webnovel

Mencari Bapa

beberapa bulan kemudian aku meminta cuti sejenak dari pekerjaanku kepada mas Deni, selain itu aku minta tolong untuk mengantar ke kampung halamanku. Mas Deni tak keberatan ia pun sudah tahu masa laluku. Tak terasa sudah hampir dua tahun aku meninggalkan kota dan desa kelahiranku, aku tidak mengetahui bagaimana sekarang keadaannya.

Sesampainya di kota kelahiranku, aku meminta untuk melewati rumah majikanku tempat dulu aku bekerja sebagai pembantu, ternyata rumah itu sudah dijual dan pemiliknya pindah keluar kota, setelah aku bertanya kepada beberapa tetangga, mereka tidak mengenaliku sama sekali. Tentu saja aku sudah berubah, dulu aku masih muda dan polos.

Setelah itu aku memutuskan untuk pergi ke penjara atau Lapas untuk bertemu dengan bapakku, dulu kalau tidak salah dengar ia di hukum 2 tahun setengah di penjara, dan berharap masih ada di sana sekarang. Sayang ketika aku akan menjenguknya aku mendapat info dari petugas lapas bahwa bapak sudah keluar sekitar 2 bulan lalu, karena ia baik maka hukumannya mendapat keringanan jadi dibebaskan secara cepat.

Haruskah aku kembali ke desaku yang sudah ku tinggalkan dulu untuk mencari keberadaan bapa ? Akhirnya aku tahu siapa yang bisa ku tanyai. ketika sampai di desaku aku tertegun semua berubah dalam setahun lebih ini, rumahku yang dulu sudah tidak ada, bahkan sebagian besar keluarga bapa serta ibu sudah pindah atau meninggal.

Bi Sum adalah salah bibiku dari pihak keluarga bapa yang sejak dulu sangat baik dan tidak bisa menolongku banyak karena dulu keadaannya hampir sama dengan keluargaku, setelah suaminya meninggal dan juga ia meninggalkan hutang yang banyak, semua uangnya digunakan untuk membayar hutang. Aku ingat Bi Sum juga minta menitipkan barang dagangannya kepadaku untuk ke warung. Dan bila untung Bi Sum selalu memberikan uang jajan padaku atau kadang-kadang ia datang membawa masakan untukku dan ibu. begitulah kami saling membantu walau sedikit. Bi Sum punya satu putra namanya Ardhi usianya 2 tahun di atasku, dialah kini yang menjadi tulang punggung keluarga setelah ayahnya meninggal.

Sejak aku menjadi pembantu aku tidak pernah lagi bertemu dengannya, bahkan sampai aku pergi ke Jakarta, tapi aku sering mendengar kalau bi Sum sering menjenguk bapa di penjara. Aku pun mencari rumahnya karena yang dulu juga sudah di jual tapi berita baiknya Bi Sum masih ada. Setelah beberapa lama mencari, ketika itu menjelang sore aku menemukan rumah kontrakan Bi Sum cukup bagus karena terbuat dari tembok tidak seperti dulu dari bilik bambu, dan dari info katanya sih Ardhi sudah menikah dan Bi Sum kini tinggal bersama anak menantu serta cucunya. Mungkin kalau tidak terjadi sesuatu kepadaku aku akan menikah muda juga.

"Punten, Assalamualikum ... !" aku mengetuk dan mengucap salam.

"Mangga ... !" seorang perempuan dari dalam rumah menjawab, kemudian membukakan pintu.

"Bi Sum ?!" tanyaku ketika melihat perempuan separuh baya yang sedikit tidak berubah hanya keriputnya yang sudah nampak. Dia menatapku tak berkedip sepertinya tidak mengenalku.

"Siapa ya ?" tanyanya.

"Ini saya Re .... maksudnya Marni !"

"Marni ?! ya Allah ... ini teh beneran kamu ?" aku mengangguk, dia pun langsung memelukku aku terkejut tapi entah kenapa aku pun membalas sambil menangis.

"Kamu teh, kemana saja ? tidak pernah kesini ! bibi dengar kamu kabur dari rumah majikan kamu itu benar ? sama bapamu juga nanyain kamu !" dia sepertinya memarahiku.

"Maafkan saya Bi !" hanya itu jawabanku. Kemudian dia melepaskan pelukanku ternyata ia pun juga menangis.

"Ayo duduk, ceritakan semuanya pada bibi !" ujarnya menyuruh aku duduk, dan kemudian ku ceritakan semuanya tanpa ku tutupi.

"Ya allah, bibi tidak sangka kamu seperti itu ! lalu kenapa pergi ke Jakarta atuh kenapa engga ke sini !" jawabnya sambil menyentuh tanganku.

"Aku takut merepotkan bibi !"

"merepotkan gimana ari Marni ! ini teh bibi kamu, kamu teh keponakan bibi ! engga apa-apa kita saling jaga !" aku terdiam.

