webnovel

Bab 12

"Arjuna, Jun....," suara Biung terdengar dari dalam. Saat ini aku masih berada di rumah Manis. Duduk di pelataran depan bersama dengan orang-orang yang hendak menyambut kedatangan kamitua Minto. "Ini bagaimana, toh, Juna," kata Biung lagi yang tampak bingung.

Aku segera berdiri dan menghampirinya, raut khawatir itu melekat kuat di wajah ayunya.

"Ada apa, toh, Biung? Apa ada sesuatu yang terjadi?" tanyaku. Berharap jika Manis membatalkan acara lamaran bodoh ini.

"Tamu sebentar lagi datang, tapi Manis.... Manis, Juna."

"Manis kenapa, Biung? Dia ndhak mau menikah dengan kamitua Minto?" tanyaku lagi. Biung menggeleng.

"Dia ndhak mau berdandan, dia juga ndhak mau memakai kebaya yang Biung belikan. Dia menangis terus, Juna," aku diam, ndhak menjawab ucapan Biung. Aku juga bingung harus senang atau sebaliknya melihat kondisi Manis seperti ini. "Kamu, kan, sahabatnya, toh. Coba kamu bicara dengan dia, tanya apa yang terjadi sampai dia seperti itu, Arjuna."

"Aku...," kataku terhenti. Mana mungkin aku menemui Manis sekarang setelah kejadian tadi. Jujur, aku merasa bersalah, dan sungkan. Terlebih, aku takut dia malu kepadaku. "Lebih baik Biung saja yang bertanya. Ndhak enak rasanya jika seorang pemuda masuk ke kamar perempuan meskipun mereka adalah kawan," dustaku.

"Sekarang bukan perkara pantas, dan bukan, Juna. Sekarang adalah waktu yang benar-benar mendesak. Pergilah segera, rayu Manis agar bergegas bersiap. Ini masalah keluarga, bukan sekadar dua orang saja."

Kuembuskan napasku dalam-dalam. Biung sudah menarik lenganku agar berjalan mengikutinya. Kupandang pintu kamar Manis yang tertutup setengah. Di sana, ada sosok yang menutupi tubuhnya dengan selendang.

"Nak Juna, tolong Simbah. Sudilah kiranya Nak Arjuna merayu Manis agar segera bersiap. Sebentar lagi tamu datang, ini benar-benar perkara yang memusingkan, Nak."

Bagaimana aku bisa menolak permintaan Simbah Manis? Tentu, aku ndhak bisa. Setelah beberapa saat aku diam, kulirik orang-orang yang rupanya wajah mereka tengah serius memandang ke arahku. Seolah, aku adalah satu-satunya cara bagi permasalahan mereka.

"Kalau aku bisa membujuk Manis, apa upah untukku, Mbah?" godaku.

Simbah Manis tampak kebingungan, kemudian menggenggam tanganku kuat-kuat.

"Kamu minta apa, toh, Nak? Semuanya sudah kamu punya. Minta apa dari Simbah yang sudah renta ini?" tanyanya frustasi.

"Kalau minta sun, Boleh?" kutanya. Simbah Manis tampak terkejut. Matanya melotot seolah ndhak percaya. "Minta sunnya sama Simbah, kok. Bukan sama Manis," lanjutku.

Kini semua orang tertawa, dan Simbah Manis pun juga. Dia menepuk-nepuk bahuku dengan tawanya yang renyah itu.

"Oalah, Nak... Nak, tenang nanti tak cipok sampak kapok."

"Walah merinding aku, Mbah. Terpesona," kataku.

Tapi Biung malah memukul kepalaku. Dia tampak berkacak pinggang. Berperan menjadi Biung yang galak.

"Berhenti becanda, Juna. Cepat kamu masuk dan bujuk Manis. Anak kok sukanya menggoda orangtua saja. Kalau disuruh menggoda perempuan ndhak bisa," marah Biung. Orang-orang menahan senyum mereka, dan itu benar-benar membuatku malu.

Biung mendorongku untuk masuk ke kamar, kemudian mereka pergi meninggalkan kami.

