webnovel

Amnesia

Kampung Arab. Begitulah nama fenomenalnya di kalangan masyarakat luas. Atau ketika ada orang asing yang bertanya, masyarakat akan menyebutnya dengan nama terkeren kampung tersebut, "Arabic's Village". Kampung Arab ini di tengah pulau, untuk menyeberang ke sana harus dengan kapal laut.

Salah satu syarat yang boleh menyeberang ke sana ialah harus pandai berbahasa arab, paling tidak mengerti walaupun tidak pandai mengucapkannya dan harus punya duit yang banyak. Sebab segala macam yang dijual di sana adalah dengan harga yang mahal. Bangunannya tidak ada yang mencakar langit, namun amat mewah dan dengan teknologi yang maju.

Setiap sudut diberi cctv, tembok-temboknya dilengkapi monitor dan telepon. Kapan saja bisa menonton tv dan menelepon lewat tembok-tembok itu, tidak memakai pulsa, hanya dengan jaringan saja. Kebanyakan yang bekerja di Kampung Arab ini kecuali yang bekerja di dapur. orang-orang pintar.

Di tembok gedung utama tertulis besar dengan huruf arab, "Mustaysfaa 'Asal Eswed, rumah sakit kecap manis" dan di di dalam kamar UGD nomor seratus dua puluh di lantai lima, seorang pasien yang baru saja sadar setelah seminggu lebih berbaring dan bernafas dengan menggunakan oksigen.

Sepuluh jahitan di kepalanya dan pembalutnya sudah dilepaskan dua hari yang lalu. Kaki dan tangannya yang patah sudah mulai membaik. Luka-lukanya sudah sedikit mengering. Seorang perempuan yang mengenakan jilbab berhidung mancung, berparas gabungan Arab Turkey namun bisa berbahasa Indonesia ini bahagia bukan buatan. Akhirnya pasiennya telah menyadarkan diri. Segera ia menelepon si Tauke, yang dulu membawa pasiennya itu ke kampung Arab ini.

Tauke sawit yang dulu gara-gara anak buahnya mobil bulan madu itu jatuh ke jurang. Anak buahnya melarikannya ke Tauke dan si Tauke segera membawanya ke Kampung Arab. Anak buah Tauke hanya mendapatkan Firman. Anak buah Tauke tidak menemukan Marwa.

"Di mana Marwa saat ini? Apakah ada yang menolongnya?", Tauke masih cemas sekali apa yang terjadi pada istri Firman. Tauke masih mencari-cari keberadaan Marwa. Sebab semuanya adalah tanggung jawabnya. Tauke sangat yakin bahwa ada dua orang di dalam mobil warna hitam yang jatuh ke jurang itu.

Mobil warna hitam itu dihiasi dengan bunga-bunga dan sekarang bangkai mobil itu ada di gudang rumah Tauke sawit, sudah dibelikan Tauke dengan mobil yang baru dengan meret yang sama, tipe yang sama dan harga yang berbeda, lebih mahal. Si Tauke sudah berkali-kali mencari informasi ke sana- kemari sanak saudara Firman dan Marwa, namun tak kunjung ketemu. Sebab mereka tidak menemukan tanda pengenal Firman ataupun Marwa, sehingga Tauke pun merahasiakan sampai Firman benar-benar sadar.

"Asslamu'alaikum, ini dengan Tauke?"

"Wa'alaikum salam, ya benar. Ini siapa?"

"Ini saya Dokter Nadia, Alhamdulillah, anak Tauke sudah sadarkan diri. Ditunggu kedatangannya, Tauke."

"Wa'alaikum salam. Dia bukan anak saya, Dokter. Alhamdulillah, baiklah saya akan ke sana besok." Panggilan pun berakhir.

"Bukan anak? Lalu siapa?" Tanya dokter Nadia dengan suara pelan sembari mengerutkan kening, sayangnya panggilan telah ditutup Tauke. Dokter Nadia penasaran, siapa sebenarnya pasien yang ganteng berkepala botak dan bengkak yang tengah berbaring ini?

Seperti biasa, Dokter Nadia tidak akan pernah membiarkan dirinya dihantui dengan rasa penasaran walaupun satu jam saja. Sudah menjadi keharusan baginya untuk ingin tahu.

Dokter Nadia segera mengambil buku dan pena. Ia memberikan pena dan buku itu kepada Firman. Firman sudah sanggup duduk tetapi ia belum mampu menggerakkan tangannya. Sudah dibantu Dokter Nadia, tetap saja ia tidak bisa. Karena Firman sudah mampu berbicara, Dokter Nadia mengambil buku dan pena dari tangan Firman dan mewawancarainya.

"Siapa namanya, Tuan?"

"Aku tidak punya nama." Sahut Firman singkat.

"Alamat, Tuan?"

"Aku tidak punya rumah." Dokter Nadia semakin bingung. Ia tidak putus asa, tetap melanjutkan wawancaranya.

"Nama Ayah dan Ibu, Tuan?"

"Aku tidak tahu."

"Masih ingat kejadian terakhir kalinya, Tuan?"

"Aku tidak ingat."

"Siapa bersama, Tuan?"

"Aku hanya sendirian."

"Sudah menikah, Tuan?"

"Aku belum menikah, Dokter."

Dokter Nadia segera mencontreng kolom, "Amnesia" di dalam bukunya sembari memasang muka senyum dan yang penuh harap. Entah apa yang ia harapkan dari pasiennya yang botak itu, hanya dia dan Allah. lah yang tahu.

**"