webnovel

Saat Saat Dibutuhkan

Ucapan belasungkawa datang dari segala penjuru, Iksan dan Hana tak pulang malam itu. Mereka memutuskan berkumpul dirumah Rio. Malam itu, suara lantunan ayat suci terus terdengar dari kamar Rio. Rio tak berhenti mengaji sejak maghrib tiba. Semua orang membicarakan ketegaran Rio saat ikut memakamkan ibunya sendiri sore tadi. Laki laki itu sama sekali tak berbicara, hanya tersenyum kecil saat disapa dan dinasehati. 

Dibawah lampu yang temaram, diruangan kamarnya yang kecil. Suara Rio seringkali terdengar bergetar. Matanya sudah bengkak, dadanya terasa sesak. Ketukan pintu sejak tadi diabaikannya. Entah sudah berapa kali ia mengabaikan Hana yang terus memanggil namanya dari luar kamar. Ia tetap tak berhenti membacakan lantunan ayat suci.

"Rio cuma bisa kasih doa Bu" Lirihnya.

Kali ini ia berhenti, mengusap wajah dan matanya. Diraihnya ponsel miliknya yang sejak tadi ia abaikan. Ada banyak pesan masuk dan panggilan tak terjawab. 

Drrrrrttttttttt!

Ponselnya bergetar panjang, ada nama Naomi disana. Jemari Rio ragu untuk menjawab panggilan dari Naomi. Ia sadar, berbicara dengan Naomi saat ini hanya akan membuatnya semakin lemah. Ia takut, jika ia akan merindukan pelukan Naomi yang bisa menenangkan hatinya saat ini.

Disimpan kembali ponselnya diatas kasur, setelah merapikan sajadah ia naik keatas kasur. Menatap langit langit kamar dengan tatapan kosong. Pikirannya mulai melayang membayangkan banyak hal. Dadanya terasa begitu berat. Sama sekali tak ada rasa kantuk yang menyerang meski ia belum tidur. Ponselnya masih terus bergetar, ia tau Naomi pasti sedang panik dan tak akan berhenti menghubunginya sampai ia mengangkat telponnya.

"Halo Nao" Jawab Rio pelan. 

"Kamu ga apa apa?" Seketika ucap Naomi saat Rio mengangkat telponnya, dalam ucapannya penuh nada cemas. Suaranya terdengar bergetar. Rio tau, Naomi pasti akan menangis sebentar lagi.

"Jangan nangis, nanti aku ikut nangis" Cegah Rio.

"Iya" Jawab Naomi. 

"Kamu ga apa apa?" Tanya Naomi lagi.

Rio menghela nafasnya, "Ga apa, jangan khawatir" jawab Rio lirih. 

"Aku pulang ya ?" Tawar Naomi.

"Ga usah, kamukan banyak kerjaan disana. Doain aja dari jauh yah" Tolak Rio halus.

"Aku mau istirahat, cape hari ini. Besok aku telpon lagi ya" Pinta Rio.

Naomi diam sejenak, lalu mulai berbicara.

"Kamu diem aja disana, aku ngomong disini. Cerita cerita soal sehari hari aku disini. Dengerin aku ya" Naomi memulai.

Rio hanya diam diujung telpon, mendengarkan Naomi berbicara melantur. Perempuan itu banyak berbicara, ia terus berbicara meski Rio sama sekali tak meresponnya. Meski hanya mendengar suara Naomi dari ujung telpon, perasaannya sedikit tenang. Rasa itu mulai muncul, perasaan yang Rio ingin hindari.

"Andai kamu disini, mungkin ga akan seberat ini Nao" Pikirnya.

"Aku butuh kamu sekarang" Lagi.

Mata Rio mulai berat, suara Naomi mulai terdengar samar samar di telpon. Sampai akhirnya laki laki itu tertidur dengan panggilan telpon yang masih tersambung. Hampir setengah jam Naomi terus berbicara setelah Rio terlelap. 

"Jangan sedih Ri, maaf aku nggak ada disana" Ucap Naomi pelan sebelum mengakhiri telponnya.

***** 

Sudah hampir tiga jam Naomi mendengarkan Kubo berbincang dengan kliennya, beberapa kali ia memperbaiki terjemahannya di laptop untuk membuat kesimpulan terhadap rapat kali ini. Ruangan itu luas, namun entah kenapa terasa sesak bagi Naomi. Perasaannya yang tidak enak tak kunjung membaik, justru semakin berat. Ia sedikit menyesal karena tak membawa ponsel pribadinya. Berkali kali ia memeriksa jam yang sudah hampir malam. 

