Jam sudah menunjukkan pukul setengah tujuh pagi, tapi seorang gadis yang statusnya masih sebagai pelajar ini tak kunjung bangun dari tidur nyenyaknya. Semalam, dia memang susah tidur karena memikirkan masa lalunya dengan lelaki yang dulu selalu ada untuknya. Benar, dia adalah Jovanca. Tubuhnya terasa lemas, suhu badannya cukup tinggi, kepalanya berdenyut.
Selimut tebal masih menutupi seluruh tubuhnya, Sarah merasa janggal dengan kondisi kesehatan Anaknya hari ini. Perasaannya mengatakan bahwa terjadi sesuatu kepada Jovanca, setelah selesai menyiapkan sarapan untuk Arya dan Gavin, Sarah segera melangkahkan kedua kakinya memasuki kamar Jovanca. Dan benar saja, Jovanca masih belum bangun juga dari tidur nyenyaknya.
Sarah duduk di samping Jovanca, lalu menurunkan sedikit selimut berwarna biru muda yang menutupi wajah Jovanca. Tangan Sarah bergerak untuk menyentuh kening Anak gadisnya itu, panas. Merasakan ada sebuah tangan lembut yang menyentuh keningnya, secara perlahan Jovanca membuka kedua matanya. Hal yang pertama kali dia lihat adalah senyuman tulus Sarah.
"Pagi sayang, kamu sakit? Kenapa gak bilang sama bunda, hm? Kamu hari ini gak usah sekolah dulu, ya? Bunda juga hari ini gak jadi pergi ke rumah oma, mau jaga kamu aja, ya?" tanya Sarah bertubi-tubi.
Jovanca menggelengkan kepalanya pelan. "Iya bunda, aku hari ini gak bisa sekolah dulu kayaknya. Tapi aku bisa kok sendiri di rumah, bunda ke rumah oma aja. Kasihan oma lagi sakit," jawabnya dengan suara serak.
Hati Sarah rasanya seperti teriris mendengar suara Jovanca yang serak, dia tidak ingin kehilangan Anak sebaik Jovanca, Sarah berjanji apapun akan dilakukannya demi kesembuhan Jovanca. Sejak awal bertemu, Jovanca tidak pernah membuatnya kecewa. Sikapnya begitu baik dan selalu menuruti apa yang dikatakannya.
"Tapi kamu lagi sakit sayang, gak mungkin bunda biarin kamu sendiri," ucap Sarah terdengar begitu khawatir.
"Tenang aja bun, lagian kan ada Gavin juga. Dia hari ini ke kampus siang kok, jadi bunda pergi ke rumah oma aja dulu." Lalu, Jovanca mendudukkan tubuhnya secara perlahan. Punggungnya dia sandarkan pada tembok.
Manik mata Sarah menatap Jovanca begitu lekat, dapat terpancarkan dari wajah Jovanca bahwa gadis itu sedang tidak baik-baik saja. Tanpa sadar, air mata mulai berjatuhan membasahi kedua pipi Sarah. Melihat kondisi Jovanca sangat sesak, Jovanca seperti Anak yang tidak terawat, badannya kurus.
Tiba-tiba saja Sarah memeluk tubuh Jovanca erat, lalu berucap, "Jangan tinggalin bunda, sayang. Meskipun kamu bukan anak kandung bunda, tapi bunda sayang banget sama kamu."
"Bunda? Kenapa? Aku baik-baik aja kok, jangan nangis bunda." Jovanca membalas pelukan Sarah tidak kalah erat.
Jujur, Sarah benar-benar merasakan kehangatan jika berada dalam dekapan Jovanca seperti ini. Mungkin ini yang dinamakan batin seorang Ibu. Dia bisa merasakan kelemahan seorang Anak, meskipun bukan Anak kandungnya sendiri. Tapi itu bukan berarti Sarah tidak menyayangi Veronika. Dia tetap sayang juga kepada Veronika, karena Veronika tetaplah Anak kandungnya.
"Bunda sayang banget sama kamu, makasih udah mau terima kehadiran bunda, sayang. Bunda janji akan lakukan apapun demi kesembuhan kamu," ungkap Sarah.
"Aduh, ada apa ini? Kok bunda nangis sih?" Tanpa permisi, Arya masuk ke dalam kamar Jovanca. Kemudian menghampiri Sarah dan Jovanca yang sekarang sudah saling melepas pelukan mereka.
