webnovel

Manusia Kaku

Plak!

"Aww!!"

Tamparan keras dari sang ayah mendarat tepat di pipi gadis itu.

"Papa kerja dari pagi sampe malem tuh buat biayain kamu sekolah, Rintan!"

Robi—ayah dari gadis bernama Rintan sekaligus pemilik perusahaan besar di Jakarta—mengambil secarik kertas yang tak lain berisi nilai-nilai Rintan selama tengah semester ini.

"Liat! Kalo sampe nilai kamu turun lagi, Papa gak akan izinin kamu keluar rumah. Paham?"

Rintan pun hanya bisa menatap kertas itu dan mengangguk, lalu menundukkan pandangannya ke bawah.

Tak lama, kertas rapor bayangannya pun dilempar oleh ayahnya tepat di wajah Rintan sebelum sang ayah pergi meninggalkannya.

Setelah beberapa lama, hanya ada Rintan di ruangan itu. Hatinya pun mulai memanas, kini tak ada lagi yang perlu dia tahan. Rasa kesal dan takut berpadu menjadi satu.

Wajah amarah dan tangisnya kini meluap, Rintan pun merobek-robek kertas itu lalu dilempar ke segala arah, membuatnya berserakan di mana-mana.

Sinta—ibu dari Rintan—yang mendengar kegaduhan tadi pun keluar dari kamarnya. Ya, sebenarnya dia sudah mendengar kegaduhan itu sejak tadi, hanya saja tidak ingin menampakkan diri sebelum suaminya pergi.

"Cepet pungutin lagi, buang ke tempat sampah," perintah Sinta begitu melihat kertas yang berceceran. "Nanti malem kita ke mall, mau?"

Mendengar kata-kata ibunya, gadis itu pun langsung mengusap air matanya dan bersemangat kembali. Rintan berdiri, mendekati ibunya dan melingkarkan kedua tangannya di tubuh sang ibu. Senyumnya kini terlukis kembali.

"Beli iPhone 13 Pro Max ya, Mah?" pinta anak gadis berambut panjang itu dengan bando berwarna abu-abu di kepalanya.

Ibunya tersenyum hingga terlihat gigi putihnya. "Oke," jawab Sinta seraya mencolek hidung Rintan dengan penuh kasih sayang.

Malam pun tiba, Rintan dan ibunya pergi ke mall untuk mencari hiburan. Berdiam diri di rumah tiga lantai milik ayahnya sudah seperti di penjara. Meskipun besar dan mewah, tetapi jika tidak ada kebersamaan di dalamnya, untuk apa?

Lagipula, Robi sebagai kepala rumah tangga hanya menghabiskan waktunya untuk kerja, kerja, dan kerja. Disaat hari libur pun dia habiskan untuk bekerja.

Kalau baik dan selalu menaruh kasih sayang ke keluarganya ya tidak terlalu masalah. Lah ini? Cuek, galak, ngedumel mulu kerjaannya. Gimana gak stres coba? Hmm.

"Mah, mau main capit boneka," kata Rintan seraya menunjuk ke arah permainan yang dia mau.

Tanpa basa-basi, Sinta memberikan kartu untuk bermain di sana.

"Isinya berapa, Mah?" tanya Rintan.

"Cuma empat ratus ribu. Abisin aja gapapa sampe kamu puas." Sinta mengelus rambut putrinya dengan lembut.

"Oke!"

Gadis itu pun bermain dengan gembira. Sementara, Sinta sibuk menikmati donat yang gerainya berada di samping tempat bermain, sambil sesekali memeriksa belanjaannya yang sudah dia beli sejak tadi.

Tak lupa, meskipun wajahnya tampak cuek, Sinta adalah seorang ibu yang perhatian dan sangat menyayangi Rintan. Hanya saja, sifat buruknya yang suka belanja dan bersenang-senang membuat Robi sedikit 'lieur' dengannya.

Sesekali Sinta melihat ke arah putrinya itu untuk memastikan keamanannya. Walaupun sudah remaja dan duduk di kelas 12, tetap saja dia adalah bocah yang perlu bersenang-senang.

Rintan memang anak yang pintar. Dari sekolah dasar hingga sampai saat ini, dia selalu menjadi juara kelas. Tidak heran, jika nilainya turun sedikit, Robi akan khawatir dan memarahinya.

Bukan tanpa alasan, dia ingin Rintan menjadi anak yang pintar agar bisa menjadi orang hebat sepertinya. Ya, itulah yang membuat Robi terlihat keras dalam mendidik Rintan.

Sudah beberapa jam Sinta dan putri tunggalnya bersenang-senang, kini saatnya mereka pulang.

Setibanya di rumah, Robi sudah menunggu kehadiran mereka di sofa ruang tamu sambil membaca koran. Biasalah, bapack-bapack yakan.

"Dari mana kalian?" tanya Robi mulai memanas ketika melihat barang-barang bawaan mereka yang begitu banyak.