Antara menyapa, atau endhak. Antara berucap, atau endhak . Ini adalah kali pertama aku merasa canggung dengan Manis. Dan benar-benar terasa ndhak nyaman sama sekali. Apa yang harus kuperbuat kepadanya? Bersikap baik, atau mengetusinya seperti tadi? Gusti, kenapa aku bisa gelisah seperti ini.

"Ehem!" aku berdehem. Tapi Manis masih saja diam. Bahkan, ndhak bergerak sama sekali. "Apa ini yang namanya mau dilamar oleh lelaki yang dicinta. Ndhak malah bahagia kok malah menangis merunta-runta. Sudahlah, Manis, ndhak usah banyak gaya. Ndhak usah banyak tingkah. Jika kamu ndhak suka ya sudah, jujur saya. Memangnya siapa yang hendak kamu bohongi, memaksa sesuatu yang dibenci. Kamu tahu, itu namanya munafik," sindirku.

Sebenarnya aku merasa bersalah berceloteh seperti itu. Sebab alasan dia menangis adalah karenaku.

Manis masih diam, aku pun berjalan ke arah lemari pakaiannya. Mencari jaketku semasa kuliah dulu yang tertinggal di kamarnya. Aku yakin, jika jaket itu masih tersimpan rapi di sini. Sebab Manis tipikal perempuan yang pandai menyimpan barang-barangnya dengan sangat baik.

Kemudian setelah kuambil jaket itu, sebuah selendang pun kuambil juga. Kuletakkan di atas dipan tempat Manis duduk sekarang. Mengikutinya duduk, dan memandang wajah Manis yang sedang menunduk. Hidung bangirnya itu memerah, rona pipinya pun tampak semakin merah dari biasanya. Manis, benar-benar menangis karena ulahku.

"Maafkan aku, jika apa yang kulakukan padamu tadi sudah kelewatan," kubilang. Hati-hati kutatap wajahnya tapi Manis masih saja menunduk.

Kugenggam kedua tanganku sendiri kemudian aku menghirup kuat-kuat oksigen yang ada di udara. Lagi, kulirik Manis yang masih diam.

"Kamu tahu, toh, aku ndhak pandai berucap manis dengan perempuan. Apalagi lama-lama merayu seperti ini. Jadi, Manis, sebelum ucapan pedasku terlontar lagi, maafkanlah kawanmu ini. Bukankah kamu adalah adikku?"

"Kawan? Adik?" kini dia bersuara. Matanya memandang ke arahku, dapat kulihat dengan jelas jika bulu matanya yang lentik itu tampak basah. "Kurasa ndhak ada kawan yang memiliki hubungan semacam ini, Juna, apalagi adik."

"Apa maksudmu? Jadi selama ini kamu ndhak menganggapku sebagai kawan atau pun kakak bagimu?" tanyaku yang semakin terheran-heran. Apa dia telah kehilangan kewarasannya akibat menangis yang tak karuan ini?

"Apakah ada seorang kawan, terlebih kakak laki-laki yang mencium kawan, atau adiknya sendiri? Apakah ada kawan, terlebih kakak laki-laki yang setiap kali kawannya didekati lelaki lain maka dia akan murka dan mencium kawannya itu?"

Aku tersentak kaget, tatkala mendengar ucapan dari Manis. Gusti, bahkan aku hampir ndhak mengingatnya.

"Sudah sering kamu berlaku seperti ini, Juna. Dan kupikir setelah kepergianmu beberapa tahun yang lalu kamu akan berubah. Kamu akan menjadi Arjuna yang berbeda. Tapi nyatanya apa? Sebenarnya, apa maksudmu? Apa yang kamu inginkan, Juna? Apa?"

"Aku--"

"Ataukah karena kamu terlalu ketus dengan semua perempuan, dan hanya aku kawan perempuan yang kamu punya sampai kamu ndhak tahu bagaimana cara bergaul dengan kawan perempuanmu? Aku benar-benar ndhak paham, dengan apa yang ada di otakmu itu."

"Maaf," kataku lagi. Sekarang, giliran aku yang menunduk. Ndhak tahu harus berkata apa. Aku benar-benar merasa bersalah, dan semakin ndhak paham dengan jalan pikiranku sendiri.

