webnovel

Keberanian Kecil dari Harapan yang Besar

Sudah dua minggu dari keputusan Rio untuk berhenti dari tempatnya bekerja, masih ada waktu dua minggu untuknya menikmati hari hari terakhir sebelum benar benar pergi. Minggu ini Rio memilih untuk mengunjungi Iksan di Jakarta, sekaligus menandatangani penawaran Iksan secara formal. Seperti biasa, ia mengendarai motor untuk sampai ke Jakarta dengan menempuh waktu sampai berjam jam lamanya. Saat tiba didepan rumah keluarga Iksan, Rio sedikit tersenyum. Ia melihat sebuah rumah tingkat dua yang tertutup dengan pohon pohon tinggi ditengah gersangnya perumahan didaerah itu. Untuk sampai kerumah Iksan, Rio harus melalui gerbang kecil bagi pejalan kaki setelah menyimpan motor di bagasi mobil rumah. Dari Ruang tengah, ia bisa melihat kaca besar yang menampilkan pemandangan asri pohon pohon yang menjulang tinggi serta rerumputan yang menjalar tinggi. Darisana, Rio seperti melihat hamparan taman yang luas. Bahkan jalan didepan rumah Iksan tak terlihat sama sekali.

"Macet Ri?" Tanya Iksan membuyarkan lamunannya.

"Enggak sih mas, berangkat pagi banget tadi" Jawab Rio.

"Mba Hana kemana mas?" Tanya Rio kali ini saat tak melihat Hana dimanapun.

"Jalan jalan, belanja ke mall. Udah lama katanya nggak liat Jakarta. Kayak ga ada mall aja di Bandung" Keluh Iksan.

Rio tertawa kecil sembari meneguk segelas kopi yang dibawakan Iksan, Sebenarnya Iksan lebih sederhana dari yang terlihat. Meski lahir dari keluarga kaya raya, ia lebih memilih untuk bekerja menjadi pengembang game dan menjadi seorang pembisnis biasa. Setelah menikah, ia memutuskan untuk meninggalkan semuanya di Jakarta dan memilih tinggal di Bandung dengan Hana lalu sepenuhnya menjadi warga Bandung yang setia. Dan rumah sebesar ini, yang sudah dimilikinya sejak usia muda harus rela ia tinggalkan, meski sesekali ia dan Hana datang kesini untuk urusan tertentu.

"Nih" Ucap Iksan sembari menyodorkan secarik kertas berisi angka angka.

Rio mencoba membaca dan memahami segala sesuatu yang ada dikertas itu, ia sendiri merasa terkejut dengan nilai gaji yang ditawarkan oleh Iksan.

"Lo yakin Mas ngasih gue gaji segini?" Tanya Rio mencoba untuk meyakinkan dirinya kembali.

"Ga kebanyakan ini? Untuk standar gaji di Bandung" Tambahnya.

"Hahahaha, gak kok Ri. Gue yakin ini akan sebanding sama hasil lo nanti diperusahaan. Gue juga udah urus semua dokumen lo diperusahaan, jadi nanti dua minggu lagi lo cuma tinggal masuk tanpa ribet urus ini itu" Jelas Iksan.

"Gila, ini kebanyakan kali mas" Sela Rio.

"Bro, gaji buat karyawan itu lebih ke motivasi. Kalau gaji lo terpenuhi, semua tunjangan tersedia dari kendaraan sampai asuransi. Karyawan ga akan lagi mikirin untuk bisa pindah kerja. Yang mereka pikirin cuma fokus sama kerjaannya, dan itu yang gue mau dari lo. Gue yakin lo ga akan ngecewain gue sih Ri" Jelasnya.

Rio hanya menggangguk, ia kemudian mengambil pulpen dari tas kecilnya lalu menandatangi kontrak itu dengan penuh keyakinan. Tak lama Iksan membuat salinannya dan memberikan salinan itu pada Rio sebagai bukti bahwa mereka sudah siap untuk bekerjasama.

"Sementara, lo bisa tinggal dirumah Hana dulu Ri. Gapapa" Ucap Iksan.

"Enggaklah mas, mungkin minggu depan gue bakal ke Bandung. Buat cari kost-an dan mulai ngerapihin semua barang gue sedikit sedikit. Biar nanti pas harinya nggak terlalu banyak. Lagian gue juga gamau ngerepotin lo semua" Sanggah Rio.

"Yaelah Ri, kayak sama siapa aja si lo"

"Hehe, iya mas. Gue udah dapet kerjaan baru yang gajinya berkali kali lipat dari gaji gue sekarang, terus gue masih harus ngerepotin lo? Cukup lo aja kali yang ngerepotin Ibu kalau nginep dirumah gue" Ledek Rio.

Gelak Tawa Iksan disambut bersamaaan dengan rintik hujan yang mulai turun. Hujan pertama di tahun ini, membawa sebuah harapan besar yang dimulai dari keberanian kecil. Hari itu, Rio memutuskan untuk menginap dirumah Iksan karena hujan tak juga reda sampai malam.

*****

"Naomi" Panggil Kubo dari kejauhan.

Naomi berpura pura tidak mendengar panggilan Kubo sejak turun dari apartemen. Sudah dua minggu ia menjadi sekretaris pendamping Kubo dibawah arahan Naya. Langkahnya semakin cepat saat melihat Kubo terus mengikutinya sampai depan kamar apartemennya. Sejak tau bahwa Kubo adalah atasannya, Naomi menjadi kaku dan tidak lagi bisa bersikap santai seperti sebelum mengetahui kenyatannya. Saat pintu apartemennya berbunyi dan terbuka, Kubo dengan cepat menarik lengan Naomi dan menahannya.

