webnovel

Calon Mantu Yang Ditunggu

Post Power Syindrome, gejala inilah yang menghantui Ratna. Akhir-akhir ini sikap Retno terhadap dirinya semakin dingin. Retno Lebih sering memegang dan menatap handphone miliknya daripada memeluk dan memperhatikan Ratna.

Sebelumnya makan saling menyuapi namun kini Retno malah makan sendiri. Retno jarang di rumah. Ketika Ratna minta ikut, Retno melarang dan memberikan alasan yang dapat diterima oleh akal sehat Ratna, seperti ikut kajian, pelatihan guru bahasa arab dan sebagainya. Ratna merasa cinta dan sayang Retno yang sekarang sudah tak seperti dulu lagi.

Perasaan cinta sejati suami istri yang romantis ini tak seindah dan seromantis dulu lagi. Hal ini pun sering dialami oleh pasangan lainnya, dan mereka mengistilahkan hal ini dengan sebutan: post power syindrome!

Hari sudah pukul tujuh malam. Retno belum juga kembali ke rumah. Lama Ratna menunggu di dalam rumah, ia gelisah bagaikan semut mencari nafkah. Duduk di ruang tamu menyalakan tv, tetap saja ia gelisah. Ratna tidak bisa tenang.

Ratna menunggu di meja makan, ia menatap hidangan yang sudah ia sediakan, namun sampai jam sembilan malam hidangan itu masih utuh, sudah dingin sedingin sikap Retno. Ratna mendekat ke pintu depan, ia melihat ke luar dari jendela tapi Retno tak kunjung pulang.

Berkali-kali ditelepon tapi tidak aktif. Pukul dua belas kurang seperempat menit, Retno kembali dan memarkirkan mobilnya di garasi. Ia meraba kunci rumah yang ada di dalam kantong jasnya, ia pun mendekat ke pintu lalu membukakan pintu. Retno menemukan Ratna sedang tertidur di atas sofa. Retno tidak membangunkan Ratna, ia malah masuk kamar lalu tidur di kamar.

Menjelang subuh, Ratna terbangun dan ia menuju ke kamar. Ratna menemukan suaminya telah kembali dan sedang terbaring di kamar, lalu ia pun membangunkan suaminya. Retno tak mau bangun, ia malah melanjutkan tidurnya.

Ratna shalat subuh sendiri di dalam kamar sebelah dan selesai shalat ia bangunkan kembali Retno tapi Retno tidak bangun juga. Ratna pun kemudian mengaji dengan suara agak keras di ruang tamu dan suaranya terdengar jelas di telinga Retno. Retno bangun dan malah menutup pintu kamar agar ia tidak mendengar suara istrinya mengaji.

Retno lupa diri bahwa ia sedang melanggar kewajibannya sebagai suami, seharusnya dirinya yang membangunkan istrinya subuh dan membimbing mengaji.

Ratna adalah orang yang tidak betah atas sikap Retno yang dingin bagaikan embun pagi yang sepi. Ratna tidak sanggup menahankan silent famili, kelurga yang diam saling menyendiri. Retno menatap handphone miliknya di ruang tamu dan Ratna juga menatap handphonenya di ruang tamu sambil nonton tv. Tidak saling bicara, benar-benar suami istri-silent famili.

Lama-lama Ratna tidak betah, ia pun mengadu ke Najwa Detektif. Tapi Najwa Detektif tidak mau membukakan pintu. Ratna yakin Najwa Detektif akan mampu memecahkan masalah misterius yang sekarang Ratna rasakan. Misteriusnya Retno yang tanpa jelas sebabnya ia bersikap dingin pada Ratna.

Sampai di rumah Najwa Detektif, Ratna mendekat minta tolong dari depan pintu kamar Najwa Detektif tapi pintu kamar itu tak pernah dibuka. Pikir punya pikir, Ratna mengingat Ghazi. Ya hanya Ghazi lah salah satu cara Ratna untuk memecahkan misteriusnya tingkah Retno suaminya. Tapi Ratna sendiri tidak tahu bagaimana ia bisa menemukan Ghazi dan membawa Ghazi ke Najwa Detektif? Satu-satunya cara Ratna adalah menemui sepupunya Syilla yang dulu juga menemukan Marwa pertama kalinya.

