Dipta masuk ke dalam kamar lalu membuka koper untuk mengambil handuk dan alat mandinya. Lalu mengganti pakaiannya dengan singlet dan celana bola, nggak mungkin mandi sunge pake jeans sama kaus brandednya.
Dengan kesal dia pergi menuju sungai, melewati jalan setapak yang tadi di lewati gadis gila yang di panggil Hening. Nama sama sifat jauh berbeda, lagian kok bisa-bisanya nama makhluk hidup Hening, nggak ada yang lebih ekstrime?
Nggak jauh dari rumah terdengar suara aliran sungai dan teriakkan gembira dari orang-orang yang tengah mandi, ada yang sambil nyuci baju ada juga yang sambil nyuci piring. Kalau Hening nggak di bolehin nyuci baju maupun cuci piring, bukan karena di manja tapi karena semua barang itu bisa hanyut tanpa di sadari gadis itu.
Sebab Hening kalo dah jumpa air, macam orang kesetanan, lupa diri dan sekitar. Berenang dari ujung ke ujung, terus ngikutin temannya yang cowok lompat dari titi, nggak perduli di teriakkin orang sekampung yang ngeri liat tingkahnya.
Kalo udah gitu, barang yang di bawaknya hanyut terikut arus.
Hening punya dua sahabat, satu namanya Nur dan satu namanya Bayu yang sering di plesetin orang kampung dengan nama Baya. Kalo mereka bertiga lagi kumpul pasti di panggil Hening Nurbaya. Bayu kesal setengah mati kalo di ledekkin kaya gitu, beda sama dua temannya yang ikut cengengesan liat dia di nistain penduduk kampung.
Tau, kalo penduduk kampung cuma bercanda tapi tetap aja nyes di hati. Nama ganteng-ganteng kok di plesetin gitu.
"Satu … Dua …."
BYURRRRR
Belum tiga, Hening udah salto. Dipta yang berdiri tidak jauh dari sungai melotot melihat gadis gila itu terjun bebas dari atas titi yang udah pasti tingginya lebih dari lima meter. Dasar cewek gila, pikirnya.
Dia menatap tempat Hening nyebur tapi sayang cewek itu nggak nimbul di sana melainkan jauh dari tempat itu. Dipta cuma bisa melongo, atlet renang kalah di buat gadis itu.
Nur yang sedang nyuci baju sambil mendumal tanpa sengaja menatap Dipta, matanya langsung berbinar, mungkin liurnya juga netes kalo nggak di tegur ibu-ibu yang pamit pulang padanya. Ibu itu ngikutin arah pandang Nur, dan dia hampir terpeleset.
"Nur, mungkin dia jin penghuni hutan," ucap ibu itu yang menarik perhatian Dipta.
Dipta menatap keduanya dengan mata memicing dan datar, sontak Nur dan ibu itu menunduk ketakutan. Tapi tetap curi-curi pandang, sayang nggak di nikmati, walau jin yang penting ganteng. Pas orang tu angkat kepala, Dipta udah nggak ada.
Fix keduanya gemetar takut, Nur dengan cepat menyudahi aksi cuci mencuci. Mana yang di cuci celana dalam yang karetnya udah kendor, di buangpun nggak ada yang mungut. Tapi Nur cinta mati, udah berapa kali di jahit supaya masih bisa di pake.
"Hen … Bay … cepat naik! Ada jin!" Teriak Nur sambil buru-buru mandi. Ibu yang tadi udah lari pulang.
"Hush … Nur, nggak boleh ngomong gitu," ucap salah seorang yang nyuci di belakang Nur, tubuhnya ketutupan sama rumput gajah, jadi nggak ngeliat Dipta.
Nur menoleh dengan kesal, "aku nggak bohong lo, Yuk! Kalo nggak percaya tanya aja sama mbo Darmi nanti."
(Yuk atau Yayuk biasanya panggilan untuk orang yang lebih tua, seperti kakak atau mbak)
Yang di panggil yayuk itu membenahi basahannya sambil berkata, "dari lahir sampai mau mati, nggak pernah ada yang liat jin di sini."
Nur nggak memperdulikannya, dia menatap Hening yang masih juwawakan di dalam air sama si Bayu dan pemuda lainnya. Hening temannya emang ampir rata cowok semua.
"NING!!! DENGAR NGGAK AKU BILANG APA?!" jerit Nur yang udah berkacak pinggang. Sesekali matanya menatap sekitar, takut ketemu jin ganteng itu lagi.
"Si nenek itu apa sibuk kali?" tanya Hening pada temannya Bayu yang langsung terbahak dengar panggilan Hening untuk Nur.