"Sekarang, kamu sudah punya Arni, toh. Coba sekarang hapus kawanmu yang bernama Manis, dan diganti dengan Arni. Dan ingat, dia perempuan yang kamu cintai meski telah bersuami, jangan samakan perlakuanmu tatkala bersama dengan kawanmu dulu. Apa kamu bisa membedakannya?"

Setelah mengatakan itu, Manis langsung pergi. Meninggalkanku yang tertunduk kaku di kamarnya. Bahkan, itu kejadian sudah dulu. Tapi, dia masih saja mengingatnya. Gusti, maafkan aku....

******

Dulu aku ingat betul, setelah beberapa tahun aku di Jambi dan baru kembali lagi ke Kemuning. Waktu itu, aku baru saja lulus sekolah menengah atas, dan berencana untuk kuliah di Universitas yang sama dengan Romo Nathan mengecap pendidikan. Tentu saja, sambil menunggu surat-surat, serta keperluan lainnya, aku singgah di Kemuning. Menyusul orangtuaku, dan adik perempuanku satu-satunya. Lalu siapa sangka, jika sore itu aku kembali dipertemukan dengan Manis. Manis yang dulu masih ingusan, kini telah menjadi gadis perawan.

Saat itu sore telah tiba, matahari mulai bergerak ke ufuk barat. Namun rupanya, anak-anak kampung masih asik bermain di pelataran rumahku. Ada Rianti, yang saat itu tengah menyoraki Manis bermain gundu bersama dengan perjaka-perjaka kampung. Dan, hal itu sedikit membuatku terkejut. Manis, perempuan satu-satunya yang bermain gundu. Perempuan yang seolah ndhak ingin menjadi sosok perempuan.

"Hey, Cah Ayu, kenapa perempuan kecil sepertimu malah bermain gundu? Bukanlah lebih baik kamu ikut main masak-masakan kawan-kawanmu?" kutanya.

Manis hanya menoleh tanpa minat. Malah-malah Rianti yang mendengar suaraku langsung berhambur memelukku. Bercerita jika Manis paling jagoan di sini soal bermain gundu.

"Kamu siapa? Aku ini bukan perempuan kecil, lho. Andai aku ndhak berhenti sekolah selama satu tahun, aku ini sudah kelas satu sekolah menengah atas," jelasnya sombong.

Aku tersenyum saja mendengar ucapannya yang ndhak takut denganku itu.

"Kamu lupa denganku? Padahal rasanya baru kemarin aku tinggalkan kampung ini. Aku Arjuna, Kangmas dari Rianti, kawanmu," kujawab.

Manis tampak mengangguk-anggukkan kepalanya.

"Dia Kang Mas Arjuna, Manis. Pemuda yang dulu kita suruh menggedong kita kemana-mana itu. Masak kamu lupa, toh!" kini Rianti bersuara.

Mata Manis memandang ke arahku, kemudian dia kembali fokus bermain gundu.

"Soalnya kamu tambah besar, Juragan. Jadi saya pangling," jawabnya pada akhirnya.

Kuperintah semua jejaka-jejaka kampung untuk pergi, menyisakan Manis sendiri yang masih sibuk dengan gundu-gundunya.

Setelah meletakkan barangku di dalam rumah, dan berganti pakaian, aku pun mendekat ke arah Manis lagi.

Sungguh, dia pun sudah berubah. Dia bukan Manis yang kecil dulu, dia menjelma menjadi perempuan acuh yang sangat lucu. Ya, Manis, kawanku, saudara perempuanku.

"Bagaimana kalau main gundunya bersamaku?" tawarku.

Dia tampak terkejut kemudian tertawa. "Kamu, kan, sudah besar, Juragan, bagaimana bisa main gundu? Nanti, aku kamu curangi lagi," katanya sambil tertawa. Dia benar-benar mengejekku sekarang.

"Baiklah, bagaimana kalau kita bertaruh. Jika kamu menang, kamu boleh meminta apa pun padaku, pun sebaliknya. Jika aku yang menang aki boleh minta apa pun padamu. Bagaimana, adil, toh?" tawarku.

Dia berdiri, setelah mengusap hidung bangirnya dia pun mengacungkan tangannya.