Siang harinya Ratna pergi ke rumah Syilla. Sampai di depan rumah Syilla, Ratna pun turun dari angkot dan mengetuk pintu.

"Syilla ada, Tante?"

"Ada di kamar atas. Silakan masuk." Ratna pun masuk dan naik ke lantai dua, menuju kamar Syilla. Pintu kamar Syiila terbuka lebar, Ratna masuk dan Syilla sedang menonton film animasi di laptopnya.

"Ada apa kak, Ratna buru-buru?"

"Kakak minta bantuanmu."

"Bantuan apa?"

"Kamu kenal Ghazi kan?"

"Kenal, dia kan teman kak, Ratna juga. Dulu waktu kak Ratna pulang dari kampung Kekucakeme dia juga hadir di rumah kak Marwa. Syilla kenal, Kak."

"Baguslah kalau begitu. Nah sekarang kamu mau bantu kakak tidak?"

"Bantu ngapain?"

"Bantu nemani kakak nyari alamat Ghazi bekerja. Sudah lebih dua bulan ia tidak ada kabar. Najwa sudah hampir gila menunggu kedatangannya. Mau ya?"

"Owh begitu. Baik Kak. Mau!"

Siang itu juga Syilla pamit pada ibunya dan ikut dengan Ratna. Syilla membawa mobilnya dan Ratna ikut menumpang sampai urusannya selesai. Yang pertama kali mereka datangi adalah rumah Ghazi dan menemui ibunya Ghazi.

Ratna membeli oleh-oleh buah-buahan sebanyak mungkin. Hampir seperti ketika Tauke membawakan makanan waktu ia menjenguk Firman sedang sakit di Kampung Arab. Ratna singgah di pasar dan membeli buah-buahan.

Semuanya ia belikan satu kilo gram. Ratna membeli apel satu kilo, anggur satu kilo, salak satu kilo dan jeruk satu kilo. Kemudian ia belikan minuman air putih yang berupa botol satu kardus. Lalau mereka pun melanjutkan perjalanan ke rumah Ghazi.

Sampai di depan rumah Ghazi, mereka sedang melihat ibunya Ghazi menyapu teras depan rumah. Ratna dan Syilla disambut hangat oleh ibunya Ghazi dan mereka pun dipersilakan masuk. Seteleh menyerahkan buah-buahan itu pada ibunya Ghazi, Ratna sudah tak sabar ingin segera menyampaikan maksudnya. Persaannya sedang dikecewakan suaminya. Tidak pernahnya suaminya berlaku begitu padanya.

"Buk, kami kemari ingin minta alamat Ghazi bekerja, Buk. Penting... Sekali!" Agak panjang Ratna mengatakan di kata penting.

"Maaf, Nak. Ibu sudah berjanji pada Ghazi tidak akan memberitahu alamatnya."

"Tolonglah, Buk. Ini ada urusannya juga dengan keharmonisan rumah tangga saya, Buk."

"Ada apa dengan rumah tanggamu, Nak?"

"Suami saya akhir-akhir ini berubah. Tidak mau ngomong dengan saya. Dia hanya asik main handphonenya. Sikapnya amat dingin pada saya, Buk."

"Tapi maaf, Nak. Ibuk tidak bisa memberitahu kamu alamatnya. Sekali lagi maafkan, Ibuk, Nak."

Karena ibunya Ghazai tidak mempan juga dibujuk dengan bertamu dan membawa oleh-oleh, Ratna pun memutuskan untuk pamit. Ibu Ghazi mengantarkan mereka sampai ke mobil. Dari depan rumah di halaman itu, ibu Ghazi melambaikan salam pada Ratna dan Syilla. Ratna berlinang air matanya. Sudah agak jauh dari rumah Ghazi, Syilla menghentikan mobilnya.

"Sekarang kita ke mana, Kak?"

