Sesampai di halaman berumput, Gia menggigit tangan Dante keras-keras yang membuat pria itu terpaksa melepas genggaman di pergelangan tangan gadis itu. "Aku sudah mengatakan apa menjambaknya."
"Aku sudah memperingatkanmu untuk tidak membuat keributan kekanakan ini dan menjadi tontonan orang."
"Itu salahmu karena berkencan dengannya!" jerit Gia.
"Peraturan nomor satu, Dante Vacchi tak pernah salah."
"Peraturan nomor dua, peraturan nomor satu omong kosong."
Kedua mata Dante terpejam. Menghitung hingga sepuluh demi menenangkan emosinya yang sudah membludak menerkam bocah ingusan ini.
"Kenapa berkencan dengannya?!"
"Itu bukan urusanmu. Urus saja tugas kuliahmu dengan baik dan tidur di waktu yang tepat."
"Aku bukan anak kecil!" jerit Gia.
Dante mencengkeram ujung kepala Gia dan menekannya ke bawah. "Ya, kau anak kecil."
"Lepaskan, Dante." Kedua tangan Gia terangkat berusaha melepaskan cengkeraman tangan Dante di ujung kepalanya.
"Dan ini, pakaian apa yang kau pakai, huh?" Dante mengulurkan tangan menyentuh ujung gaun Gia dan menyentakkannya hingga robek. Menampilkan pakaian dalam Gia. Kesiap kaget terdengar dari arah kanan mereka. Melihat seorang pria yang membelalak ke arah tubuh nyaris telanjang Gia.
Umur gadis itu sudah bisa dikatakan menginjak dewasa. Meski di mata Dante tetaplah bocah ingusan, tetap saja bentuk tubuh Gia dan dada gadis itu yang berisi seolah menampar keras-keras pemikiran tersebut di kepala Dante. Dan Dante tahu apa yang dipikirkan oleh pria jelek yang sempat melayangkan tatapan rakus pada tubuh Gia.
Dante menggeram marah, pada Gia sekaligus dirinya sendiri, kemudian melemparkan isyarat untuk mengamankan area sekitar mereka pada pengawalnya yang berjaga di perimeter terdekat.
Menggunakan kedua tangan mungilnya, Gia menutup bagian dadanya dengan wajah merah padam. Marah sekaligus malu. Dante melepas jasnya dan langsung melemparnya ke muka Gia. "Pakai ini."
"Aku akan berteriak minta tolong."
"Lakukan."
Gia semakin dibuat berang. Jika Dante bilang tidak, maka Gia akan dengan senang hati melakukannya. Tetapi pernyataan ya, hanyalah salah satu bentuk Dante memegang permainan ini. Pandangan Gia berputar, bisa merasakan pengawal Dante yang tak kelihatan tapi bersiap siaga di sekitar mereka. Gia pun tak punya pilihan selain mengenakan jas kebesaran Dante demi menutupi ketelanjangannya.
"Masuk," desis Dante dengan bibir menipis tajam. Membanting terbuka pintu mobil.
Gia masih tetap di tempat, dengan dagu sedikit terangkat ia menjawab, "Tidak mau. Aku bisa pulang sendiri."
Cukup sudah, Dante menangkap pergelangan tangan Gia. Tetapi Gia yang sudah memperkirakan gerakan tersebut melompat ke belakang dengan gesit. Membuat Dante semakin berang.
"Aku membawa mobilku sendiri." Gia membungkuk dan mengambil tasnya yang tergeletak di antara halaman berumput kemudian menghampiri mobilnya yang terparkir tak jauh dari tempat keduanya.
Dan sebelum Gia sempat menyentuh pintu mobilnya, Dante sudah satu langkah di depan Gia. Pria itu berjongkok di depan ban depan mobil Gia dengan tangan yang menyentuh sesuatu berkilat. Untuk selanjutnya, Gia terlambat menyadari apa yang akan dilakukan oleh Dante. Pria itu menusuk ban mobilnya dengan pisau lipat, bersamaan suara angin yang berdesis dari dalam ban, seringai tersungging menjengkelkan di ujung bibir pria itu.
Gia sudah melepaskan sepatu berhak lancipnya untuk dilemparkan ke arah Dante, tapi lagi-lagi Dante selangkah lebih gesit. Menyambar sepatu di tangan Gia dan melemparnya jauh, kemudian membungkuk dan memanggul tubuh mungil gadis itu seeperti karung berisi kapas. Gia berteriak, memukul-mukul punggung Dante yang sekeras baja dan hanya menyakiti telapak tangannya.
Brukkk, tubuh Gia dibanting di jok belakang mobil. Menyusul Dante yang memanjat naik dan menggeser kaki Gia ke ujung.
"Seharusnya aku tidak memungutmu di panti asuhan itu sepuluh tahun lalu, Gia," hela Dante sembari membanting pantatnya di jok. Kemudian mengisyaratkan pada sopir untuk melaju.
"Tidak. Kalaupun kau tidak memungutku, saat itu aku akan berlari memegang kakimu. Memintamu membawaku. Tempat itu sangat mengerikan bagiku."