"Oke, siapa takut!" semangatnya.

Kami pun bermain sampai petang, bahkan Rianti ndhak lelah menyemangati kami. Mulai dari membawakan gorengan, minuman, dan apa saja ia keluarkan karena sangking semangatnya melihat Kangmas, dan kawannya bermain.

Kami bermain gundu empat kali, tiga kali dimenangkan oleh Manis, dan terakhir aku yang memengkannya. Dia bersorak gembira, dan jujur aku dibuat tertawa oleh kelakuan konyolnya. Manis, benar-benar gadis yang periang luar biasa.

"Oke, aku kalah darimu tiga kali. Jadi sebutkan apa permintaanmu kepadaku, Manis? Tiga permintaan," kubilang.

Manis bersedekap, dia tampak menimbang-nimbang apa gerangan yang hendak ia minta sebelum ia menjentikkan jarinya.

"Aku ingin lihat pasar malam, dan Juragan yang bayarin!" teriaknya.

Satu permintaan, dan aku mengangguk menyetujui permintaan sederhana itu.

"Apa lagi, Gadis Manis?" tanyaku.

Manis kembali menimbang-nimbang dengan mimik yang sangat serius.

"Aku mai dibelikan gundu seratus biji!"

Lagi, aku mengangguk menandakan jika setuju. "Kamu ini gadis dewasa, seorang perempuan. Ndhak adakah permintaan yang wajar dilontarkan oleh perempuan seusiamu? Semisal dibelikan rok atau semacamnya?" tawarku.

Dia menolak. "Untuk apa? Aku ndhak butuh."

Jujur, aku kaget dengan jawabannya itu. Seharusnya, perempuan seusianya telah mulai pandai bersolek, masa puber di mana lawan jenis, dan menjadi cantik adalah hal yang terpenting baginya. Namun, Manis berbeda.

"Oke, apa permintaan terakhirmu?" tanyaku lagi. Kupandang Manis menampakkan seulas senyum. Pertanda jika telah memiliki permintaannya.

"Kudengar, jika Juragan Arjuna akan kuliah di Universitas. Dan minggu depan, Juragan Nathan, Ndoro Larasati, beserta rombongannya akan ikut serta. Jika boleh, aku ingin ikut. Aku penasaran dengan kota, dan Universitas itu seperti apa, Juragan," katanya.

Aku lihat, semangat untuk bersekolah tinggi itu ada pada dirinya. Melihat dari betapa ia bersemangat untuk ke Universitas.

"Apa cita-citamu kelak, Ndhuk?" tanyaku.

Dia tersenyum simpul, kemudian menjawab, "aku ingin menjadi guru, seperti Ndoro Larasati. Tapi...."

"Tapi?" tanyaku penasaran.

"Mana mungkin itu terjadi, aku seorang yatim piatu, sementata Simbahku kekurangan. Bisa sampai sekarang pun aku sudah sangat bersykur."

Sungguh sangat menyesakkan sekali mendengar penuturan Manis yang seperti itu. Aku tahu, jika Paklik yang selama ini dianggap sebagai Bapak pun ndhak cukup mampu untuk membiayai sekolahnya.

"Nanti, akan kuberitahukan kepada orangtuaku perihal ini. Percaya padaku, kamu akan bisa kuliah di Universitas. Sama sepertiku," kataku.

Dia mengangguk saja, kemudian dia pamit pulang. Waktu sudah malam, dia pasti akan dicari oleh simbahnya.

*****

Lusanya, aku dan Rianti telah siap untuk pergi ke pasar malam. Ndhak jauh, memang, karena letaknya dekat dengan kebun teh. Kami masih menunggu Manis, sampai sekarsng ndhak datang-datang.

"Kawanmu itu lama benar, toh, Ndhuk. Nanti keburu semakin larut ini, lho," kubilang.

Rianti menghentak-hentakkan kakinya, pandangannya terus diedarkan untuk mencari sosok bernama Manis.

"Itu, Kangmas, Manis telah datang!" serunya.

