webnovel

BENTO BERBENTUK WAJAHMU

Ternyata tak sesuai dugaan Raya, Devan memang terlihat menahan dirinya. Dai jadi lebih sopan memperlakukan Raya. Devan hanya mengecup kening wanitanya. "Apakah aku juga harus izin untuk mencium keningmu?"

Ray tertunduk malu. "Sebenarnya tidak perlu, hanya saja aku perlu mempersiapkan diriku 'kan?"

"Lah memangnya pacaran dengan kakakku dulu tidak pernah berciuman? Ehm, maaf. Tak ada maksud untuk membuka masa lalumu."

Bayangan ciuman paksa di mobil pun kembali terngiang-ngiang. Ah, sejujurnya dia tak mau membicarakan ini. "Hanya sekali di mobil dan itu pun dipaksa. Bahkan terakhir aku malah menamparnya dengan keras," gumamnya lirih.

"Apa dia memaksamu untuk menciumnya? Kurang ajar sekali. Aku tak terima," bentak Devan mengepalkan tangannya menahan emosi.

"Sudahlah, itu hanya masa lalu yang tak ingin kuingat lagi. Sekarang masa depan yang terbentang di hadapanku adalah kamu. Jadi jangan lagi bertanya tentang aku dan Claytone karena kini hanya ada cerita aku dan Devan." Raya menenangkan Devan.

Devan mencium lagi kening Raya dengan lembut. "Iya, aku janji tak akan menanyakan hal itu lagi. Ayo, sekarang kita pulang."

Raya mengangguk bahagia. Dan Devan mengantarkannya pulang hingga di depan kontrakan. "Istirahatlah. Jangan begadang malam hari."

"Iya, aku masuk dulu. Hati-hati di jalan. Sampai jumpa esok lagi." Raya melambaikan tangannya sebelum akhirnya masuk ke dalam.

Selang beberapa menit saja Nadia, mengintip Raya yang tengah duduk melepaskan kaos kakinya. "Cie, roman-romannya ada yang senang banget nih baru diantar Ayang."

Raya tersipu malu. "Iya, dong. Aku tadi diajak dia main ke rumahnya. Lebih tepatnya dia memamerkan rumah yang baru dibelinya."

Nadia berdecak. "Gila, ya. Aku membayangkan betapa kayanya orang tua pacarmu sampai-sampai anak masih SMA sudah dibelikan rumah."

"Eh, kamu kira rumah itu yang membeli rumah itu Mama dan Papanya Devan, ya? Maaf Anda salah besar. Rumah itu dibeli dengan uang tabungan Devan sendiri," terang Raya sembari membereskan kamarnya yang berantakan.

"Wah, serius? Ah, gue enggak percaya. Memangnya anak sekolahan kerja apaan hingga bisa membeli rumah?"

Raya mencebik, kesal jika ada yang meremehkan kekasihnya. "Ih, dia itu programmer game. Dan dibayar buat ngasih pendapat tentang suatu game gitu deh. Aku juga kurang paham. Tapi hasilnya lumayan."

"Mantap sekali. Memang ya buah tak akan jatuh jauh dari pohonnya. Keluarganya saja pebisnis semua. Huh, siapa yang tak kenal perusahaan Sanjaya Grup. Aku iri. Kalau kamu menikah dengan Devan dan tiba-tiba kaya mendadak, jangan lupakan gue ya, Ray. Ingatlah perjuangan kita mengukir kenangan suka duka di kontrakan reyot ini."

Raya menoyor kepala Nadia. "Apaan sih? Buat menikah? Masih kejauhan. Ya kali, suamiku masih bocil baru sekolah SMA. Apa kata dunia nanti?"

"Nah, sekarang saja kamu pacaran sama dia. Bagaimana sih?" Nadia geleng-geleng kepala mendengar ucapan sahabatnya.

"Maksudku, kalau untuk pacaran sih enggak apa-apa. Tapi ketika ingin melangkah lebih dari itu, sebaiknya menunggu Devan lulus kuliah 'kan?"

