webnovel

Sebuah Penyesalan

"Ri, nanti setelah rapat tolong kamu diam dulu disini sebentar ya. Mau bahas projek yang di Jepang nanti" Pinta Iksan setelah berpamitan padanya.

Hari ini, Rio cukup sibuk karena seharian rapat dengan beberapa klien. Kemampuannya membuat Rio cukup cepat untuk menjadi kaki tangan Iksan di Kantor. Beberapa hal yang harus diputuskan Iksan, terkadang diputuskan oleh Rio kalau kalau laki laki itu sulit dihubungi. Keberadaan Naya disanapun hanya sekedar membantu Iksan untuk mengelola keuangan dan promosi pada beberapa klien. Selebihnya Rio dan Iksan yang mengurus. 

Sudah lebih dari setahun, tapi tak sekalipun Rio pernah absen dari kantor. Sebenarnya, terkadang ada beberapa hal yang harus ia urus namun ia kesampingkan karena merasa tak enak pada Iksan. Ia sendiri juga cukup bangga karena bisa sampai di titik itu. Karena kesibukannya sekarang, ia sudah jarang pulang. Bahkan mungkin ia hanya pulang satu atau dua bulan sekali. Padahal jarak antar Bandung ke Karawang tidaklah jauh. Cukup ditempuh tiga jam dengan menggunakan bus. 

"Ma, Rio pulangnya nanti ya. Abis gajian" Ucap Rio di telpon. 

Laki laki itu mematikan telponnya saat melihat Iksan melambaikan tangan, ia mengangguk dan kemudian duduk dikursinya. Kembali mengerjakan pekerjaannya yang sudah menumpuk. 

"Ri, sudah cek jadwal rapat kamu minggu depan?" Tanya Sinta.

"Udah Sin, ada yang harus dirubah. Tadi pagi aku simpan perubahannnya dimeja kamu" Jawabnya.

"Ok, thanks fast responnya. Jangan kayak dia, ngerubah jadwal sehari sebelum rapat" Gerutu Sinta sinis pada Tara.

"Yeee, apaan si. Nyindir nyindir gue, salah lo sendiri ngga ngingetin gue" Timpal Tara.

"Mas Rio, udah cek budget yang aku ajuin kah? Buru buru nih mas, ada yang harus dibeli. Kalau nungguin mas Iksan lama. Aku udah ngajuin sejak tiga hari lalu, tapi dia belum ngerespon" Keluh Andre.

"Udah, kemaren mas Iksan nanyain beberapa hal. Ini udah aku tanda tanganin" Ucap Rio sembari menyerahkan berkas milik Andre.

"Musik Score punya gameloft udah selesai?" Tanya Tara.

"Udah direspon balik kali Ra sama mereka, lo udah cek revisiannya?' Tanya Rio balik.

"Hehehehe, belum gue cek. Emang udah ada? Kok gue ga dapet emailnya?" Tara kebingungan.

"Wuuuuuuu" Seisi kantor meneriaki Tara, beberapa melemparinya dengan kertas bekas yang sudah diremas sampai menjadi bola. 

Suasana kantor memang seriuh itu, ada banyak perubahan sejak Naya masuk ke kantor. Jam kerja mulai ditentukan, serta Naya juga membuat seragam untuk setiap karyawan agar terlihat rapi. Namun, kewarasan setiap karyawan disana tidak ikut berubah. Tidak ada yang mengeluhkan soal itu karena Naya berbaur dengan cepat. 

"Cemilan siang udah sampe" Teriak Sinta dari ruang depan. 

Ia masuk dengan membawa beberapa kotak berisi makanan, Naya tersenyum lebar saat melihatnya. Sedangkan yang lain memadang satu sama lain karena tidak tau siapa yang memesannya.

"Jadi ini, hadiah karena kita dapet lagi penghargaan taun ini" Teriak Naya.

Ucapan itu disambut riuh oleh yang lain,"Wah dapet bonus kita tahun ini" Teriak Andre.

"Bonus bisa nih" Timpal Tara.

"Ciptakan bonus, gausah naikin gaji kita. All we need is bonus" Teriak Bagus.

"Setuju" Sambut Rio.

Seisi ruangan tertawa melihat tingkah laku mereka berempat, suasana makin riuh saat Iksan masuk kedalam ruangan.