Kuputar kepalaku memandang arah yang dituju Rianti, ternyata benar Manis telah datang, dan dengan penampilan di luar dugaan. Manis terlihat sangat dewasa tatkala memakai rok selututnya itu, rambut hitam sepunggungnya digerai dengan begitu indah. Meski ndhak bersolek, Manis benar-benar sangat cantik.

"Maaf, telat. Tadi, membantu Simbah memgupas singkong dulu," katanya menerangkan alasan kenapa dia terlambat.

Aku, dan Rianti mengangguk. Kemudian berjalan menuju arah pasar malam. Sepanjang perjalanan aku berjalan di belakang, memerhatikan dua perawan yang sedang bercakap ndhak karuan. Seperti aku ini pengasuh dari mereka, dan itu sangat lucu. Sebab hampir tak pernah aku melakukan hal ini.

"Duh, Gusti!" teriak Rianti panik. "Kang Mas, aku lupa mengajak Bulik Amah. Tadi dia bilang mau ikut. Gusti, kok bisa lupa, toh!" katanya lagi sambil menepuk-nepuk kepalanya.

Memang dasar adikku satu ini, paling gemar perihal lupa akan satu hal.

"Kalian duluan saja, aku akan kembali memanggil Bulik Amah. Lagi pula, ini sudah di tengah perjalan, akam memakan waktu lama kalau kita sama-sama pulang," kubilang.

Tapi, Rianti menggeleng kuat. "Biar aku saja, Kangmas. Kangmas antar Manis dulu untuk ke pasar malam. Ndhak baik perempuan berjalan sendirian ke sana. Lagi pula, aku juga ingin buang hajat."

"Tapi, kamu pulang sendirian, Dik," kubilang. Mana mungkin aku tega membiarkan adik tersayangku pulang sendirian di tempat seperti ini.

"Eh, Paklik Sobirin!" teriak Rianti lagi.

Aku, dan Manis menoleh, Paklik Sobirin sudah mendekat dengan ontelnya.

"Aku ikut pulang, ya. Aku kebelet mau ke kamar kecil. Lagi pula, aku mau mengajak Bulik Amah ikut serta."

"Baik, Ndoro Rianti."

Setelah itu, Rianti berpamitan, dan meninggalkanku berdua dengan Manis.

Suasana kami, menjadi sangat canggung. Jauh berbeda dengan tadi sore yang begitu sangat akrab. Kugaruk tengkukku yang ndhak gatal. Melihat Manis yang sudah berjalan sambil mengikat kedua tangannya di belakang punggung.

"Kamu sudah pernah melihat pasar malam?" akhirnya, satu pertanyaan meluncur manis dari mulutku.

Manis memiringkan wajahnya, memandangku kemudian tersenyum simpul. Dia, benar-benar seperti perempuan dewasa. Jauh berbeda dengan tadi sore yang tampak masih seperti gadis kecil.

"Belum pernah, Juragan. Ini kali pertama. Kan, Juragan yang bayarin. Makanya aku berani melihat. Hehehe," jawabnya.

Aku tertawa mendengar jawaban itu. Benar-benar jawaban yang jujur tanpa basa-basi.

"Tapi lihat dompetku, barangkali uangku mepet," godaku.

Dia menepuk bahuku dengan kesal. Kemudian dia mengembungkan pipi meronanya itu.

"Jangan pelit, Juragan. Sekali-kali bayarin aku," katanya yang ndhak mau kalah.

"Lho, kita sudah sampai, toh? Ramai benar pasar malam ini, seperti pasar saja," kubilang.

Manis terbahak. "Lha memang pasar, toh. Memangnya Juragan pikir ini apa?"

"Pasar juga. Tapi, pasarnya sekarang ini beda," kubilang. Manis menarik sebelah alisnya bingung. "Pasar malamnya jadi manis, karena ada kamu. Hahaha."

"Karena namaku Manis?" tebaknya.

Aku mengangguk, dan dia ikut tertawa.

Kami berputar-putar di sana. Melihat satu per satu pedagang yang menjajakan dagangan mereka.

Manis tampak takjub, menikmati pemandangan yang baru saja ia lihat itu. Ingin benar rasanya aku membelikannya beberapa rok yang seperti ia pakai. Tapi aku takut, jika Manis akan menolaknya.