"Saat Devan lulus kuliah, kamu sudah kepala tiga, Ray. Tapi zaman sekarang banyak kok yang menikah dengan yang umurnya lebih tua. Ah, tak usah dipikirkan. Aku mau tidur dulu. Bye, Cantik." Nadia keluar dari kamarnya meninggalkan Raya yang terdiam. Dia sedang berpikir. Apakah saat nanti Devan masuk ke universitas dan bertemu banyak wanita di sana, dia masih memiliki rasa yang sama dengan Raya? Atau malah dia akan berpaling mencari gadis seumuran dengan dirinya? Semuanya masih menjadi sebuah teka-teki yang hanya bisa terjawab oleh waktu.

***

Kegiatan rutin setiap pagi memasak untuk bekal makan siang untuk dirinya sendiri dan Devan. Pagi ini, Devan datang lebih awal karena takut membuat Raya terlambat datang ke sekolah.

Devan menurunkannya sesuai dengan arahan Raya, jauh dari sekolah. Wanita itu tentu tak mau jika mereka ketahuan jalan bareng karena itu bisa berbahaya untuk kedua, atau mungkin hanya untuk Raya. Keluarga Sanjaya tak mungkin akan diganggu dengan urusan sepele seperti ini, karena mereka adalah pemilik Yayasan yang menjadi donatur utama dari sekolah tempat Raya bekerja.

"Ray, nanti siang temani aku main basket ya. Ada pertandingan melawan sekolah negeri. Aku ingin kamu juga ikut menontonnya."

Raya mengangguk. "Baiklah. Nanti siang aku datang. Aku duluan, ya."

"Eh, tunggu dulu!" Devan menarik lengan Raya. "Jam istirahat nanti, aku tak bisa menemuimu karena harus berlatih basket. Kamu makan sendirian, nggak apa-apa 'kan?"

"Tak masalah. Kalau begitu, ini makan siangmu. Aku memasakkan ayam semoga suka." Raya menyodorkan wadah makanan ke Devan.

"Wow, ayam aku suka. Terima kasih, Sayang. Hati-hati di jalan." Devan mengusap lembut rambut wanitanya.

"Iya." Raya berlari kecil menyeberang jalanan yang sepi. Dan dia bergegas menuju ruangannya untuk mulai bekerja pagi ini.

Sedangkan Devan, harus menunggu lima belas menit setelah Raya masuk ke halaman sekolah. Sebenarnya ini sangat merepotkan. Dia paling benci menunggu karena terasa membosankan. Tapi mau bagaimana lagi. Ini semua keinginan Raya yang takut hubungan mereka dicurigai orang lain. Ah, wanita itu selalu over thinking, membuat Devan terkadang kesusahan memahami jalan pikiran Raya.

Raya, memastikan jadwalnya. Hmm, hari ini tak ada jadwal mengajar di kelas Devan. Sedikit kecewa. Andai saja pelajaran matematika bisa dipelajari setiap hari, pasti akan sangat menyenangkan baginya bisa mengajar kekasih sendiri. Tapi akan sangat merugikan bagi murid lain yang tak menyukai mata pelajaran paling ditakuti itu.

Bel istirahat berbunyi dengan kerasnya. Devan segera menuju ke arena basket dan berkumpul dengan teman-teman tim lainnya. Pak Wilson mendiskusikan persiapan mereka nanti menghadapi lawan main dari sekolah negeri. Sudah bisa dipastikan kali ini Devan yang jadi ketua timnya karena kemampuannya yang tak diragukan lagi.

Dan di akhir sesi mereka diizinkan untuk beristirahat. Devan duduk dengan temannya di bangku pemain. Dia mengeluarkan bekal makanan dari Raya. Senyumnya mengembang saat membuka isinya. Raya membentuk makanannya menjadi bergambar Devan dengan rambut ikal.

"Apa itu? Luci sekali. Pasti dari cewek," celetuk Edo teman satu tim basket.

"Hm, sok tahu kamu." Devan jadi tak tega memakan bekal selucu ini.

"Tahulah, tak mungkin kamu yang membuatnya sendiri. Biasanya cewek yang bisa membuat bento dengan bentuk imut seperti ini. Ini dari pacarmu ya? Wah, kenalkan dia padaku. Pokoknya aku tak terima jika kamu menyembunyikannya dariku."

"Eh, ini Mama yang bikin. Ngawur! Aku mana ada pacar." Devan senyum-senyum sendiri.

Sementara itu, di balik pintu terlihat Raya sedang mengintip pacarnya. Dia bahagia sekali ketika melihat ada senyuman di wajah Devan saat memakan bekal makan siang spesial hanya untuk bocah itu.