi … ya begitulah. Lupakan itu, reaksinya selanjutnya pasti adalah ….
"Kalau begitu, besok jam sepuluh setengah. Datanglah ke dekat menara jam yang ada di Distrik Perbelanjaan."
… Lah? Yang benar? Itu saja? Kupikir ia akan berkata, 'D-Dasar bodoh! M-Mana mungkin aku mengajakmu untuk itu! A-Aku cuma mengajakmu berkeliling saja! Kau baru seminggu di sini, 'kan!?' dengan wajah yang memerah.
Oh, ya. Ia adalah Revalia. Gadis terus terang pada perasaanya tetapi cukup jarang menunjukkan ekspresinya. Meski begitu, ia gadis yang baik.
"Setidaknya, aku ingin bersamamu besok sebagai perpisahan karena besok aku tidak ada di asrama ini lagi."
"Ternyata begitu."
Besok, ya? Lusa nanti mungkin kami tidak akan sesering ini untuk berbicara. Kalau begitu apa boleh buat.
****
Aku … kembali memimpikannya.
Dengan senandungan ceria disertai langkah yang kadang melompat-lompat, gadis yang menjadi tunanganku itu berjalan di tengah hiruk-piruk kerumunan.
Menyadari bahwa aku tertinggal jauh saat ia berbalik, ia pun berlarian kecil kemari lalu menarik-narik tanganku agar mempercepat langkah.
Sekarang adalah festival. Kami berdua berjalan di antara kerumunan ini pada malam hari di suatu kota pada kekaisaran di Benua Drera bernama Kekaisaran Seirun.
Pakaian gadis ini adalah kimono merah bercorak bunga sakura. Rambut hijaunya tertata seperti biasa, pendek sebahu dan poni menutupi mata sebelah kiri.
"Hei, hei, Elkan. Bisa ambilkan aku itu?"
Tiba di dekat stan menembak, ia menunjuk pada hadiah yang berupa boneka bebek kuning dengan rambut yang dijepit ke atas. Ukurannya, sedikit lebih besar dari seorang bayi.
"Huh, itu mudah."
Sebagai seorang laki-laki, aku harus terlihat keren di hadapannya. Soal menembak, aku pernah diajarkan oleh seseorang.
Memberikan bayaran pada anak pemilik stan yang seumuran denganku karena ayahnya yang merupakan pemilik stan pergi untuk istirahat dan menikmati festival, aku pun lalu menyiapkan posisi.
Merasa sudah siap, aku menembakkannya. Peluru yang keluar nyaris mengenai boneka. Cuma setengah inci baginya untuk mengenai perut samping boneka tersebut.
Namun, rupanya peluru tadi yang terbuat dari karet dan berbentuk bulat tidak berhenti sampai di sana saja. Entah bagaimana ia memantul ke sana kemari hingga berakhir di keningku.
Terdiam cukup lama, gadis yang ada di sebelahku tertawa terpingkal-pingkal saat menyadari apa yang barusan terjadi. Sementara aku melirik anak pemilik stan.
"Mudah, ya, Elkanah?"
"Tolong jangan katakan apa pun, Daniel."
Anak pemilik stan tersenyum dengan mata yang menutup. Ia adalah kenalanku, Daniel. Seorang Kontraktor Roh Laki-laki sepertiku.
Penampilannya adalah Manusia biasa seumuran denganku. Rambutnya memiliki warna biru gelap—cukup mirip hitam dengan tetapi nyatanya itu adalah biru.
"… Nah, berikan padaku benda itu."
Puas tertawa, gadis yang ada di sebelahku membuka tangan, meminta senapan berisi dua peluru karet yang sekarang masih ada di tanganku.
Aku hanya bisa mendesah dan memberi benda itu padanya. Ia terlihat cukup percaya diri dengan itu. Entah kenapa aku ingin melihat wajahnya yang kehilangan kepercayaan diri tersebut.
Peluru tertembak keluar dari senapannya. Sama sepertiku, peluru itu melesat melewati boneka dan memantul ke sana kemari.
Kepala Daniel hampir mengenai peluru tersebut. Namun karena keberuntungan anak itu terlewat tinggi, ia pun selamat.
Dan pada akhirnya, peluru itu mengenai punggung boneka itu. Aku menganga tetapi segera menutupnya karena tahu itu cuma keberuntungan.
"Huhum …. Bagaimana?"
Gadis itu terpelongo juga tetapi segera tertawa sombong sambil membusungkan dadanya. Aku cuma membuang nafas.
"Iya, iya. Itu hebat. Kamu mau bilang semuanya, sesuai rencana, 'kan?"
"Be…Begitulah …."
Ia tergagap ketika tanganku membelai kepalanya. Jarang-jarang wajahnya memerah seperti itu. Mungkin karena ia belum sempat mempersiapkan diri.
"Tolong …. Bisakah kalian tidak bermesraan di depanku? Aku yang tidak memiliki pasangan sepertimu dan Ketua Ray mau menangis di sini."
"O-Oh, maaf."
Memang apa yang kami lakukan ini bisa dibilang dengan mesra-mesraan, ya? Aku pikir ini cuma hadiah dimanjakan saja.
***
Seperti sebelumnya, aku terbangun lebih awal dari biasanya. Sekarang adalah jam tiga pagi ….
"Lagi-lagi … ingatan yang rasanya telah kulupakan. Dan laki-laki yang pernah meneleponku sebelumnya, ternyata kami pernah bertemu. Aku tidak ingat itu."
Banyak pertanyaan terlintas di pikiranku. Jika bisa menemui laki-laki itu, mungkinkah aku akan mendapat berbagai jawaban?
Namun itu … sepertinya tidak bisa. Aku terjebak di akademi ini, tidak diperbolehkan keluar masuk pulau dengan bebas.
"Yah, mau bagaimana lagi. Aku hanya bisa mencari gadis itu di akademi ini sendiri."