webnovel

Bazar

Hari itu libur raya. Istriku berencana mengunjungi bazar dan pasar malam. Acara ini diselenggarakan yayasan sosial warga keturunan, untuk dana sebuah kegiatan yang istriku terlibat didalamnya. Dia mengajak teman-temannya semua untuk ikut pada sebuah ajang pelelangan.

Kami mengajak Ayu untuk menjaga anakku, karena kegiatan ini akan lama. Wajah Ayu sangat senang dapat keliling-keliling melihat kota kami. Ajakan ini cukup istimewa, karena bazar dan pasar malam yang istriku terlibat ini, lumayan tersohor di daerah kami. Boleh dibilang perhatian seluruh kota dapat tersedot ke kegiatan itu.

Sari? jelas dia sangat iri pada Ayu yang punya majikan model kami. Apalagi kami pagi ini melewati rumahnya yang selalu sepi. Caranya meledek Sari menunjukkan bahwa Ayu sangat gembira sekali.

Dia dandan dengan kosmetik yang kuberikan, dan berbekal uang saku yang dia kumpulkan dariku. Riasannya membuatnya semakin cantik dan mempesona. Bila saja dia belum kenal aku pastilah dia sudah diajak begituan sama lelaki-lelaki lain. Ayu memang semakin genit dan tampil sensual, tetapi dia juga jadi pemilih. Remaja kampung itu sudah jadi gadis kota. Tak mempan dia dirayu oleh anak-anak disekitar rumahku.

Bagaimana pun, bila Ayu sedang gembira, Dia kadang suka lupa diri.. Dia membisikkan agar mau bercinta denganku. Aku waspada karenanya, karena istriku ada di sebelahku sepanjang hari ini. Aku menjaga sikapku di depannya.

Ditengah pelelangan itu, anakku tertidur dan istriku menyuruh aku mengantar Ayu ke mobil, agar anakku dapat tidur tenang jauh dari suara-suara bisik di tengah pelelangan ini.

"Wan!" Panggil Ayu mencegah aku kembali ke istriku, dengan nada menggoda, Ayu merayuku: "Wan mau makan tempik Ayu?" Tanyanya melebarkan selangkangannya.

"Ayu lagi pengen banget!" Katanya manja berbaring di dalam mobil.

"Aduh! Ayu!" Keluhku padanya. "Jangan Nakal gini!" Ayu tertawa geli, lalu dengan sengaja melemparkannya celana dalamnya kepada ku.

Sulit memang menolaknya, aku suka sekali dengan aroma anak ini. "Sebentar aja ya?" kataku melirik kekanan dan kekiri sebelum bergabung dengan selangkangannya.

Aku terpaksa kembali ke istriku, setelah menjilati dan mengemut-emut klitorisnya sesesaat. Aku kuatir Sofi tahu kegilaan kami ini. Akan sangat sulit bagiku untuk menjelaskan bahwa Ayu telah aku perawani; ditempat tidur dimana Sofi dan aku memadu kasih. Pasti runyam juga bila dia tahu aku kemarin menidurinya di rumah nyonya Wong bersama Sari.

"Mereka itu pribumi-pribumi muda, orang kerja! orang yang dibayar!" sulit aku membayangkan bagaimana istriku marah padaku. Jadi kutinggalkan Ayu yang mengeluh kesal.

Benar-benar galau aku ini. Sepanjang aku menemani istriku yang ada di kepalaku justru nikmatnya menyodok memek Ayu. Wajahnya yang manja menggoda, desahannya yang renyah, dan tubuh kecilnya yang ketat dan legit. Tak payah, bila ada kesempatan, Celana dalam Ayu, aku keluarkan dan ku hirup-hirup. Aromanya menggoda selalu. "Aku ingin ke Ayu!" pikirku setiap melihat istriku sibuk tak memperhatikan aku. Ayu benar-benar melemahkan kesetiaanku.

Tambah lagi siksaanku. Ereksi ku akibat Ayu membuat duduk ku sulit. Aku menyandarkan perutku ke meja untuk menutup selangkanganku dengan taplak besarnya. Berdiri salah, duduk tak betah. Terpaksalah aku hanya duduk manis menontoni Sofi dan teman-temannya bersenda-gurau.

"Wei!" Panggil Sofi padaku. "Kamu masih ingat Nana kan?" Dia menyuruhku menyalami sahabat karibnya yang baru datang. Nana Oey. Istri seorang pengusaha kenamaan di Surabaya. Cina Cantik dan berwajah sendu yang akhirnya bisa mengalihkan perhatianku dari tubuh Ayu.

"Koh!" Sapa Nana dengan suaranya yang kuingat memang seksi.

"Eh, Nana? Mari duduk." Sambut aku mengajaknya duduk.

Nana senyum dan duduk disebelahku. Dia selalu ramah seperti yang aku ingat. "Lama tak kelihatan?" sapaku berbasa-basi.

