webnovel

Perlakuan Neysa

"Pak, aku mau ulang tahun yang ke-17 nanti dirayakan," ucapku pada Bapak, karena bagaimanapun ia harus menuruti semua keinginanku, seperti janjinya pada mendiang Ibu.

"Tapi Bapak tidak punya uang, Nduk. Kamu kan tahu, berapa penghasilan Bapak dari hasil mengayuh becak," jawab Bapak dengan nada lembut.

"Pokoknya Neysa tidak mau tahu! Bapak kan bisa kerja sampingan jualan kopi, seperti Pak Dani." Kuberikan saran kepada Bapak, karena melihat keadaan Pak Dani yang serba berkecukupan, walaupun hanya berjualan kopi.

Wajah keriput Bapak terlihat sedang memikirkan sesuatu.

"Baik, Bapak akan mengusahakannya." Asyik, sepertinya keinginanku akan dikabulkan Bapak, secara, aku kan anak kesayangannya.

"Ya sudah, aku berangkat sekolah dulu. Mana uang ongkosnya?" Kusodorkan tangan ke arahnya.

"Nduk, bagaimana jika kamu Bapak antar saja. Kan lumayan, uang ongkosnya bisa ditabung untuk kepentingan lain."

"Sudah berapa kali sih, aku ingatkan! Kalau aku diantar Bapak, bisa-bisa diledek oleh murid lain. Emang Bapak tidak kasihan sama Neysa?" Kalimat terakhir selalu kujadikan jurus, agar Bapak tidak berani menunjukan wajahnya di depan teman sekolah.

"Baik lah Nduk, kalau begitu. Ini, Bapak cuma ada uang segini." Bapak memberiku uang pecahan lima ribu tiga lembar, dan dua ribu sepuluh lembar.

"Ya ampun Bapak, masa uang recehan gini diberikan padaku!" Dengan menghela napas yang panjang kuatur emosiku. "Ya sudah, tidak apa-apa, daripada tidak ada sama sekali! Neysa berangkat dulu." Dengan menampilkan muka cemberut, aku langsung menuju pintu keluar.

Saat kulangkahkan kaki untuk menjauh dari rumah reyot ini, Bapak berteriak,

"Assalamu'alaikum, Nduk." Tubuh bongkok Bapak berada di ambang pintu sambil melambaikan tangan.

------

Ketika sedang duduk di depan toko buku, aku melihat Bapak sedang menurunkan penumpang di sebrang jalan.

Sial, Bapak ternyata menyadari keberadaanku. Dari jauh Bapak tersenyum, sepertinya ia akan menyebrang untuk menghampiriku. Mau taruh di mana mukaku nanti!

Sebelum ia nekat, kutatap Bapak dengan mata melotot, berharap ia akan mengerti bahwa aku sedang bersama teman sekolah, dan tidak mau ditemuinya.

"Siapa Ney? Kamu mengenali laki-laki tua itu?" tanya Cha-Cha dengan nada menyelidik. Cha-Cha adalah murid populer di sekolah, selain berwajah cantik, dan pintar, ia juga memiliki orang tua yang terpandang.

"Ng ... Ng ... Nggak Cha, aku cuma kasihan saja melihat Bapak itu," jawabku dengan mata yang masih memandang Bapak, Mudah-mudahan Cha-Cha tidak curiga.

Senyuman Bapak yang tadi ditujukan padaku, hilang sekejap dari wajahnya. Sepertinya Bapak mengerti dengan kode yang kuberikan tadi.

"Iya ya, kasihan Bapak itu. Aku tidak habis pikir dengan anak-anaknya, membiarkan Bapak serenta itu masih bekerja mengayuh becak." Ucapan Cha-Cha bagaikan tamparan keras, sepertinya ia tidak menyadari, bahwa yang disebut anak-anaknya itu adalah aku.

"Iya, Cha," jawabku sekenanya saja, untuk menghilangkan kecurigaan Cha-Cha.

Dari sebrang jalan, terlihat Bapak dengan wajah lelahnya sedang meminum air dari botol plastik sambil duduk di atas trotoar. Ya, Bapak sengaja membawa bekal air dari rumah, katanya lumayan, uang untuk membeli air bisa digunakan untuk bekal jajanku.