"Ah begitu, ya?" Dante manggut-manggut. "Aku mulai berpikir untuk mengembalikanmu ke sana sekarang. Menukarnya dengan anak penurut yang sopan santun. Bukan pembangkang dan pembuat onar sepertimu." Telunjuk Dante mengetuk-ngetuk kening Gia.
Gia memukul tangan Dante dengan penuh kedongkolan yang semakin bertumpuk. Ia memutar tubuh memunggungi Dante dengan segala macam sumpah serapah yang memenuhi batinnya. Menutup mulutnya sepanjang perjalanan.
Satu jam kemudian, mobil berhenti di halaman rumah Morgan.
"Turunlah."
Gia hanya diam.
Dante menoleh, berpikir mungkin Gia tertidur sehingga tangannya terulur.
"Kau tahu aku menyukaimu." Suara Gia terdengar lirih tetapi sangat jelas di antara keheningan di dalam mobil.
Tangan Dante yang nyaris menyentuh pundak Gia melayang di udara. Dari pantulan di jendela kaca mobil, Dante bisa melihat kedua mata Gia yang menatap pantulan wajahnya.
"Kenapa kau tak pernah mempertimbangkannya?"
Dante menghela napas pendek. "Sudah malam. Turunlah."
Gia memutar tubuhnya, menatap langsung wajah Dante yang selalu menghindarinya. "Kau sengaja melakukan semua ini untuk menghindariku." Itu penyataan, bukan pertanyaan.
Dante membuka pintu mobil dan melompat turun, memutari bagian belakang mobil dan membuka pintu di sisi lain. Kemudian menangkap lengan atas Gia dan menyeret wanita itu turun dari dalam mobil.
Gia tak berkata-kata lagi. Berdiri mematung di mana Dante meletakkanya seperti barang. Dan hanya tertegun menatap bagian belakang mobil Dante yang semakin menjauh dan menghilang di balik pintu gerbang tinggi. Hanya mengenakan jas milik Dante dan sepatu di kaki kanannya.
Matanya berkedip pilu, sebelum memutuskan untuk masuk ke dalam rumah dengan langkah terpincang karena udara malam yang dingin.
Sesampai di kamar, ia langsung membanting tubuhnya di tengah tempat tidur. Masih dengan jas Dante dan satu sepatu. Memeluk dirinya sendiri dan menghirup aroma Dante yang memenuhi jas tersebut. Dan terlelap dalam harapan yang menyelimutinya.
***
Dante mendesah keras sambil meletakkan kepalanya di punggung jok keyika mobil melewati gerbang dan melenyapkan sosok Gia dari kaca spion yang langsung disesuaikan dengan pandangannya oleh sopirnya. Kedua matanya terpejam, dengan kalimat Gia yang masih terngiang di benaknya.
'Dasar bocah ingusan,' dengusnya dalam hati. 'Tahu apa bocah itu tentang urusan orang dewasa, huh?'
Salah satu Dante naik ke keningnya, tetapi kemudian rasa sakit di punggung tangan membuatnya mengangatnya di atas mata. Menemukan bekas gigitan Gia yang masih membekas di sana. Senyum tersamar di ujung bibirnya, setidaknya bocah itu punya kemampuan untuk membela diri dari ancaman.
***
Pagi-pagi sekali Mona sudah membangunkan Gia dengan secangkir jus dan sandwich di piring. Gia yang masih mengantuk dan setengah jiwanya masih mengembara di alam mimpi, kedua lengannya ditarik terduduk.
"Bangun, sayang. Bukankah kau bilang hari ini ada kelas pagi?"
"Aku mengantuk. Aku tidak ingin pergi," gumam Gia dengan suara khas bangun tidurnya.
"Kau harus bangun, Gia. Lihatlah, semalam kau tidak membersihkan dirimu sebelum tidur?" Mona kembali menarik lengan Gia yang kembali berbaring. "Buka matamu. Ke mana pakaianmu semalam? Kenapa kau mengenakan jas Dante? Di mana sepatumu yang satunya?"
"Bolehkah hari ini aku tidak pergi ke kampus?"
Mona menggeleng tegas. Menurunkan kedua kaki Gia dan mengangkatnya berdiri. "Bersiaplah atau kau akan terlambat."
"Jadi kau menggunakan ini untuk masuk ke pesta?" Morgan tiba-tiba muncul di ambang pintu dengan lembar salinan kartu keluarga mereka di tangan.
Kantuk Gia seketika raib, membelalak menatap tas dan tiket ajaibnya masuk ke pesta di tangan Morgan. Sialan, bagaimana bisa ketahuan? Tak ada lagi pesta untuknya.
"Di mana kau mendapatkannya?" tanya Mona.
"Dante yang mengirim. Tertinggal di mobilnya," jawab Morgan sambil memberikan tas Gia pada istrinya. "Lihatlah dari mana kecerdikan itu menurun, sayang?" Morgan mengedipkan matanya ke arah sang istri. "Kita seperti keluarga bahagia."
"Seperti," dengus Gia. "Bukan fakta."
Morgan hanya melongo dengan delikan yang dilemparkan Mona. "Kenapa? Apa aku salah bicara lagi?"
"Menurutmu?"
"Kenapa aku selalu salah?"
"Karena wanita selalu benar," pungkas Mona. Titik.