Senyuman di wajah Jovanca mengembang, dia bahagia bisa merasakan kembali bagaimana rasanya diperhatikan oleh kedua orang tua jika sedang sakit. Kehadiran Sarah benar-benar membawa kebahagiaan bagi Jovanca, dia selalu berharap semoga saja rumah tangga Sarah dan Arya akan selalu langgeng.
"Eh, ayah? Kok masuk gak bilang-bilang sih? Aku kan jadi kaget." Jovanca memanyunkan bibirnya, pura-pura merajuk.
Arya mengacak rambut Jovanca gemas. "Ih, kok anak ayah jadi baperan sih? Maaf dong, kan ayah kepo gitu lihat bunda nangis. Jadi ya ayah masuk aja langsung, hehe," jawabnya diakhiri cengiran khas.
"Gak ada apa-apa kok yah, Vanca cuma lagi gak enak badan, tenang aja. Vanca, bunda sama ayah turun dulu ya. Kamu istirahat nanti bunda bawain bubur," pamit Sarah dan dibalas anggukan kepala oleh Jovanca.
***
Hari sudah siang, tetapi Jovanca masih setia berbaring di atas tempat tidurnya. Ditemani sebuah selimut tebal berwarna biru muda kesayangannya, hadiah dari Rivaldi saat dia berulang tahun yang ke tujuh belas tahun. Bayangan tentang masa lalunya bersama Rivaldi dahulu, kembali terputar di otaknya.
Kenangan demi kenangan yang tercipta membuat Jovanca semakin merasa kesulitan untuk mengikhlaskan Rivaldi bersama Veronika. Ingin menangis, tapi Jovanca tidak mau membuang air matanya hanya untuk menangisi Rivaldi saja.
Terdengar suara decitan pintu, menandakan ada orang yang masuk. Gavin berdiri di ambang pintu kamar Jovanca dengan membawa sebuah nampan, di atasnya ada sepiring bubur, satu buah obat penurun panas dan air putih. Hari ini Gavin sengaja bolos tidak mengikuti kuliah, karena ingin menjaga Jovanca.
"Gavin? Kamu kenapa masih di rumah? Bukannya harusnya kamu kuliah?" tanya Jovanca bertubi-tubi.
Gavin menggelengkan kepalanya pelan, lalu duduk di pinggir kasur Jovanca. "Enggak, aku mau jaga kamu aja. Kalo kamu kenapa-kenapa gimana?" jawabnya dengan santai kemudian bertanya kembali kepada Jovanca.
Perhatian Gavin kepada Jovanca tidak berkurang, dia masih tetap peduli kepada sepupunya itu. Meskipun kemarin Jovanca sudah menyalahkan Gavin saat di kampus. Jovanca jadi merasa tidak enak, dia benar-benar menyesal sudah lebih membela Rivaldi daripada Gavin.
"Maaf ya, waktu itu aku udah lebih belain Valdi, padahal udah jelas kamu yang bener. Aku nyesel banget, serius." Kemudian, Jovanca memeluk tubuh Gavin erat.
Sudah biasa bagi Gavin diperlakukan seperti itu, lagi pula dia juga paham akan perasaan Jovanca. Wajar saja Jovanca lebih membela Rivaldi, karena dia begitu menyayangi lelaki yang sudah jelas selalu menyakiti hatinya.
Tanpa sadar, air mata mulai membasahi kedua pipi Jovanca. Dapat Gavin rasakan bajunya terasa basah karena air mata Jovanca, secara perlahan lelaki itu melepaskan tubuh Jovanca yang masih memeluknya erat. Tapi aneh, tubuh Jovanca tidak bergerak sama sekali dan kedua mata gadis itu tertutup rapat.
Gavin panik saat melihat wajah Jovanca pucat, ternyata gadis berusia delapan belas tahun itu pingsan. Gavin menepuk pipi Jovanca beberapa kali, tapi tidak ada respon. Entah apa yang harus dilakukannya saat ini, pikirannya sudah benar-benar kacau.
"Vanca, bangun Van!" seru Gavin.
"Aku harus gimana ni?" monolog Gavin.
Sebuah ide melintas di otak Gavin, lelaki tersebut segera menghubungi nomor Arya, sontak saja saat Arya mendapat kabar tersebut kaget bukan main. Pekerjaannya dia tinggalkan begitu saja dan memilih untuk segera pulang melihat bagaimana kondisi Jovanca.
Gavin mengangkat tubuh Jovanca. "Bertahan Van," ucapnya khawatir.