"Sekarang kamu kerja apa di Jakarta teh ? kamu sekarang udah berubah dan berbeda begini kenapa ?" pertanyaan bi Sum ini lah yang paling berat ku jawab, entah apa pendapatnya bila tahu ! tapi aku menarik nafas cepat atau lambat dia akan tahu entah dari siapa, jadi aku memutuskan untuk menceritakan dari mulutku sendiri, dan ternyata benar.

"Gusti, beneran kamu teh jadi wanita panggilan ?" tanyanya sambil menutup mulutnya karena terkejut, aku hanya mengangguk.

"Maaf bi, aku teh udah kotor !" jawabku, tapi tiba-tiba bibi Sum menarik tubuhku kepelukannya.

"Kasihan kamu teh Marni ! bibi juga minta maaf tidak menjaga kamu dengan baik ! seperti di amanatkan ibu kamu !" Bi Sum menangis karena rasa bersalahnya membuatku seperti ini.

"Bibi teh tidak salah, Marni yang salah sudah mencoreng nama keluarga !" kataku menangis.

"Sudah Marni, kita teh sama-sama ! bibi tidak membenci kamu apapun pekerjaan kamu ! bibi hanya bisa memdoakan kamu bisa kuat menahan cobaan apapun itu !" aku hanya mengangguk.

"Lalu bapa kemana ?" tanyaku sambil mengusap air mataku, Bi Sum terdiam dan menghela nafas.

"Dia nyusul kamu ke Jakarta ! Bibi rasa bapakmu tahu yang terjadi ! sampai sekarang belum tahu kabarnya !" aku tertegun.

Tanpa terasa Adzan magrib berkumandang, Aku dan Bi Sum tertegun kami berdua sudah banyak mengobrol.

"Nginep aja atuh di sini Marni, ada kamar kosong ini !" aku mengangguk. Aku sempat bertanya tentang Ardhi menurut bi Sum putranya itu sedang menengok keluarga istrinya yang sakit. Tapi besok juga pulang, aku juga sempat lupa dengan mas Deni. aku memanggilnya dan memperkenalkannya pada bi Sum sebagai temanku.

Setelah sekian lama, aku melupakan ibadahku kepada yang di atas. Pada saat itulah aku menangis dan menyadari diri ini sudah kotor, dan memohon ampunan kepada sang khalik, juga aku berdoa semoga bisa bertemu lagi dengan bapa dimanapun dia berada, ku minta pula agar diberi kesehatan dan kesabaran dalam menghadapi segala ujian.

Setelah itu bi Sum mengajak aku dan mas Deni makan malam dengan lauk pauk sederhana tapi di mulut terasa enak dan lezat, kami kembali mengobrol. Rupanya Ardhi sekarang bekerja di pabrik bahkan pertemuan dengan istrinya pun disana. Dari pernikahannya itu Bi Sum dikarunia dua orang cucu laki-laki dan perempuan.

Setelah itu aku dan mas Deni tidur di kamar berbeda, sementara mobil dititipkan tidak jauh dari rumah bi Sum. malam itu aku tidak bisa tidur, memikirkan semuanya termasuk bapa, aku tidak tahu harus mencari kemana karena Jakarta itu luas. akhirnya aku pun tertiidur.

Suara adzan Subuh berkumandang, aku terbangun dan duduk di tepi tempat tidur ku dengar suara sibuk di luar kamar ternyata bibiku juga bangun, rupanya sampai sekarang masih menjual jajanan pasar yang dititipkan di warung dan pasar melalui tetangganya. Lumayanlah nambah-nambah uang belanja dan buat jajan cucu, aku tersenyum setelah melalukan ibadah aku membantu bibiku, ternyata aku masih bisa.

"Kamu teh cantik Marni, kenapa belum menikah ?" tanyanya,

"Siapa yang mau sama saya atuh bi !" jawabku sambil tersenyum.

"Kalau kamu masih tinggal disini mah ! kamu teh udah punya anak, pasti banyak yang mau ! tapi memang jaman sudah berubah, banyak perempuan disini teh lebih banyak mencari kerja ke luar kota dan malah sampai ke luar negeri juga !" ujar bibi Sum, aku hanya mengangguk.

"Lalu bagaimana kamu cari bapamu itu ?"

"Iya, aku akan menyebar pengumuman orang hilang di radio atau di koran ! mudah-mudahan cepet ketemu !" bi Sum mengangguk.

"Kamu masih marah sama bapamu ?" aku terdiam.

"Dulu iya bi, saya teh marah kenapa bapa tega berbuat itu pada Marni ! tapi lama kelamaan rasa itu hilang !"

"Syukurlah atuh Marni ! tinggal dia satu-satunya keluargamu ! bibi juga yakin bapa kamu teh sudah sadar dari kesalahannya !" aku mengangguk.

Setelah mandi dan sarapan, aku berpamitan kepada Bi Sum untuk kembali ke Jakarta. Tak lupa aku berikan nomor telpon dan alamatku di Jakarta, mana tahu ada kabar dari bi Sum, selain itu aku selipkan amplop buat bi Sum, sempat menolak tapi aku meminta anggap saja rezeki buat bi Sum.

Bersambung ...