"Kita tidak butuh gaji besar, kurangi gaji untuk menciptakan bonus" Ucap Iksan memprovokasi.

"Bos gila dasar" Pikir Naya tidak habis pikir dengan kelakukan Iksan.

Drrrrtttttt ! Drrrrrrrrttttt !

Ponsel Iksan bergetar tak lama setelah ia tiba, ia memutuskan untuk memisahkan diri dari keramaian kantor dengan masuk kedalam ruang rapat karena mendengar Hana menangis diujung telpon.

"Han, tenang dulu tenang. Kenapa?" Tanya Iksan yang mulai ikut panik karena Hana tak juga berhenti menangis.

"Mas, tolong ambil handphone punya Rio. Sekarang" Ucap Hana diujung telpon.

"Iya kenapa dulu Han, gabisa dong tiba tiba aku sembarangan ambil handphone dia" Tolak Iksan.

"Ambil sekarang mas, sekarang" Kali ini Hana berteriak histeris. 

Iksan segera keluar dari ruanga, ia melambaikan tangannya kearah Rio yang masih makan dan meminjam ponselnya. Tak lama setelah Iksan merebut ponsel Rio, ia kembali masuk kedalam ruan, dilihatnya beberapa panggilan masuk tak terjawab ke ponsel Rio. 

"Cerita sekarang, kenapa?" Tanya Iksan pada Hana. 

"Ibu kecelakaan mas, ibu meninggal" Tangis Hana pecah seketika. 

Sekujur tubuh Iksan lemas sampai harus membuatnya terduduk dikursi, Iksan tau siapa Ibu yang dimaksud oleh Hana. Hanya ada satu orang yang dipanggil Ibu olehnya, oleh Hana, dan oleh Rio. 

"Ka" Naya terkejut saat melihat Iksan terduduk lemas dikursi dengan ponsel yang jatuh ke lantai. Di meja, ponsel Rio masih terus bergetar. Menunggu sebuah panggilan untuk dijawab. 

"Nay, masuk kesini sebentar" Ucap Iksan. 

***** 

Perasaan Naomi sudah tidak enak sejak pagi, pagi ini ia memecahkan gelas tanpa sengaja. Ia sudah menghubungi ayah ibunya di Indonesia untuk memastikan bahwa tidak ada yang terjadi dengan mereka. Naomi juga sudah beberapa kali menelpon Rio, dan memastikan bahwa Rio tidak akan kemana mana hari ini.

Perasaan gelisah terus menerus menyerangnya sampai ia tak bisa fokus bekerja, beberapa kali ia terus menerus mengulang rekaman percakapan yang harus ia terjemahkan. Namun tak menemukan titik temu. 

"Rapat sepuluh menit lagi ya" Ucap Kubo mengingatkan saat ia masuk kedalam ruangan. 

Naomi mengangguk, ia bangkit dari tempat duduknya dan segera membawa seluruh peralatan serta berkas yang Kubo butuhkan keruang rapat. Tiba tiba hatinya bimbang saat harus meninggalkan ponselnya diatas meja. Beberapa kali ia menyimpan ponsel itu dikantongnya, namun ia keluarkan kembali setelah berpikir soal klien penting yang akan bertemu dengan Kubo hari ini. Ia harus fokus, agar tak membuat Kubo malu dan melakukan kesalahan. Dan ia memilih untuk meninggalkan ponselnya disana, menepis segala keraguannya. 

Drrrrrtttt ! Drrrrrrrttttt !

Tak lama setelah itu, panggilan masuk terus menyerbu ponsel Naomi. Sampai akhirnya ponsel itu mati karena kehabisan baterai. 

***** 

"Ri, ada klien penting ngajak ketemu" Ucap Iksan pelan. 

Dengan mata sembab, Iksan keluar dari ruang rapat. Diikuti dengan Naya yang beraut wajah sendu. Semua orang bisa melihat bahwa Iksan baru saja menangis, namun laki laki itu berusaha menyembunyikannya. 

"Kita ke Karawang yuk sekarang, mereka nungguin disana katanya. Kebetulan mereka lagi ada projek juga disana" Ajak Iksan.

"Sekarang banget?" Ucap Rio keheranan. 