"Ney, kita samperin yuk! Mumpung dia masih diam di sana. Aku mau memberi sesuatu untuknya." Ajak Cha-Cha dengan sangat antusias.

Kenapa sih, Bapak masih diam saja! Bukannya segera pergi.

"Aku tunggu di sini saja." Jika aku menghampiri Bapak, bisa-bisa Cha-Cha mengetahui semuanya.

"Ya sudah, kalau tidak mau!" Tanpa menunggu jawaban, Cha-Cha meninggalkanku dan menyebrang ke arah Bapak.

Di sebrang jalan, Cha-Cha terlihat memberikan sesuatu kepada Bapak.

Wajah Bapak yang tadi terlihat lelah, kini sudah berubah dihiasi senyum bahagia.

"Terimakasih, terimaksih banyak Neng." Suara Bapak terdengar, walaupun sedang berada di sebrang jalan. Sepertinya yang diberikan Cha-Cha tadi, adalah barang berharga atau uang yang berjumlah banyak.

Cha-Cha duduk di samping Bapak, sepertinya mereka sedang membicarakan hal yang menarik.

Saat aku sedang membaca novel yang baru dibeli tadi, Cha-Cha menghampiri dengan wajah semringah.

"Ney, besok kamu kan ulang tahun. Ngadain Party nggak?" Pertanyaan Cha-Cha berhasil membuatku terlihat gelisah.

"Iya ya, aku kok bisa lupa kalau besok ultah. Sepertinya, nggak deh Cha, Ortuku masih sibuk dengan pekerjaannya," jawabku berbohong dan menampakkan wajah sedih untuk meyakinkannya.

Melihat kondisi Bapak yang jarang mengayuh Becak karena sakit, sepertinya tidak mungkin, aku bisa merayakan ultah ke-17.

Cha-Cha yang tadi duduk bersebrangan, kini beralih ke sampingku.

"Gimana kalau kita rayain di rumah kamu, sama teman-teman sekolah saja?"

"Nggak ah Cha, Ortuku pasti tidak akan mengijinkan. Apalagi mereka tidak terlalu suka dengan keramaian macam itu!" jawabku, berusaha meyakinkan Cha-Cha.

"Oh, Gitu ya. Gini aja! Gimana jika dirayakan di taman? Kita sewa saja sama petugasnya."

Ya ampun, nih anak! Susah banget dibilangin.

"Aku belum punya uang Cha. Kamu kan tahu aku belum terima transferan. Beli buku saja harus pinjam uang kamu, apalagi buat sewa tempat."

"Kalau masalah itu tenang saja, aku yang akan tanggung semuanya, Ney." Terlihat Cha-Cha menghela napas. "Rencananya, aku juga mau sekalian mengadakan pesta untuk anak Bapak pengayuh becak tadi. Kasihan Bapak itu, siang malam terus bekerja karena ingin memberi kejutan kepada anaknya. Bolehkan, Ney?" Wajah Cha-Cha yang selalu ceria, kini berubah menjadi sendu.

Ucapan Cha-Cha terdengar seperti kabar baik sekaligus kabar buruk bagiku, bisa-bisanya Bapak menceritakan masalah pribadi kepada orang lain, memalukan!

"Terserah, kan kamu yang akan membiayai acaranya," jawabku disertai senyuman kecil.

------

Aku langsung turun dari atas ojek.

Karena rasa kesal terhadap Bapak, kubuka pintu dengan keras, sehingga rumah reyot ini terasa bergoyang.

Niat hati ingin memberi pelajaran kepada Bapak, tapi ternyata ia tidak kutemui di ruang tengah.

"Kemana sih aki-aki tua itu?" umpatku sambil mengecek setiap ruangan di rumah ini.

Mungkin Bapak belum pulang, lebih baik aku membersihkan diri terlebih dahulu.

Setelah Badan terasa wangi, langsung kusantap makanan yang sudah terhidang di atas meja.

"Emmm ... sepertinya semur ayamnya enak tuh!" Walaupun Bapak hanya seorang laki-laki, tapi masakannya tidak kalah enak dengan rumah makan di luaran sana.

Bapak selalu menghidangkan makanan yang bergizi dan lezat untukku, walaupun hanya bekerja sebagai pengayuh becak.