Karena Sinta sudah meramal bahwa akan ada perang dunia ketiga, dia menyuruh Rintan untuk masuk ke kamarnya yang berada di lantai dua, tidak lupa dengan tentengan belanjanya.

Anak itu pun dengan santai berjalan melewati ayahnya yang sudah menatap tajam seperti ingin memakannya hidup-hidup.

"Dari mana!" bentak Robi pada Sinta.

"Abis belanja," jawabnya singkat sambil menunjukkan semua kantong belanjaannya yang berisi barang-barang mewah.

"BAGUS!" Kali ini Robi benar-benar marah.

"Bagus siapa? Anaknya pak Ujang? yang kemarin nyolong mangganya pak Asep?"

Rintan yang mendengar lawakan sang ibu pun tertawa kecil sambil menaiki tangga, kemudian segera berlari ke kamarnya sebelum perang dunia dimulai.

Plak!

Tamparan keras mulai mendarat di pipi Sinta. Namun, dia hanya terkekeh.

"Masih bisa ketawa kamu, ya?" kesal Robi tak habis pikir seraya menganggukkan kepalanya.

"Terlalu banyak tamparan yang saya terima, Mas," sindir Sinta tersenyum miring. "Ini yang ke seribu kali mungkin. Udah gak ada rasanya."

Tatapan Sinta mengenai tepat di bola mata Robi yang tajam. Napas berat pria itu mulai terdengar dan dagunya pun mulai mengeras.

"SINI KAMU!" Robi menarik tangan Sinta begitu keras.

Namun, Sinta tak ingin kalah. Dengan sekuat tenaga dia berusaha untuk melepaskan cengkraman iblis itu.

Robi pun tak ingin kalah, dia langsung menarik kedua tangan Sinta dan menyatukannya dalam satu genggaman tangan kirinya. Kemudian, dipegang erat dagu Sinta dengan tangan kanannya hingga tak bisa bergerak.

"Saya udah pernah bilang sama kamu, jangan terlalu manjain Rintan!" bentak Robi dengan penekanan lebih di akhir ucapannya.

Dengan jurus andalannya, Sinta menendang kaki Robi dan mendorongnya hingga pria itu melepaskan genggamannya.

"KURANG AJAR KAMU, SINTA!"

"Saya cuma mau Rintan bahagia, Mas!" teriak wanita itu sambil sedikit terisak.

"Bahagia? Kamu bilang bahagia? Liat nilai dia sekarang! Apa pantes dia bahagia dengan kondisi nilai yang buruk seperti itu?"

"Kamu terlalu mengekang dia, Mas!"

"HALAH! Kamu yang terlalu manjain dia!"

Di balik pintu kamar Rintan, masih terdengar jelas suara anj–khm! Maksudnya suara orangtuanya yang bertengkar. Dan hampir setiap malam dia mendengarnya.

Rintan memejamkan matanya sejenak kemudian bersandar di balik pintu, lalu menarik napasnya dan membuangnya perlahan.

"It's ok, Rintan," lirih gadis itu untuk menenangkan hatinya yang sedikit sesak.

Tak sadar, dalam mata yang terpejam pun bisa-bisanya dia menjatuhkan sedikit air.

Sebelum air itu mengalir deras dan membasahi kedua pipinya, dia pun meletakkan semua belanjaannya, mengusap pipinya dan mengelap air yang tersisa di mata sipitnya.

"Udah, ya. Oke? Kalo nangis terus kapan unboxing iPhone-nya coba?" Itu Rintan yang sedang bermonolog sekaligus bergurau dengan dirinya sendiri.

Dengan semangat, dia mengambil semua belanjaannya dan pergi ke tempat tidurnya.

Melempar semuanya di atas kasur dan mencari paper bag berisi handphone yang didambakannya itu, lalu mengeluarkannya dengan hati-hati.

"Wih ... Cakep!" puji Rintan.

Namun, bukannya dibuka, Rintan memilih untuk memajangnya di atas meja belajarnya.

"Taro sini dulu ya ges ya. Siapa tau dia beranak jadi dua."

Karena kelelahan, Rintan langsung membaringkan tubuhnya di atas kasur. Kemudian, mengambil handphone lama yang ada di saku celananya.

Abis nangis dikit, liat iPhone 13 Pro Max, rebahan, abis itu buka sosmed pake wifi rumah. Nikmat mana lagi yang kau dustakan, Rintan?

"Hah? Hahaha ... Siapa ini?" Rintan tertawa ketika melihat postingan seseorang di sosial media.

Karena gatal ingin mengejeknya, Rintan pun langsung mengirimkan sebuah pesan kepadanya. Ya, meskipun dia tidak mengenalinya, gas aja lah bos!

Rintan: "Hey! Kaku banget sih postingan kamu! Baru main sosmed, ya? Haha!"