"Bentar, Kakak nunggu inbox dari suami kakak dulu. Kalau dia tidak ng-inbox Kakak berarti dia memang tidak mencari Kakak. Kalau dia tidak ng-inbox, Kakak tidak mau pulang dan kita melanjutkan mencari Ghazi. Kalau suami Kakak tidak mau ng-inbox Kakak, berarti ia memang lupa pada Kakak, Syilla."

"Humm, benar juga itu Kakak. Kalau gitu kita berhenti dulu dan nunggu inbox dari suami Kakak."

Ratna dan Siska menunggu inbox dari Retno. Inbox Retno lah yang menentukan kemana perjalanan selanjutnya. Apakah terus mencari Ghazi atau balik ke rumah? Kalau ada inbox dari Retno seperti isinya: Lagi di mana sayangku? Kenapa belum pulang? Maka itu artinya Ratna tidak perlu lagi mencari Ghazi, sebab Retno sudah normal lagi sikapnya padanya. Namun, sudah setengah jam lamanya menunggu, sepertinya Retno memang sudah beku hatinya dan tidak ada tanda-tanda pesan masuk ke handphone Ratna.

"Ayo kita lanjutkan mencari Ghazi!" Walaupun agak berat Ratna mengatakan itu, tapi ia harus menemukan Ghazi.

"Tapi tujuan kita kemana Kak? Kan kita belum tau alamat kak Ghazi bekerja?"

"Ke Kampung Lima Menit!" Mendengar Kampung Lima menit Syilla tidak ragu lagi. Syilla segera tancap gas ke Kampung Lima Menit. Tujuan sudah pasti yaitu ke rumah kembarannya istri Firman, anaknya pak lurah Kampung Lima Menit yang bernama Marwa Binti Sambudi.

Tiga jam perjalanan mereka sudah sampai di Kampung Lima Menit pada sore harinya. Padi yang dulu menghijau kini sudah tidak ada lagi. Hanya menyisakan batang-batangnya yang setengah sisa potongan para petani. Syilla langsung memarkirkan mobilnya di depan rumah Pak Lurah. Mereka disambut dengan pantun oleh Pak Lurah. Sebab memang seperti itu kebiasaan Pak Lurah Kampung Lima Menit.

"Rumah berpagar bambu

Halamannya dipenuhi bunga-bunga

Sudah lama tak bertamu

Emangnya kemana aja?"

"Sibuk dengan urusan di Kampung, Pak." Ratna dan Syilla menjawab dengan barengan.

Mereka dipersilakan masuk dan dihidangkan ayam bakar, nasi kuning dan jus jeruk yang baru dikeluarkan dari kulkas. Kebiasaan Pak Lurah yang hobinya makan ayam bakar. Sehingga siapa saja yang datang bertamu ke rumahnya maka akan selalu ada menu ayam bakar. Ratna sudah kedua kalinya bertamu ke rumah Pak Lurah Kampung Lima Menit dan kedua kalinya pula dihidangkan dengan ayam bakar yang membuat nafsu makan Ratna dan Syilla makin tinggi.

Selesai makan-makan, Pak Lurah kembali berpantun:

"Makan ayam bakar dengan rombongan

Ayamnya habis duluan sebelum minuman

Izinkan Tuan Pakar menanyakan

Kalian ada apa gerangan?"

Ratna pun segera menceritakan masalah dan maksud tujuannya, yaitu ingin menemukan alamat Ghazi. Setelah Ratna bercerita tentang masalahnya dan juga tentang orang yang dicarinya. Lama Pak Lurah termenung. Sangkingkan lamanya, Ratna tak sabar ingin segara menanyakan kemana alamat yang harus dituju untuk menemukan Ghazi. Belum sempat ia bertanya. Pak Lurah pun kembali berpantun:

"Pergi merantau pamit pada ibu

Ghazi galau pasti ke Kampung Cemburu!"

"Kampung Cemburu itu di mana Pak Lurah dan kenapa orang galau pergi ke sana?"

