webnovel

KETIKA TAKDIR CINTA BERTASBIH

Zaskia Maharani (35 th) seorang wanita yang baru saja menjadi janda, menghabiskan waktunya bekerja sebagai CEO di perusahaan besar miliknya. Sejak kematian suaminya sikap Kiya berubah total menjadi wanita angkuh dan dingin. Gibran Syailendra (30 th) seorang Ustadz muda yang berpengaruh di kotanya. Selain mengabdikan diri di pondok pesantren Al Fitrah Hidayah milik Kyai Zailani Muchtar Gibran juga seorang pekerja keras di perusahaan milik Zaskia. Dalam suatu acara perusahaan, Zaskia yang beragama Nasrani tanpa sengaja bertemu dengan Gibran yang tanpa sengaja menumpahkan segelas minuman di gaun indahnya. Mungkinkah dari pertemuan itu akan hadir takdir cinta di hati Zaskia dan Gibran?? Bagaimana sikap Zaskia saat mengetahui Gibran Syailendra adalah seorang muslim dan seorang Ustadz ?? Akankah cinta yang ada di hati Zaskia akan bertahan??

Nickscart_1 · Historia
Sin suficientes valoraciones
4 Chs

SEORANG TEMAN

"Kalau begitu Ustadz harus pintar-pintar menyelamatkan diri dari amukan singa betina itu." ucap Gibran dengan tersenyum.

"Aku tidak bisa lagi menyelamatkan diri selain menghadapinya Ustadz." ucap Fajar sambil membayangkan bagaimana kenakalan Alief yang sudah melampaui batas.

"Baguslah Ustadz, seorang laki-laki harus pantang menyerah menghadapi seorang wanita. Terutama wanita yang punya sikap seperti singa betina." ucap Gibran juga membayangkan wanita yang hampir menabrak Ayub dan marah-marah tanpa alasan yang jelas.

"Kenapa Ustadz jadi melamun? apa Ustadz saat ini juga menghadapi seekor singa betina?" tanya Fajar dengan tatapan penuh selidik.

"Hem.... Singa betina yang usianya lebih tua dariku. Sudahlah jangan pikirkan singa betina yang ku hadapi. Sekarang ceritakan bagaimana kamu sampai bisa di perlakukan seperti ini?" tanya Gibran sambil menyentuh bekas cakaran di dada dan di lengan Fajar, belum lagi bekas gigitan yang terlihat jelas di lengan Fajar.

"Aku terpaksa menggendongnya saat membawanya ke mobil Ustadz. Om Azhari dan Tante Arani sudah tidak bisa membujuk Alief lagi. Baik itu secara halus atau kasar." ucap Fajar sambil mengusap punggungnya yang hampir patah kena pukulan keras Alief.

"Ustadz menggendong Alief?" tanya Gibran dengan tersenyum tidak bisa membayangkan bagaimana wajah Fajar saat menggendong Alief.

"Aku sungguh terpaksa Ustadz. Setelah aku mengamankan Alief di dalam mobil, aku merasa lega. Sampai saat Alief memohon minta makan karena perutnya kelaparan. Aku tidak bisa menolaknya dan membawanya ke tempat makan." ucap Fajar menceritakan kisahnya dengan tatapan rumit.

"Sudah ada kemajuan kalau Alief sudah bisa percaya pada Ustadz." ucap Gibran mengambil kesimpulan dari sikap Alief.

"Sama sekali tidak Ustadz. Alief minta izin ke kamar kecil dan aku menunggunya sangat lama. Aku mencarinya kemana-mana sampai aku tahu kalau Alief telah kabur dengan membawa mobil pesantren." ucap Fajar sambil mengusap wajahnya merasa hidupnya akan penuh dengan masalah.

Gibran menatap Fajar dengan perasaan tak percaya.

"Apa benar itu Tadz? Alief kabur membawa mobil pesantren. Lalu, bagaimana Ustadz bisa menemukan Alief?" tanya Gibran dengan penasaran.

Dengan wajah suram Fajar menceritakan semuanya pada Gibran, bagaimana dia harus berurusan dengan polisi.

"Masyaallah, Alief benar-benar singa betina liar Ustadz. Semoga saja Ustadz punya kesabaran ekstra dan punya pemikiran yang lebih cepat untuk menghadapi sikap Alief yang punya seribu cara untuk melarikan diri." ucap Gibran seraya menepuk bahu Fajar.

"Aku masih belum menemukan cara bagaimana bisa menghadapi Alief agar sadar dan menjadi wanita yang anggun dan solehah." ucap Fajar sambil membayangkan wajah Alief saat memakai pakaian syar'i dan memakai hijab.

"Pasti sangat cantik." gumam Fajar tanpa menyadarinya.

"Apa yang Ustadz katakan? siapa yang pasti cantik?" tanya Gibran dengan kedua alisnya terangkat.

Fajar menegakkan punggungnya menyadari apa yang baru di katakannya.

"Maaf Ustadz, aku harus mengobati lukaku sekalian bersiap-siap." ucap Fajar sambil mengajak tengkuk lehernya.

"Ustadz!! Ustadz tidak bisa begitu saja pergi!! siapa dia yang pasti sangat cantik?!" ucap Gibran dengan tersenyum melihat wajah Fajar merah padam karena malu.