"Naomi" Panggil Kubo saat mata mereka bertatapan.

Laki laki itu juga tak sengaja masuk kedalam apartemen Naomi meski Naomi tidak menawarinya. Naomi hanya duduk dengan wajah kesal sembari mencoba berbaik hati menyajikan minuman dari kulkas.

"Kamu marah?" Tanya Kubo penasaran.

Kali ini Naomi hanya diam, meski gelagatnya menampilkan kekesalan yang tidak tertutupi.

"Maaf kalau kamu merasa aku bohongin Nao" Ucap Kubo pelan.

"Kenapa kamu ga bicara dari awal kalau kamu bos aku? Kenapa harus diam dan pura pura gatau? Mustahil kalau kamu ga tau" Tanya Naomi mencerca.

"Iya aku tau, itu salah. Tapi ga salah kan kalau aku mau tau kepribadian orang yang nantinya akan kerja sama aku, karena sebelumnya aku merekrut kamu tanpa tau kepribadian kamu. Dan apa yang aku lakukan kemarin kemarin semata mata memang hanya untuk itu. Bukannya itu wajar?" Jelas Kubo.

Naomi hanya diam, penjelasan Kubo masuk akal baginya kini. Ia kemudian mulai menghela nafas. Diambilnya beberapa bahan makanan dari dalam kulkas, lalu ia mulai memasak. Ia tak jika peduli ada Kubo disana. 

"Sudah makan?" Tanya Naomi.

Kubo menggelengkan kepala, membuat Naomi menambahkan beberapa bahan makanan agar menjadi lebih banyak. Tak lama, perempuan itu menyajikan beberapa makanan dimeja lalu duduk didepan Kubo.

"Ayo makan" Ajak Naomi.

Disana, mereka berdua sedang menikmati makanan yang baru saja Naomi buat. Naomi tidak bisa banyak memasak, ia belum tau makanan apa saja yang ia bisa masak dengan bumbu bumbu yang Naomi tidak ketahui. Kali ini ia hanya bisa memasak Nasi, beberapa tumis daging dan telur dadar yang digulung. Tak lupa, ia juga membuat saus sebagai pelengkap makanannya. 

Kubo makan cukup banyak malam ini, dari semua nasi yang dimasak Naomi, Naomi hanya memakan satu mangkuk kecil dan sisanya dihabiskan oleh Kubo. Laki laki itu bahkan membantu Naomi untuk memebereskan peralatan bekas makan. Sembari menunggu Naomi mencuci piring ia mencoba menjelajahi setiap barang yang ada di apartemen Naomi. Semuanya terlihat rapi dan bersih, bahkan buku buku disamping televisi juga tersusun rapi. Pensil dan pulpen Naomi berjejer disampingnya.

Tak jauh dari itu, ada sebuah bingkai foto, disana ada Naomi dan seorang laki laki. Memakai baju dengan warna yang senada. Ditangan laki laki itu menggenggam sebuah bunga, disambut dua tangan Naomi dan senyuman lebar diwajahnya.

"Pacar kamu?" Tanya Kubo memberanikan diri.

Naomi menoleh, matanya kemudian tertuju pada bingkai foto itu. Lalu tersenyum sedikit.

"Iya" jawab Naomi singkat.

Ada sedikit kekecewaan Kubo pada jawaban Naomi, ia berharap bahwa Naomi masih sendiri. Namun ia juga tidak bisa menolak bahwa mungkin kehadirannya saat dulu tidak memberi kesan apapun selain pengalaman buruk yang mungkin berusaha Naomi hilangkan dari hidupnya. Mungkin saja apa yang Naomi pikirkan tidaklah se-spesial apa yang ada dipikiran Kubo.

"Dia ga keberatan kamu kerja jauh darinya?" Tanya Kubo.

"Sedikit, tapi sekarang hubungan kita sudah membaik" Jawabnya.

"Kudengar, hubungan jarak jauh tidaklah mudah. Mungkin akan sulit, apalagi dalam jangka waku panjang" Goda Kubo.

Naomi menyimpan piring terakhir yang ia cuci, ia kemudian menghampiri Kubo dan menarik bajunya. Naomi menyeretnya keluar dari kamar apartemen.

"Aku sudah selesai denganmu hari ini" Tegas Naomi.

Kubo diusir secara terang terangan, tapi bukannya merasa terhina ia justru tersenyum. Ia tau Naomi tidak benar benar bermaksud untuk mengusirnya dari apartemen. Sejauh ini, yang Kubo tau Naomi memiliki hati yang lembut. Bahkan ia mengizinkan orang lain masuk kedalam apartemennya.

"Aku hanya perlu keberanian kecil untuk mendekatimu Nao, dan tentu aku tidak akan bisa menyerah begitu saja" Pikir Kubo.

"Meski tidak ada harapan, aku hanya butuh keberanian yang lebih besar untuk mendapatkan kamu"

Kubo masuk kedalam apartemennya sembari bersenandung kecil. Ia penuh keyakinan bahwa ia bisa membuat sebuah harapan baru dengan keberaniannya yang tak bisa ditahan oleh siapapun.