Pak Lurah pun menjelaskan pada Ratna dan Syilla bahwa Kampung Cemburu adalah Kampung yang juga cocok untuk orang-orang galau. Biasanya para pendatangnya adalah remaja jomblo yang galau. Marwa karena galau juga pergi ke Kampung Cemburu, Ghazi diajak menikah oleh Najwa Detektif, kemudian ia galau dan ia memantapkan niat pergi ke Kampung Cemburu dan sekarang Ratna yang sedang galau karena Retno, solusinya juga ada di Kampung Cemburu.

Setelah mendapat alamat dari Pak Lurah Kampung Lima Menit, Ratna dan Syilla pamit pada Pak Lurah. Mereka sangat berterima kasih pada Marwa Binti Sambudi anaknya Pak Lurah juga istrinya Pak Lurah karena telah memasak untuk mereka yang sedang membutuhkan pertolongan.

Pak Lurah malah berterima kasih mereka mau bertamu. Pak Lurah sangat menyakini bahwa semakin banyak orang yang datang ke rumahnya, maka semakin banyak pula rezeki menghampirinya. Pintu Pak Lurah terbuka lebar dua puluh empat jam untuk tamu. Tungku dapur Pak Lurah banyak abu, istilah yang digunakan untuk orang yang banyak tamu.

Empat jam dari kampung Lima Menit ke Kampung Cemburu. Hari sudah sore. Jalanan mulai gelap. Mentari sudah bersembunyi di ufuk barat. Kelelawar dan serangga malam sudah pada beraksi, sesekali ada serangga kecil yang gagal terbang menabrak kaca mobil Syilla. Kodok tak sabar bernyanyi. Burung hantu sudah merindukan malam.

Bumi merindukan cahaya bulan dan bintang. Angin ingin memeluk makhluk bumi yang sedang merasa gerah dan ingin segera mencium manja paru-paru, awan ingin menangis bahagia menghamburkan air mata cinta pada isi bumi. Keong sudah tak sabar ingin berpantun dan bernyanyi sambil memainkan piano untuk merayu sang ratu laut. Ikan-ikan laut sudah tak sabar ingin selingkuh.

Keluarga semut sedang mengadakan rapat untuk strategi dan lokasi mencari makan besok pagi. Para keluarga tikus sudah tak sabar menunggu para petani segera kembali ke rumah, perut para tikus sudah keroncongan menatap buah padi yang melambai-lambai mengejek tikus yang ketakutan pada petani.

Kunang-kunang sudah tak sabar ingin berbuat baik, menerangi para kampung para serangga yang belum punya listrik. Ketika sang kunang-kunang itu datang, para serangga pun girang dan sering memberikan hadiah kejutan yang tak terbilang mahalnya.

Kura-kura segera beraksi, menggendong keong yang jalannya lambat. Kura-kura itu baik, mereka menggendong para keong untuk nongkrong di tepian pantai, menikmati angin malam sambil menyanyikan lagu-lagu pada makhluk laut yang kesepian. Ombak laut adalah musik yang dirindukan kura-kura dan keong.

Cumi-cumi si ratu cantik ingin mendarat, ia ingin mendengarkan lagu rayuan dari keong. Sesekali keong itu merayu ratu cumi-cumi, ia malu dirayu keong tetapi ia tetap bersikeras menepi karena ia ingin memeluk hangat dan berterima kasih pada keong yang suka menggombal dan penuh basa-basi.

Pada pukul delapan malam lewat dua puluh menit, Ratna dan Syilla sampai di kampung Cemburu. Penjaga gerbang Kampung Cemburu Satu menanyakan maksud kedatangan mereka. Ratna segera menyebutkan nama Ghazi.

Penjaga gerbang Kampung Cemburu Satu segera memeriksa buku tamu dari halaman pertama hingga ke halaman seratus lima puluh, tak ada nama Ghazi. Mereka pun menyuruh Ratna dan Syilla bertanya pada penjaga gerbang Kampung Cemburu Dua. Mereka segera memeriksa buku tamunya. Pada halaman ke seratus empat puluh sembilan, di sana tertulis nama Ghazi dan Ratna menyakini bahwa itu adalah Ghazi sahabatnya.