"Ya Allah, semua sahabatku tengah di rundung asmara. Semoga saja mereka tidak melupakan tujuan dalam hidup. Semua manusia pada hakikatnya hidup hanya untuk meraih surga tidak ada yang lain." ucap Gibran dalam hati sambil berjalan ke kamarnya untuk mempersiapkan diri berangkat ke Pondok Pesantren Al Ikhlas di kota C.

"Drrrt...Drrrt... Drrrt"

Gibran mengambil ponselnya dengan cepat, keningnya sedikit mengkerut saat tahu teman kerjanya yang bernama Irawan menghubunginya.

"Assalamualaikum Tadz." sapa Irawan setelah Gibran menerima panggilannya.

"Waalaikumsallam Wan, ada apa malam-malam kamu menghubungiku?" tanya Gibran penasaran.

"Apa Ustadz sudah mendengar kalau pimpinan kita Pak Marvel telah meninggal dunia?" tanya Irawan dengan suara serius.

"Ya Allah, Innalillahi wa inna ilaihi roji'un. Kapan meninggalnya Wan?" tanya Gibran merasa tak percaya kalau orang sebaik Marvel telah meninggal dunia.

"Semalam Tadz, tadi sudah di makamkan. Dan aku hanya memberi kabar pada Ustadz, kalau hari Senin kita harus datang pagi. Kita berdua di panggil oleh pimpinan kita yang baru." ucap Irawan dengan panjang lebar.

"Siapa yang menggantikan Pak Marvel? Apa Ayah Pak Marvel yang menggantikan?" tanya Gibran sambil duduk di tempat tidurnya.

"Bukan Tadz, tapi istrinya Pak Marvel. Bu Zaskia Marvel." ucap Irawan dengan nada berat.

"Istrinya? aku baru tahu kalau Istri Pak Marvel bisa menangani perusahaan juga. Dia pasti wanita yang sangat hebat." ucap Gibran penasaran dengan istri Marvel. Marvel adalah pimpinannya di perusahaan di mana dia bekerja masih dalam hitungan bulan, tapi bagi Gibran, Marvel adalah pimpinan dan teman yang baik dan ramah. Dengan Marvel dia banyak sharing tentang banyak hal.

Namun demikian, selama berteman dengan Marvel tidak pernah sekalipun Marvel menceritakan tentang kehidupan pribadinya.

"Ustadz, apa Ustadz masih mendengarku?" tanya Irawan saat dia bicara tidak ada respon dari Gibran.

"Ya...aku masih mendengarmu. Aku sedikit terkejut saja dengan kematian Pak Marvel." ucap Gibran merasa kehilangan pimpinan yang begitu baik pada semua karyawannya.

"Aku juga sangat terkejut Tadz. Dan aku tahu kabar ini baru saja setelah sampai di rumah." ucap Irawan yang mengambil cuti tiga hari sama dengan Gibran.

"Hari Minggu saja kita ke rumah Pak Marvel." ucap Gibran karena dia berencana pulang hari Minggu sekaligus berencana mengembalikan uang milik wanita yang dia tidak tahu siapa dan di mana rumahnya. Uang dan kartu nama yang di berikan padanya, dia berikan pada Ayub agar menyimpannya untuk sementara waktu.

"Baiklah Ustadz, kabari aku saat Ustadz sudah kembali. Assalamualaikum." ucap Irawan kemudian memutuskan panggilannya.

"Waalaikumsallam." gimana Gibran benar-benar kehilangan sosok pimpinan yang baik seperti Marvel.

Walau Marvel jarang datang ke kantor, tapi kedekatannya pada karyawannya sangat dekat.

"Tok...Tok...Tok"

"Assalamualaikum, Ustadz?" panggil Fajar di luar pintu.

"Waalaikumsallam, masuk saja Tadz, tidak di kunci." ucap Gibran sambil mengemas beberapa pakaiannya.

"Apa Ustadz sudah siap? Abah Zailani dan Abi sudah menunggu di mobil." ucap Fajar melihat wajah Gibran terlihat sedih.

"Sebentar lagi Tadz." ucap Gibran sambil menutup resleting tas ranselnya.

"Ustadz ada apa? wajah Ustadz terlihat sedih?" tanya Fajar mendekati Gibran.

"Pak Marvel telah meninggal dunia semalam." ucap Gibran pada Fajar yang tahu tentang Marvel.

"Innalillahi wa inna ilaihi roji'un, Pak Marvel teman sekaligus pimpinan Ustadz kan?" tanya Fajar memastikan lagi kalau Marvel yang di maksud Gibran bukan Marvel yang lain.

"Ya benar, Pak Marvel yang sering aku ceritakan pada Ustadz." ucap Gibran bangun dari duduknya seraya mengambil tas ranselnya.

"Kapan rencana Ustadz ke rumah Pak Marvel? aku ikut kalau Ustadz ke sana." ucap Fajar merasakan kesedihan Gibran.

"Ikutlah denganku Ustadz, hari Minggu aku berniat ke rumah Pak Marvel sekaligus mengembalikan uang seseorang." ucap Gibran sambil memeluk bahu Fajar dan membawanya keluar kamar untuk segera pergi ke kota C untuk menghadiri pertemuan rutin tiap hari Jumat.