Bapak rela kerja keras untuk membiayai keperluanku, kecuali biaya sekolah.

Dengan tekad dan kepintaran di atas rata-rata yang kumiliki, pihak sekolah mengajukan beasiswa pendidikan untukku saat masih menduduki bangku SMP.

Dan ternyata usaha pihak sekolah tidak sia-sia, aku diterima di sekolah SMA berbasis internasional, dengan syarat, prestasiku tidak boleh menurun. Bahkan jika prestasiku terus meningkat, pihak sekolah menjanjikan untuk memasukanku ke Universitas ternama, bahkan Universitas luar negeri, tergantung nilai akhir yang kudapat nanti.

Jam sudah menunjukan 22.15, tapi Bapak masih belum pulang tidak seperti biasanya.

Apa mungkin Bapak langsung berjualan kopi? Tapi, barang dagangannya masih ada di rumah.

Karena mata yang mulai terasa berat, kubaringkan tubuh di atas ranjang kamar, sambil menunggu Bapak.

Aku terbangun saat suara mobil berhenti di depan rumah, ternyata jam sudah menunjukkan pukul 01.25. Siapa yang berkunjung malam-malam?

Tapi, tunggu, kenapa itu seperti suara Cha-Cha! Kuintip dari celah dinding kayu yang sudah bolong, untuk memastikan.

"Bapak istirahat yang cukup, jangan terlalu capek ya!" ucap Cha-Cha sambil memapah Bapak yang diikuti Pak Tama, supir pribadinya.

"Terima kasih, Neng sudah sangat baik sama Bapak. Jika tidak ada Neng Cha-Cha, Bapak tidak tahu bagaimana nasib Bapak sekarang." Mata Bapak terlihat berkaca-kaca.

Sebenarnya apa yang terjadi?

"Sudah, jangan terlalu dipikirkan, aku ikhlas kok, sudah menolong Bapak. Oh iya, anak Bapak mana?" Pertanyaan Cha-Cha berhasil membuatku khawatir. Kalau Bapak memberi tahu keberadaanku, bisa-bisa semuanya kacau!

"Emm ... Aaanu Neng, iii ... itu, emm ... Bapak lupa, anak Bapak sedang ijin menginap di rumah temannya," jawab Bapak dengan gugup, untung ia mengerti, jadi aku merasa aman sekarang.

"Alamatnya di mana? Biar aku jemput. Kasihan Bapak jika harus tidur sendiri."

"Tidak usah Neng, biasanya jam segini ia sudah tidur."

Cha-Cha terlihat menganggukkan kepalanya beberapa kali.

"Kalau boleh tahu, nama anak Bapak siapa?"

"Nama anak Bapak Neysa." Ya ampun, Bapak bodoh banget sih! Cha-Cha pasti curiga.

"Neysa?" tanya Cha-Cha dengan alis yang berkerut.

"Iya, emang kenapa Neng?"

Sok belagak gak tahu lagi! Tapi dengan cara Bapak seperti itu, semoga Cha-Cha tidak mengira bahwa yang dimaksud adalah aku.

"Enggak Pak, namanya sama seperti sahabatku." Tampak Cha-Cha menggaruk kepalanya.

"Aku pamit dulu Pak, besok kalau tidak sibuk, boleh mampirkan?

"Tentu boleh, Bapak senang jika dikunjungi orang sebaik Neng Cha-Cha."

"Oke deh kalau gitu. Assalamualaikum, aku pulang dulu ya, Pak?"

"Waalaikumsalam, hati-hati Neng."

Suara mobil Cha-Cha terdengar mulai menjauh. Kubuka pintu kamar dan langsung menghampiri Bapak yang sedang membaringkan tubuhnya di atas bangku.

"Baguss! Bapak dari mana, Jam segini baru pulang?" Dengan wajah sinis aku menghampiri Bapak.

"Bapak kira sudah tidur Nduk! Maaf, penyakit Bapak tadi kambuh jadi periksa ke klinik dulu, terus di jalan pulang tidak sengaja bertemu dengan Neng Cha-Cha." Wajah keriput Bapak terlihat seperti terdakwa yang sedang divonis hakim.

"Cukup ya Pak! Bilang saja itu hanya alasan Bapak, karena sudah malas cari uang!"