Ratna diminta kartu tanda pengenal. Ratna segera mengeluarkan kartu mahasiswinya dulu sewaktu di Awamaalia University. Melihat di sana tertulis Student Awamaalia University, penjaga gerbang sudah tak ragu lagi. Mereka hanya diuji membaca al-fatihah. Sementara Syilla tidak dimintai kartu tanda pengenal karena penjaga gerbang menyakini bahwa Syilla adalah temannya Ratna dan satu kampus dengan Ratna, padahal Syilla tidaklah satu kampus.

Setelah membaca al-Fatihah, mereka pun dipersilakan masuk dan mobil mereka diarahkan ke rumah Pak Lurah Kampung Cemburu Dua.

Sampai di depan rumah Pak Lurah, Syilla memarkirkan mobilnya dan mereka turun dari dalam mobil. Pak Lurah menyambut mereka dengan hangat dan duduk di depan teras rumah Pak Lurah. Rata dan Syilla ditawari minum kopi. Ratna tidak mau minum kopi, semantara Syilla malah minta bubuk kopi Pak Lurah untuk dibawanya pulang. Karena kopi Kampung Cemburu Dua maupun Kampung Cemburu Satu amat terkenal rasanya. Ratna menyampaikan maksud kedatangannya pada Pak Lurah. Tak lama basa-basi, Pak Lurah segera menyuruh salah seorang warganya memanggil Ghazi.

Ghazi yang sedang menghidangkan kopi di kedai kopi, heran dan kaget ketika ada orang yang memanggilnya dan menyuruhnya menghadap Pak Lurah. Dengan berat Ghazi melangkah menuju rumah Pak Lurah. Sampai di rumah Pak Lurah Ghazi makin kaget lagi ketika ia menemukan Ratna dan Syilla yang sedang menunggunya. Ia juga heran kenapa ada temannya yang tahu alamatnya. Melihat Ghazi sudah datang, Pak Lurah pun masuk ke dalam.

Ghazi berdiri membisu tak bergerak menatap Ratna dan Syilla. Ratna juga diam dan menatap tajam pada Ghazi. Ingin rasanya Ratna mencakar-cakar Ghazi karena telah membuat temannnya Najwa Detektif jadi gila. Ratna pun mulai memecahkan keheningan.

"Ayo pulanglah, Zi. Kamu tidak tahu keadaan Najwa sekarang. Dia sudah jadi gila! Badannya kurus, matanya makin ke dalam, rambutnya kumal dan keribo tak pernah disisir, badannya bau dan berlumut karena tak pernah mandi. Hanya tinggal menunggu malaikat maut lagi. Kalau kamu masih mencintai Najwa maka pulanglah bersama kami. Aku sedang tidak berbohong, Zi. Aku mendengarnya langsung dari ibunya Najwa. Kalau kamu tidak percaya, maka silakan telepon ke nomor ibunya Najwa."

Mendengar penjelasan Ratna yang menggebu-gebu, jantung Ghazi berdetak kencang. Ghazi masih mematung tak bergerak dan matanya masih menatap Ratna.

Tak lama, air mata Ghazi mengalir membasahi pipinya. Ia menangis terseddu-sedu mendengar penjelasan Ratna. Walaupun ia tahu Ratna adalah orang yang suka membawa berita yang salah, tetapi kali ini Ghazi percaya pada Ratna dari cara Ratna menyampaikan semua itu. Ghazi terduduk di atas kursi, menunduk dan menangis.

"Aku belum cukup uang untuk maharnya." Ghazi mulia bersuara.

"Kamu kurang berapa lagi dan berapa sudah ada?"

"Aku baru mengumpulkan tiga juta, Ratna. Setidaknya Aku harus mengumpulkan sepuluh juta."

"Kalau sudah terkumpul, kamu akan pulang?"

"Iya, Ratna. Aku akan pulang. Aku juga ingin segera menikahi Najwa, tapi Aku tidak punya apa-apa, Ratna. Setidaknya Aku bisa membelikan mahar dari hasil jerih payahku sendiri."