Nana baru seminggu di kota kami. Dia diajak Sofi untuk terlibat dalam pelelangan ini. Bibirnya yang dirias gincu gelap dan kibasan rambut tipisnya seperti air yang membasuh pikiranku dari godaan Ayu.

Semua orang sibuk menawar dan bersenda-gurau. Nana malah menatapku dan bertanya-tanya; "Koh nya Duduk aja koh?"

"Iya! Bingung mau ngapain." Jawabku mencoba menutupi keadaan.

"Kamu kayak kurang sehat koh?" Tanyanya memperhatikan aku yang tak nyaman.

"Tak apa, tak apa." Jawabku sedikit gugup.

Nana memanggil Sofi agar memperhatikan aku. "Laki mu Sof, dia pucat banget."

Istriku menjelaskan kalau aku tak betah didalam keramaian seperti ini kemudian meminta Nana untuk tak menggubrisku. Jelas, kawanan ibu-ibu cina itu bercakap, bercanda, dan ramai menyisihkan aku.

Baju yang dikenakan oleh Nana saat itu putih berbelang hitam. Baju tanpa lengan yang menarik perhatian lagi tipis menyamarkan tubuh yang dibalutnya.

"Nana, oh Nana." sebutku dalam hati tak mungkin tidak memperhatikan ibu muda yang cantik ini, Dekat duduknya yang semakin menyandar padaku tak mungkin tidak membuat wangi tubuh Nana bercocok tanam di kepalaku. Cucuran keringatnya dalam tenda panas ini, membuatku terpanah pada parasnya yang kini semakin cantik.

Sial! bukannya selesai ereksiku, parfumnya mahal yang digunakannya menjebakku dalam bayangan kehangatan tubuhnya.

"Kenapa koh? Pusing?" Tanya Nana padaku. Aku tersenyum-senyum, berusaha menghindarinya bertanya lebih banyak. Pikiranku kini penuh dan kacau.

"Koko bawah sapu tangan?" tanya Nana menunjuk celana dalam Ayu yang ku genggam.

"Ah! tidak!" Celana dalam Ayu pun aku kantongi, menjawabnya tersenyum-senyum.

"Panas!" balas nana menyeka keringat di keningnya.

"Udah kotor Na!" tambahku agar tidak ditanya lagi.

Sebelum Nana kembali tertawa mendengarkan cerita-cerita dari teman-teman istriku. Aku mengajaknya bicara.

"Erik, suamimu. Mana dia?" Tanyaku pada Nana menyebut nama suaminya.

"Sibuklah, Koh!" Jawabnya padaku. Nana bercerita, tetapi tidak ada satupun cerita Nana yang kudengar, aku lebih menikmati aroma tubuh dan memperhatikan tubuhnya yang menggiurkan.

"Begitu koh!" Kata Nana yang menyadarkan aku, sebelum kembali bergurau dengan istriku dan teman-temannya.

Aku baru kembali mengingat Ayu, setelah Ayu datang kembali dengan anakku. Anakku bangun dan minta dikeloni oleh mamanya.

Istriku mengambil putraku dan kemudian bersama Nana bermain-main.

Ayu menyadar aku, tentang dirinya. Diapun berani mencubit pahaku, sambil memasang wajah ketus. Layaknya orang pacaran. Ayu membisiki amarahnya. "tempik Ayu sampai kering! wan lama amat!"

Aku memberikan isyarat agar Ayu diam, lalu kubalik berbisik. "Bentar! Ini lagi ramai."

Tapi ayu kembali mencubit pahaku lagi, membuatku tersentak.

"Yu? Mobilnya kamu kunci?" Tanyaku padanya dengan nada yang dibesar-besarkan agar semua orang mendengarnya.

"Aduh! Ayu lupa!" Balas Ayu nampak panik, kemudian mengajak aku ke mobil.

"Wan! Ayo bantuin Ayu." Ajaknya menarik-narik aku. Aku pun bergegas berdiri mengikuti Ayu untuk kembali ke parkiran mobil.

Nana rupanya memperhatikan gerak-gerik ini. Dia menaruh curiganya pada dekat dan mesranya Ayu padaku. Curiganya semakin menjadi saat aku bangkit dan berjalan bersama Ayu. Nana tahu aku sedang ereksi.

Wajahnya tampak kaget menatapnya. Dia melirik sebentar, dan kemudian melirik Ayu curiga. Nana seketika tersenyum padaku lalu kembali bermain-main dengan anakku di pangkuan istriku.

Sesampainya aku dan Ayu di mobil. Ayu segera mendorong dan memaksaku. Ia mendorongku terbaring di jok belakang, lalu menutupnya, kemudian berlari berputar ke pintu lainnya, untuk segera naik menduduki wajahku. Dia menutup wajahku dengan roknya.

Segera menggesek-gesek selangkangannya pada mulut dan hidung. Ia tidak peduli apapun, selain dia mau aku jilatin memeknya kembali.

"Wan! Jilatin! Ayu lagi, lagi gatal." katanya semakin tergesa-gesa melepas nafsunya dan melupakan tempat dan keadaan. Dan, akupun bernafsu kembali.

