webnovel

Balas Dendam

Albifardzan: "Maaf, kaku gimana, ya?"

Rintan: "Liat aja sendiri. Segala posting-posting tentang nasehat. Sok paling bener hidupnya."

Albifardzan: "Maaf, saya emang masih banyak salah, dan semua postingan yang saya upload sebenernya buat mengingatkan diri saya juga."

Rintan: "Cihh! Iya-iya, si paling bijak."

Gadis itu pun langsung mematikan layar handphone lalu melemparkannya ke bawah bantal.

"Geli banget," ucap Rintan bersamaan dengan dahinya yang mengerut.

"RINTAN!" Tiba-tiba ayahnya yang galak itu membuka pintu kamarnya.

Sontak Rintan pun langsung bangun dari tempat tidur, berdiri dengan wajah takut yang kini menghiasi gadis cantik itu.

"Mana iPhone-nya?" pinta sang ayah dengan nada tinggi.

Rintan pun langsung menunjuk ke arah meja belajarnya. Dengan cepat ayahnya mengambil iPhone itu.

"Enggak ada handphone baru! Selama nilai ujian kamu masih di bawah 95, semua permintaan kamu gak akan papah turutin!" ancam Robi yang hendak beranjak dari tempat berdirinya.

Namun, Rintan yang sudah sangat mendambakan handphone baru, menahan kepergian Robi dengan menarik tangan kirinya.

"Pah, jangan diambil lagi dong handphone-nya! Rintan janji bakalan lebih rajin belajarnya. Tapi iPhone-nya jangan diambil, ya? Please, Pah ... Rintan mohon," lirih Rintan.

"Loh? Terserah Papah dong. Kenapa jadi kamu yang ngatur?"

"Dapet nilai 95 ke atas susah, Pah. Rintan belum bisa setinggi itu." Rintan menggoyang-goyangkan tangan papahnya sambil merengek.

Tanpa menghiraukan perkataan anaknya, Robi menarik tangannya untuk melepaskan pegangan Rintan, lalu pergi meninggalkannya.

Karena kesal dan tidak berani membentak papahnya yang galak, Rintan pun mengambil semua belanjaan yang ada di kasurnya dan membantingnya ke lantai sekeras mungkin.

Bruk!

Wajah Rintan tampak memerah, napasnya pun terengah-engah karena menahan tangis dan amarah.

"I hate my dad!"

***

"Jihan!" Teriakan Rintan membuat punggung sahabatnya terlonjak, ditambah lagi sentuhan secara tiba-tiba di bahunya.

Jihan yang selalu menjadi korban kegabutan Rintan pun hanya bisa tersenyum paksa diiringi tawa puas dari Rintan.

"Gimana? Dapet iPhone-nya?" tanya Jihan yang mulai penasaran.

"Dapet, sih." Rintan mengambil tempat duduk di samping Jihan.

"Tapi diambil lagi sama papah," lanjutnya.

"Kok bisa?"

"Ya, tau sendiri lah papah kayak gimana."

Jihan mengeluarkan sebuah buku dari dalam tas. Buku berwarna kuning kayu dengan gambar ilustrasi ala flat design di tengahnya. Salah satu style desain yang sangat disukai Rintan.

Terdapat dua orang perempuan yang salah satunya sedang melukis dan satu lainnya sedang duduk di buku besar sambil membaca. Tanpa basa-basi, Jihan langsung menyodorkan bukunya kepada Rintan.

"Wih! Buat saya, Ji?" Rintan membulatkan matanya sambil tersenyum lebar.

Jihan mengangguk, dengan senang hati Rintan menerima buku itu.

"Gila! Kece banget desainnya. Makasih, Bestieeeeeee!" Rintan memeluk Jihan dengan hangat dan penuh kebahagiaan.

Walaupun Jihan terlihat cuek dan pendiam, tapi dia selalu memberikan hal yang membuat temannya merasa spesial.

Berada di dekat Jihan dan meluapkan semua perasaannya membuat hidup Rintan lebih berwarna. Jihan selalu menjadi obat kesedihannya dengan kejutan-kejutan kecil yang selalu dia berikan.

Begitu Rintan melepas pelukannya, Jihan bertanya, "Oh iya, Rin. Terus, soal anak-anak gimana?"

"Hmm, udah deh biarin. Males juga ladenin mereka," jawab Rintan dengan acuh.

Sebenarnya, Rintan membeli iPhone bukan berdasarkan keinginannya. Namun, melihat teman-teman perempuannya yang selalu iri atas keberuntungan Rintan, mereka pun menantang Rintan untuk membeli handphone yang notabennya sangat mahal itu.