"Aku akan meminjamkanmu uang Ghazi. Dengan syarat kamu harus ikut kami pulang sekarang juga!"

Ghazi lama termenung memikirkan dan memilih antara pulang atau menetap di Kampugn Cemburu Dua. Tapi Ghazi tidak mau Najwa Detektif segera meninggal gara-gara dirinya.

"Baiklah Aku ikut pulang!"

Ratna dan Syilla sangat senang mendengar keputusan Ghazi.

Ghazi pun segera pamit ke Pak Lurah, Ratna dan Syilla menunggu di Luar. Pak Lurah tak dapat menahan. Datang tak dipaksa dan pulang juga tak dapat ditahan. Setelah pamit, Ghazi pun kembali ke warung kopi tempatnya bekerja. Pemilik warung kopi yang sudah menganggap dirinya adalah anak ikut menangis.

Pelanggan-pelanggan Ghazi mulai dari remaja hingga kakek-kakek ikut menangis dan menyalami Ghazi untuk terakhir kalinya. Murid Ghazi memeluk Ghazi yang sudah menarik kopernya mendekat ke mobil Syilla. Banyak yang memberinya santunan. Hampir seluruh warga Kampung cemburu Dua ikut mengiringi Ghazi yang hendak pergi meninggalkan mereka. Ghazi mengatakan pada warga Kampung Cemburu Dua bahwa ia akan kembali bersama istrinya, namun waktu dan harinya ia tidak tahu kapan pastinya. Pak Lurah ikut haru menyaksikan antusias warganya yang merasa kehilangan Ghazi.

Hampir tiga bulan Ghazi berada di kampung mereka, Ghazi meningglkan kesan yang luar biasa. Terlihat pada air mata dan raut muka sedih yang sedang mereka tunjukan pada Ghazi. Tanpa ia sadari, air matanya juga mengalir membasahi pipi.

Tak lama kemudian, mereka pun meningglkan Kampung Cemburu Dua.

Di tengah jalan, Ratna meminta Ghazi menelepon ibunya. Nun jauh di rumah Ghazi, ibu Ghazi mengangkat telepon. Kemudian Ratna meminta telepon Ghazi, Ratna ingin bicara langsung pada ibunya Ghazi.

"Ibuk, Ini Ratna. Ghazi sudah ada di dalam mobil bersama kami dan kami saat ini menuju pulang dan langsung ke rumah Najwa. Mungkin nanti setelah dari rumah Najwa, Ghazi pulang ke rumahnya, Buk. Ratna minta maaf, Buk. Karena Ghazi harus segera bertemu dengan Njawa, Buk."

"Ya, tidak apa-apa Nak Ratna." Ibu Ghazi memaklumi dan sedikit kaget juga ketika Ratna menemukan Ghazi. Kemudian Ghazi mengobrol dengan ibunya. Ratna segera mengabari lewat group bahwa ia membawa Ghazi pulang dan Ratna berharap agar semuanya kumpul di rumah Najwa Detektif.

Pak Rektor yang sedang duduk di rumah dan hendak tidur karena sudah jam sepulu malam segera memakai baju, mengambil kunci mobil dan bergegas menuju rumah Najwa Detektif. Firman dan Marwa yang sudah mematikan lampu dan ingin tidur, segera berkemas-kemas dan pergi ke rumah Najwa Detektif.

Retno, mendapat inbox dari istrinya, ia juga bersegera ke rumah Njawa Detektif, ingin meyaksikan apa yang akan terjadi bila Ghazi sudah datang. Apakah Najwa Detektif segera sembuh atau pingsan lalu masuk rumah sakit gawat darurat? Gunawan dan Meera yang sedang duduk di depan rumah lekas masuk mobil. Dan menuju rumah Najwa Detektif.

Jam dua belas malam lewat lima belas menit. Suara kelakson dan cahaya lampu mobil Syilla membangunkan mereka yang sebagiannya sudah tertidur di ruang tamu rumah Najwa Detektif. Hanya ayah dan ibunya Najwa yang belum tidur sebab mereka sudah tak sabar ingin bertemu calon mantunya yang belum pernah mereka lihat.