Ayu membuka celanaku dan melahap kontolku yang sedari tadi ereksi. Rasanya nakal sekali menjilati memeknya di tengah parkiran ini. Gila sekali! Mengingat istriku tidak jauh dari sini. Kurang waras pula bila dipikir aku membiarkan anak pribumi seusia dia menghisap kontolku disini. Tak terbayang apa kata orang melihat orang cina lagi begini sama pembantu kecilnya.

Tapi Pikiran-pikiran itu justru membuatku jadi semakin bernafsu dan liar. Ayu pun sangat buas dalam memainkan kontolku, dia sangat bernafsu karena senangnya sedari tadi. Energi remajanya akhirnya membuatku lupa daratan.

Pinggulnya bergerak-gerak mengejar rasa enak yang tak pernah terpuaskan. Ayu pun keluar berkali-kali karena itu. Ia semakin gila mempermainkan kontolku dengan lidahnya. Setidaknya dia sadar aku harus cepat kembali, supaya istriku tak curiga.

"Keluarin dong Wan! Ayu mau! Cepat! Nyonya nungguin tuh!" Keluhnya manja terus mengocok dan mengulum penisku. Pinggulku pun bergerak cepat mengejar ejakulasi di mulutnya.

Kegilaan singkat itu berlangsung cepat. Kami pun kembali dan beralasan bahwa mengunci mobil ternyata susah.

"Wan, celana dalam Ayu mana?" tanya Ayu saat berjalan kembali. Kaget aku, tak dapat menemukan celana dalamnya di kantongku.

"Mungkin jatuh Yu! Di mobil kayaknya," jawabku kebingungan, "Nanti kita cari."

Dari kejauhan, Istriku sudah melambaikan tangan memanggil kami. Istriku menyambut Ayu dengan menawarkan dia menggendong anakku, tapi anakku tidak mau. Dia memilih bersama Nana dan istriku.

"Persis papanya." ujar Nana seperti tahu aku lagi nafsu padanya. Dia yang sedari tadi memperhatikan, kini nampak paham akan sesuatu; lantaran ereksiku sudah hilang.

Nana tersenyum padaku dan melirik-lirik Ayu. "Namamu siapa?" tanyanya memanggil Ayu mendekat.

"Ayu" jawab Ayu singkat.

"Anaknya mbok Yan ya? Kamu umur-nya berapa?" tanyanya pada Ayu.

"16" Jawab Ayu malu.

"Wah muda sekali ya?" Nana melirikku.

"Sini!" Nana menarik badan Ayu agar mendekat, kemudian berbisik "Buka mulutmu coba?"

Ayu membuka mulutnya, dan Nana memejamkan matanya. Nana mengangkat wajah Ayu lalu memperhatikannya sambil memandangku. Betapa pucatnya aku saat dia melakukan itu pada Ayu.

Dia mengangguk yakin; dia menduga bahwa mulut Ayu sudah dipenuhi bau spermaku. Nana tersenyum padaku, dan menyuruh Ayu menjauh.

Lirikannya kini terkesan nakal. Nana mengacung-acungkan jarinya padaku. "Koko kamu nakal ya!" Begitu rasanya bila itu menjadi kata-kata.

"Mati aku!" Ucapku dalam hati. Wajahku merah padam dan panik.

Nana berbisik; "pantas udah kempes Koh!" Lalu tertawa geli.

"Muka mu koh! Bau memeknya arek iku." Bisiknya menggoda dan memojokkanku. Aku diam menelan ludah, tak berani membalas.

"Enak gak koh?" Tanyanya dengan wajah yang sangat nakal sekali

Untuk mengubur ku agar tak mengelak, Nana menunjukan padaku celana dalam Ayu yang jatuh dari kantongku saat aku buru-buru ke mobil bersama Ayu.

Muka Nana saat itu benar-benar mengesalkan. Dia mengayun-ayun celana dalam Ayu dengan kedua jarinya, meledek kami berdua.

Ayu tertunduk malu, karenanya. Anak itu takutnya bukan main. Ia bersembunyi malu tak berani menatap Nana. Aku seperti seorang yang ketangkap basah telah mencuri.

Untung bagi kami, Nana tak segera menceritakan temuannya kepada Sofi. Dia menyimpan celana dalam itu, dan membiarkan kami, seperti tak ada apa-apa.

Nana pasti merencanakan sesuatu,

Di Perjalanan pulang, Sofi bercerita tentang ajakan Nana untuk menghadiri kawinan kerabatnya di Makassar. Nana mengajak kami naik kapal bersamanya.

Istriku ini tidak sedang minta pendapatku, dia memerintahkan aku agar mengurusi tiket bagi dia aku dan anakku.

Aku ingin menolaknya karena kejadian tadi, tapi saat melirik ke belakang, aku melihat wajah Ayu yang pucat karena takutnya. Kegilaan ini harus kuhentikan segera! Main dengan Ayu semakin riskan.