"Gadis cantik, sendirian saja," goda seorang pemuda. Aku ndhak mengenal gerombolan itu. Tapi aku paham, kenapa ada pemuda yang menggoda Manis. Itu adalah hal wajar, ketika seorang pemuda melihat perempuan cantik. Pasti mereka penasaran.

Manis mengabaikan mereka, dia malah menarik tanganku untuk pergi ke tempat lainnya. Kulirik pemuda itu tampak malu. Kemudian, dia mengajak gerombolannya untuk pergi.

"Kamu ndhak tertarik, dengan pemuda tadi? Bagus, lho," kataku.

Manis mengibas-kibaskan tangannya. " Untuk apa? Ndhak penting, Juragan. Kata Simbah, sekarang ini yang terpenting itu sekolah yang pinter. Ndhak boleh mikir macam-macam, karena aku masih kecil. Ya, meski, kawan-kawan seumuranki banyak yang sudah menikah,"

"Mereka masih tunduk dengan adat, padahal zaman sudah mulai maju," imbuhku. Manis mengangguk setuju.

"Namanya juga warga kampung, modernisasi itu ndhak sampai di sini. Hanya berlaku bagi orang-orang kota saja, Juragan...," dia bilang. Lagi, Manis menarik tanganku. Menuju ke arah penjual gulali. "Juragan, belikan aku gulali!" serunya semangat.

"Berapa?" kutanya.

"Kamu minta, ndhak?" tanyanya lagi.

"Aku ndhak suka yang manis-manis," kujawab. Sebab benar, aku ndhak terlalu suka manis. Ndhak tahu kenapa.

"Rianti mana, ya, kok ya lama sekali. Dibelikan sekalian, ndhak, Juragan?" tanya Manis lagi meminta pendapat.

Kutoleh sekitar, Rianti masih tak tampak di mana pun. Mungkin dia ndhak jadi kesini.

"Beli untukmu saja, mungkin dia masih di rumah. Biar nanti dia beli sendiri," kubilang.

Manis mengangguk, memesan sebuah gulali untuknya kepenjual. Setelah selesai, aku pun membayarnya. Dan kami kembali berjalan lagi.

Lelah juga jika hanya berjalan-jalan ndhak jelas seperti ini tanpa tujuan apa pun. Saat aku melihat ada pertunjukkan wayangnya juga, giliran tangan Manis yang kutarik menuju sana.

"Capek, jalan terus. Kita berhenti lihat wayang saja, yuk. Sambil menunggu kedatangan Rianti," ajakku. Mencari tempat duduk yang masih tersisa. Hampir ndhak ada tempat. Yang tampak lenggang di bagian belakang saja.

Kuajak Manis duduk di bagian paling belakang, kemudian melihat pargelaran wayang yang telah memainkan lakon-lakonnya.

"Ini manis, apa benar Juragan ndhak mau? Ini lezat, lho," kata Manis yang masih menawariku.

"Seperti ayam goreng saja, toh, kamu ini," kubilang masih ndhak percaya.

"Benar, serius."

Kutarik saja tangan Manis yang memegang gulali, tanpa kulihat jika gulali itu masih dimakan olehnya. Akibatnya, aku dan Manis terdiam sejenak, saat sadar jika kami sama-sama memakan gulali yang sama. Bahkan, jarak kami benar-benar sangat dekat, membuat jantungku berdebar ndhak karuan.

Manis hendak menjauh, tapi kutahan kepalanya agar tetap dalam posisi seperti ini. Menikmati gulali yang ada di tangan kami sampai habis. Sampai akhirnya, kukecup pelan bibir ranumnya yang mungil. Kecupan-kecupan ringan, yang benar-benar ndhak bisa aku hentikan. Ini adalah kali pertama aku mencium perempuan, dan aku ndhak tahu jika rasanya sangat mendebarkan.

Saat kusadar tangan Manis yang kugenggam terasa dingin. Kulepas ciumanku, wajah Manis tampak merah padam memandang ke arahku tanpa kedip.

"Gulalinya manis, sama seperti bibirmu yang manis," bisikku.

Dia langsung menunduk, dan membisu sampai kami pulang ke rumah.