Walaupun belum pernah jumpa, karena presentasi Najwa Detektif menceritakan tentang Ghazi tempo dulu, ayah dan ibunya Najwa Detektif merasa sudah akrab sekali dengan Ghazi. Hebat nian Najwa Detektif memperkenalkan orang yang belum pernah sama sekali dilihat ayah dan ibunya. Mobil itu berhenti dan parkir di halaman rumah Najwa Detektif.

Semua tamu dan juga kedua orang tua termasuk pembantu Najwa Detektif ikut menyambut kedatangan Ghazi yang turun dari dalam mobil. Pak Rektor segera mendekat dan memeluk Ghazi. Kemudian disusul oleh ayah Najwa Detektif. Kemudian Retno, Firman dan Gunawan. Melihat Retno juga hadir, Ratna cemberut, tapi cemberutnya sama-sekali tak digubris oleh Retno. Retno seakan tak mengenal Ratna.

Ratna mencoba mendekati Reto, tapi Retno malah menjauh dan duduk di samping Pak Rektor. Semuanya duduk di ruang tamu. Ghazi diberi minum teh hangat buatan pembantu Najwa Detektif. Dan Ghazi pun mengeluarkan satu kantong plastik bubuk kopi dari Kampung Cemburu Dua, ia berikan pada ibunya Najwa Detektif.

"Bubuk kopi maharnya?" Pak Rektor bergurau ketika melihat Ghazi mengulurkan bubuk kopi pada calon mertuanya. Semuanya tertawa. Teman-temannya hampir saja menyakini Ghazi akan memberikan bubuk kopi itu sebagai mahar.

"Hehhe, bukan, Pak. Ini oleh-oleh saya untuk calon mertua saya."

"Owh begitu." jawab mereka serentak.

Kemudian ibu Najwa Detektif mengetuk pintu kamar Najwa Detektif.

"Buka, Nak. Ghazi ada di luar. Ayo keluar." Dari dalam Najwa Detektif masih tidak percaya dan tidak mau keluar. Sudah lebih tiga kali pintu kamarnya diketuk ibunya, juga tak mau keluar. Jangankan keluar dari dalam kamar, menyahut saja tidak.

Ratna pun mengusulkan agar Ghazi sendiri yang mengetuk pintu. Semua mata memandang ke arah Ratna. Ratna yang pikirannya ada-ada saja dan kadang-kadang saja ada itu membuat yang hadir tercengang sekaligus kagum pada Ratna. Ibu Najwa Detektif menyetujui usulan Ratna. Ghazi pun bangkit dan mengetuk pintu.

"Dek, ayo keluar, banyak teman-teman kita di luar." Mendengar suara Ghazi, tanpa memakai jilbab Najwa Detektif segera membukakan pintu dan berdiri mematung di depan Ghazi, memandangi wajah Ghazi, ingin dia memeluk Ghazi dan tidak melepaskannya, tapi Ghazi menghindar dan menghalangi dengan kedua tangannya, Ghazi tidak mau dipeluk. Tangis Najwa Detektif pun pecah, ia menangis sedih dan gembira.

Semuanya senyum dan ketawa melihat Najawa Detektif yang ulahnya seperti remaja tujuh belas tahunan, teman-temannya tertawa melihat perubahannya yang seperti orang gila. Rambutnya kumal, badannya bau dan wajahnya lesu. Tapi sekarang ia sedang mengembangkan senyum pada semuanya, khususnya Ghazi. Malam ini juga Najwa Detektif mandi dan wajah cantiknya mulai terlihat kembali.

Jam sudah menunjukan pukul dua malam. Semuanya pulang kecuali Ratna, Syilla dan Ghazi. Najwa Detektif melarang Ghazi kembali. Ia tidak mau Ghazi hilang lagi darinya. Ratna tidak mau pulang dengan Retno dan Retno juga tidak mengajaknya pulang. Syilla menemani Ratna di rumah Najwa Detektif. Mereka tidur bertiga dengan Najwa Detektif. Sementara Ghazi di kamar tamu, sendirian.

***