Terkadang, hal ini yang tidak Naomi sukai dari Kubo. Ia seringkali rapat sampai malam dan mengabaikan waktu yang Naomi miliki. Namun Naomi tak bisa berkutik apapun. Ia harus menemani Kubo bahkan jika harus duduk sampai pagi hari. 

Rapat itu selesai jam delapan malam, Naomi segera berlari keruangannya setelah mengantar klien Kubo sampai lobi. Ia segera menyalakan ponselnya yang sejak tadi siang mati. Kakinya terus digerakkan karena tak sabar menunggu ponselnya menyala. Bahkan ia terus memencet tombol ponselnya saat puluhan pesan masuk dan membuat ponselnya error. 

"Ihhh kenapa sih" Gerutunya kesal. 

Tangannya mulai bergetar saat memindai pesan masuk dari Hana dan beberapa orang. Ia mulai panik sampai menjatuhkkan ponselnya. Pikirannya saat itu hanya ingin menghubungi satu orang. Rio. Naomi meraih tas, ia berlari keruangan Kubo tanpa mengetuk. Membuat Kubo sedikit terkejut. 

"Aku harus ke Indonesia malam ini" Ucap Naomi.

Kubo menatap Naomi keheranan, perempuan itu masuk tiba tiba keruangannya tanpa mengetuk, dengan tangan bergetar dan mata yang mulai meggenang. 

"Ada apa?" Ucap Kubo menghampiri Naomi. 

"Aku harus pulang ke Indonesia, sekarang" Jawab Naomi berulang ulang.

Perempuan itu mengabaikan pertanyaan Kubo, ia berbalik dan berlari meninggalkan Kubo. Naomi mencoba menghubungi Hiruto untuk meminta Hiruto mengantarnya ke bandara. Tangannya masih bergetar saat berjalan. Pandangannya mulai tak berarah, ia terus berjalan ke lobi diikuti oleh Kubo dari belakang. 

"Naomi" Teriak Kubo kasar sembari menarik tangan perempuan itu.

Air mata Naomi sudah jatuh banyak saat Kubo menariknya berbalik, ia terus memaksa melepaskan genggaman tangan Kubo yang semakin kencang seiring dengan usaha Naomi melarikan diri. Lalu Naomi hanya bisa berjongkok lemas, sembari menangis tersedu sedu.

"Jangan Panik, kamu pikir ada penerbangan semalam ini ke Indonesia ?" Ucap Kubo sedikit keras. 

"Aku cuma mau pulang, Rio membutuhkanku" Lirih Naomi.

"Penerbangan ke Indonesia bukan satu atau dua jam Nao, kamu kesana pun akan terlambat. Coba berpikir jernih sedikit" Nasehat Kubo.

"Lebih baik sekarang kamu pulang, lalu coba telpon Rio. Membantu menenangkan perasaannya lewat telpon" Tambah Kubo. 

Naomi terus menangis, sampai akhirnya mereka kembali ke apartemen dan berpisah disana. Sesampainya di apartemen, Naomi tak melakukan apapun selain terus menghubungi ponsel Rio yang sedari tadi sama sekali tak ada jawaban. Ia duduk dilantai dan memandangi jalan lewat kaca apartemen, sembari terus menelpon Rio berkali kali. 

"Halo Nao" Ucap Rio pelan diujung telpon. 

"Kamu ga apa apa?" Hanya itu yang Naomi pikirkan pertama kali. Namun, setelah tak mendapat jawaban dari Rio, dadanya serasa sesak dan ia mulai menahan tangisan yang sebentar lagi akan pecah.

"Jangan Nangis, nanti aku ikut nangis" Seperti sudah tau perasaan Naomi, perempuan itu menggigit bibirnya dan menjawab "Iya".

Rio berusaha menyudahi telpon, padahal Naomi tau bahwa laki laki itu tidak baik baik saja. Perasaan bersalah terus bersarang dipikirannya. Memikirkan Rio yang mungkin sedang berdiam diri sendirian membuatnya tersiksa. Naomi terus berpikir bagaimana caranya agar dapat mengurangi kesedihan Rio. Ia ingin memeluk laki laki itu, namun tak bisa. 

"Inget nggak waktu pertama kali aku kerumah kamu terus ketemu ibu kamu?" Cerita Naomi.