Nur itu, anaknya mang heboh sendiri, suka parno tapi rasa ingin taunya besar. Daripada akur, dia dan Hening lebih sering ribut, apalagi kalo udah manggil Hening dengan sebutan, Ning. Udahlah jadi, di ladenin sama Hening.
Dia paling nggak suka di panggil Ning.
Hening nggak memperdulikan Nur, dia kembali menyelam lalu berenang ala-ala mermaid. Air sungai mereka sangat jernih karena turun langsung dari pegunungan, udah gitu bersih dari sampah juga karena seluruh penduduk sangat menjaga kebersihan. Sebab sungai ini satu-satunya sumber air di desa mereka, otomatis harus di jaga dengan baik.
Pas berenang agak jauh Hening memunculkan diri untuk menepi, betapa terkejutnya dia melihat Dipta tengah berenang seorang diri. Tanpa mau perduli gadis cantik itu langsung berenang ketepi lalu naik ke darat.
Sebelum pergi dia sempat nakutin Dipta, "kalo mau berenang itu tanya dulu sama orang yang udah biasa mandi di sini. Tempat kamu mandi itu ada pusaran air di bawahnya, awas keserep. Sering kali orang tenggelam di situ."
Dipta yang tengah menyelam langsung naik ke darat, ngeri juga kalo sempat dia mati tenggelam.
Melihat Dipta ketakutan Hening terbahak sampe perutnya keram, di sela tawanya dia berkata, "kirain jantan taunya banci! Nggak bisa bedain mana serius dan gurauan."
Mata Dipta membelalak dengan cepat dia meraih sikat giginya lalu melemparkannya ke dahi Hening.
"ADUHHHHHHHH!!!!!" teriak gadis itu yang menarik perhatian teman-temannya dan yayuk yang sedang nyuci tadi. Mereka bergegas menuju ke tempat Hening dengan wajah panik.
"Berani banget lo ngerjain gue, Jenong!"
Hening menatapnya nyalang, "apa? Jenong?"
"Iya! Kenapa? Emang lo jenong, coba ngaca dan liat dahi lo, lebar kaya lapangan bola, maju kaya mulut bemo. Mirip ikan lohan!" Dipta menyambar handuk, bersiap untuk kembali kerumah tapi di hadang oleh segerombolan orang kampung. Satu spesies sama si Jenong.
"JIN HUTAN!!!" teriak Nur.
"Jin apa?" tanya Bayu kesal. Pemuda itu mendekati Hening lalu melihat dahi yang di tutupin gadis itu dengan tangannya.
"Kejedot batu?" tanyanya sambil mengusap dahi yang di sebut Jenong oleh Dipta.
Hening menggeleng, "orang gila ini lempar aku pakek sikat gigi!"
"Ganteng-ganteng kok di panggil gila?" Sela Yayuk yang kesemsem sama Dipta.
Sumpah, Dipta gerah kali berada di tengah makhluk-makhluk aneh macam ini.
Tanpa mengatakan apapun dia mengambil alat mandinya lalu pergi gitu aja. Tapi, bahunya di tahan sama Bayu.
Dengan serius pemuda itu bertanya, "bisa jelaskan kenapa melukai temanku?"
Hening dan yang lain saling pandang dengan raut muka keheranan. Bayu yang biasa bertingkah kaya monyet, kok tiba-tiba jantan gini?
Kan cakep kalo gini.
Dipta memicingkan mata sambil menatap tangan Bayu yang berada di pundaknya, di tatap seperti itu tiba-tiba tangan Bayu tremor, sekuat tenaga dia menahannya.
(tremor sama dengan gemetar)
Dipta tersenyum sinis setelah itu menatap Bayu tepat tajam, "cewek gila ini yang lebih dulu cari masalah sama gue."
Nggak terima di bilang gila, Hening melompat lalu menarik kuat rambut Dipta sampe mereka berguling di tanah. Dipta yang di serang tiba-tiba nggak bisa melawan tarikkan Hening yang kuat.
"Lepas! Anjir!" makinya. Hening mengunci kaki panjangnya agar nggak bisa bergerak.
Betewe Hening jado bela diri.
"Nggak akan anjirr!" Hening mengucapkan kata yang Dipta ucapkan.
"Woy, tolongin! Rambut anak orang bisa rontok di jambak Hening!" Yayuk tampak panik.
Bayu yang merasa ketolong dengan aksi Hening berkata dengan bijak, "biarkan saja, dia pantas menerimanya."
Udah mirip kisanak jaman dulu gayanya, buat Nur mau muntah.