"Harus sekarang, kalau nggak ditemuin takut mereka gagalin semua projeknya. Sin, tolong batalin semua jadwal rapat kita untuk tiga hari kedepan ya" Pinta Iksan pada Sinta terburu buru.

Rio sedikit heran saat melihat Iksan bersikap aneh, namun ia hanya bisa mematuhi permintaan Iksan. Akhirnya, Iksan , Rio, dan Naya berangkat ke Karawang dengan tergesa gesa. Sepanjang jalan, Iksan yang biasanya berceloteh hanya dia saja, Naya pun sama. Bahkan Iksan menyewa seorang supir, tak biasanya.

Mereka tidak tidur sepanjang jalan, Rio masih terus bertanya tanya soal siapa klien yang akan ditemuinya.

Tiba tiba perasaannya menjadi tidak enak. Arah mobil menjauh dari Karawang kota, dan menuju kearah rumahnya. Sepanjang jalan, Iksan dan Naya enggan menjawab pertanyaan Iksan soal kemana mereka akan membawa Rio. Sampai akhirnya, mobil mereka berhenti didepan rumah Rio yang sudah dikerumuni banyak orang. Ada bendera kuning yang dipasang disana. 

"Ini apa mas?" Tanya Rio setelah mobilnya berhenti.

Nafasnya mulai tak beraturan, Rio tak sabar untuk turun dan memastikan apa yang terjadi. Namun Iksan menahannya dengan sekuat tenaga.

"Ini apa mas?" Teriak Rio.

"Tenang dulu Ri" 

"Iya, jelasin. Tiba tiba lo bawa gue kesini. Lo bilang kita bakal ketemu klien, tapi ini apa? Jelasin ke gue" Teriak Rio lagi.

"Gue ga akan biarin lo turun kalau lo belum tenang" Ucap Iksan.

"Ok, ok gue tenang. Jelasin ke gue. Ada apa ini. Siapa yang meninggal?" Tanya Rio memburu. Jantungnya berdegup kencang menduga duga hal buruk.

Iksan menelan ludahnya sekali, ia menghela nafas dalam dan berusaha menyusun kata kata dalam pikirannya untuk Rio.

"Tadi siang, ibu kecelakaan. Udah dibawa kerumah sakit, tapi lukanya parah. Dan akhirnya dokter ga bisa nyelamatin ibu Ri" Ucap Iksan berhati hati.

Tubuh Rio mulai lemas, ia menyandarkan tubuhnya ke kursi mobil. Dengan nafas yang berat.

"Lo bohong kan sama gue" Lirihnya.

"Baru tadi siang gue telponan sama ibu mas, baru tadi siang gue bilang gue akan pulang seabis gajian" Lanjutnya.

"Baru tadi siang, gue masih denger ibu nasehatin gue. Maksa gue untuk pulang" 

"Baru tadi siang mas, baru tadi siang" Kali ini Rio terus berteriak didalam mobil, menyesali seluruh yang ia katakan pada ibunya siang tadi.

Iksan tak membiarkan Rio turun dari mobil sebelum laki laki itu benar benar tenang, bahkan setelah setengah jam mereka tiba didepan rumah Rio. Tak lama, Hana keluar dari rumah dengan kerudung hitam dan matanya yang sembab. Ia mengetuk pintu mobil meminta agar kaca mobil dibuka.

"Mau dimakamin sekarang, kasian udah terlalu lama" Ucap Hana. 

"Ri, liat ibu terakhir kali ya. Jangan sampe air matanya kena ibu, nanti ibu berat ninggalinnya" Ucap Hana lagi pada Rio.

Rio mengangguk, ia sudah mulai tenang saat turun dari mobil. Pandangannya mulai tak jelas karena air mata yang terus mengalir dari matanya. Setelah ia turun, kedua kaka perempuannya memeluknya erat sembari terus menangis. Rio tak bisa menahan air matanya, ia mengepalkan kedua tangan berusaha sekuat tenaga agar tidak terisak.

"Maafin Rio bu, Rio telat datang" Lirih Rio. 

"Maafin Rio nggak langsung pulang waktu ibu minta Rio pulang" Lanjutnya.

"Rio....." Ucapannya terhenti, ia tidak bisa lagi berkata kata. Kali ini, tangisannya pecah.