"Kalo mereka ngejek kamu lagi gimana?" tanya Jihan khawatir.

"Udahlah, biarin. Kan ada Fathu and the geng."

"Iya deh, si paling disukain banyak cowo, haha." Rintan dan Jihan pun tertawa.

Hingga tak lama kemudian datang tiga siswa perempuan menghampiri mereka.

"Hai anak orang kaya. Mana iPhone-nya? Dibeliin gak sama pa–pah?" ucap salah satu dari mereka dengan sedikit penekanan di akhir kalimat.

Rintan berdiri dan kini berhadapan tepat dengan gadis itu. "Kalo enggak? Kenapa? Mau ngeluarin saya dari sekolah ini?" Badan Rintan sedikit maju dan kedua tangannya terlipat.

Wajah Rintan terlihat seperti gadis remaja yang sombong dan judes, berbeda ketika dia berhadapan dengan Jihan, ramah dan selalu asik. Ya, dia selalu memperlakukan orang sama seperti dia diperlakukan.

Jihan yang tak ingin melihat sahabatnya ribut pagi-pagi buta seperti ini langsung berdiri dan memegang kedua bahu Rintan untuk memenangkannya.

"Haha! Kenapa? Enggak dibolehin, ya? Papah kamu kan kaya, masa gak boleh? Atau jangan-jangan–" gadis itu menggantung kata-katanya.

"Apa? Bilang aja, kenapa ditahan? Takut?" sahut Rintan tak mau kalah.

"Eh! Gak ada ya yang takut sama–," lagi-lagi omongannya tertahan ketika melihat seorang laki-laki di belakang Rintan yang sedang berjalan cepat menghampiri mereka.

Beruntunglah si abang ini datang sebelum acara jenggut-jenggutan rambut ala anak perempuan dimulai.

Sesampainya di tempat tujuan, anak laki-laki itu berdiri tepat di samping Rintan, seolah menjadi pendukung Rintan.

Dia adalah Fathu, ketua geng paling populer di sekolah ini. Tinggi, tampan, mancung, dan putih. Pokoknya perfect lah! Dia selalu menjadi dambaan murid perempuan karena wajahnya yang good looking(dasar mandang fisik). Tak hanya itu, dia juga berhasil menjabat sebagai ketua OSIS dan ekstrakurikuler.

Namun sayang, sikapnya yang dingin membuat mereka enggan mendekatinya. Iya dingin, kayak sikap dia ke kamu, haha kasian.

Sejak di sekolah dasar, Fathu sudah jatuh cinta dengan Rintan, tapi sayang sekali bestie, Rintan tidak ingin menjalin hubungan dengannya. Hingga saat ini, Fathu masih mengejar cintanya, dan hal itulah yang menyebabkan Rintan kurang disukai oleh kaum hawa.

"Apa? Kenapa gak dilanjutin ngomongnya?" Suara Fathu terdengar renyah tapi nyelekit.

"Eng–enggak, Fath." Gadis itu panik dan langsung mengajak teman-temannya untuk segera pergi. "Cabut, yuk!"

Rintan yang merasa menang dalam perdebatan kecil kali ini pun tersenyum miring. "Prik banget, sih," gumam Rintan merasa geli dengan sikap teman perempuan yang tidak menyukainya itu.

"Lain kali kalo kamu diganggu lagi bilang sama aku, Rin," ucap Fathu yang tak ingin belahan jiwanya terluka. Eaaa, wkwk.

"Apa sih, Fath. Cuma gitu doang, lagian seru tau ngeladenin mereka. Iya gak, Ji?" sahut Rintan.

"I–iya." Jihan hanya tersenyum kecil.

Jihan tahu, kalau sebenarnya Rintan tidak suka diperlakukan seperti itu. Sikap sahabatnya yang mandiri dan tidak terlalu suka drama, pasti membuatnya merasa geli.

"Oh iya, Rin. Albifardzan tuh siapa?" tanya Fathu penasaran.

Rintan menaikkan alisnya kaget. Ingatan kuatnya menelusuri jejak-jejak matanya yang seakan-akan pernah melihat tulisan itu di suatu tempat. Dan akhirnya, dia menyadari bahwa Albifardzan adalah orang yang dia ejek semalam.

"Kok kamu tau nama dia, Fath?" Rintan sama sekali tidak paham.

"Lah? Coba deh cek facebook, dia nulis di linimasa kamu, Rin." Penjelasan Fathu membuat mata Rintan membulat.

Dengan cepat dia mengambil gawai dari saku seragamnya. Dia mengecek profilnya dan benar saja. Rintan merasa malu akibat postingan Albifardzan yang menodai linimasanya.

"Ish! Ngeselin banget sih ni orang!"