"Waktu itu, kita masak masak. Tapikan aku nggak bisa masak yah" Lanjutnya.

"Akhirnya temen temen yang lain yang masak, aku ikut makan aja" Tambahnya lagi. 

"Terus, inget nggak waktu aku nangis dijalan gara gara gamau kerumah kamu?" 

Naomi terus berbicara meski tak mendapat respon dari Rio. Ia tidak berharap Rio kan menjawab apapun, ia hanya ingin Rio tetap mendengarkannya diujung sana. Untuk sedikit mengalihkan kesedihan laki laki itu. 

"Jangan sedih Ri, maaf aku nggak ada disana" Ucap Naomi mematikan telpon. 

Ia meringkuk disofa, dan memandangi keramaian jalan. Air matanya mulai jatuh saat mengingat kembali Rio. Memikirkan bagaimana perasaan Rio saat ini membuat hatinya teriris pedih. Bahkan disaat saat seperti ini, Naomi sama sekali tak bisa melakukan apapun selain menghubungi Rio. 

Naomi ingin ada disana, memeluk Rio dan menggenggam tangannya. Ikut merasakan kepedihan Rio meski tak dapat membaginya barang sedikitpun. Pikirannya melayang, dan kemudian ia ingat pada kedua orang tuanya.

"Bagaimana jika itu terjadi padaku?" 

Tiba tiba rasa takut menyerang hatinya, tubuhnya terasa dingin memikirkan itu. Ia menarik selimutnya dan mulai tertidur. 

***** 

Naya tak bisa melakukan apapun selain membantu hal hal kecil dirumah, seperti menjemput beberapa keluarga Rio di stasiun dan membantu Hana menyiapkan makanan kecil untuk orang orang yang datang kerumah. Jam sudah menunjukkan pukul sepuluh malam, ia bahkan tak melihat Rio keluar dari kamarnya sejak hari mulai gelap. 

Rasa khawatir menyelimuti pikirannya, ia ingin bertanya dan sedikit menghibur Rio. Namun tak tau caranya. Berkali kali ia berdiri didepan kamar Rio dan ingin mengetuk pintu kamar Rio namun berkali kali juga ia mengurungkan niatnya. Perasaannya ikut sedih saat melihat Rio menangis sekali sat dipemakamannya. Meski tak mengatakannya, Naya tau perasaan Rio pasti hancur. Bahkan saat mendengar kabar dari Iksan siang tadipun, tubuh Naya sudah lemas. Ia tak bisa membayangkan betapa hancurnya perasaan Rio saat ini.

Naya disana, berdiri didepan pintu kamar Rio. Memandangi pintu kamar Rio yang kacanya tertutup gorden. Suara Rio sudah tak terdengar lagi. 

"Mungkin dia tertidur" Pikir Naya. 

"Nay" Tegur Hana. 

Naya sedikit terkejut saat Hana menepuk bahunya, Hana memberinya sebuah selimut berwarna biru. 

"Pintu kamar Rio ngga dikunci, tolong selimutin Rio ya. Dia ketiduran, mba mau nyari mas Iksan dulu" Pinta Hana. 

Dengan hati hati, Naya membuka pintu kamar Rio yang sedari tadi memang tak dikunci. Ia melihat Rio meringkuk dikasur tanpa selimut. Tak lama ia melebarkan selimut yang diberi Hana dan menutupi tubuh Rio. 

Matanya teralihkan pada ponsel Rio yang masih menyala. Ia melihat foto Naomi disana, dan panggilan telpon yang masih tersambung sejak satu jam yang lalu.

Naya mendekatkan ponsel tersebut ke kupingnya, "Jangan sedih Ri, maaf aku nggak ada disana" Ucap Naomi diujung telpon dan panggilan itu terputus. 

Perempuan itu memandangi Rio yang tertidur dibawah temaram lampu, ia mengusap dahi Rio dan mengelus lembut wajah laki laki itu. 

"Nao, dia butuh kamu" Gumam Naya. 

Naya sadar, sat ini Rio butuh Naomi. Meski ada banyak orang yang ada dirumah, bahkan hanya suara Naomi yang bisa membuat Rio berhenti menangis dan tertidur. Naya menghela nafasnya, menyimpan ponsel Rio diatas meja. Ia kemudian berbalik dan menutup pintu kamar Rio dengan sangat hati hati. Takut jika ia akan membangunkan Rio.