Jantung Hening jedag jedug nunggu bel, menunggu sang pujaan hati yang katanya masuk ke kelasnya di jam pertama. Sekarang Hening udah duduk dengan tenang dan tegak, baju di jaga jangan sampek kusut, sesekali menyelipkan anak rambut ke balik telinga dengan gerakkan yang sangat amat anggun.
Bayu dan Nur mau muntah liatnya, bukan Hening banget gitu loh ….
Emang Hening kalo udah berususan dengan manusia bernama Dimas, pribadinya langsung berubah secepat kilat. Yang tadinya pecicilan, jadi kalem melebihi kalemnya putri kraton. Dan hal itu sudah menjadi rahasia umum, sebab Hening mengikrarkan akan mengejar cinta Dimas di depan publik. Entah itu pas di langgar, wirid atau hajatan.
Dia minta do'a semua orang biar jodoh sama Dimas. Motonya, semakin banyak yang do'a semakin cepat mabrurnya. Namanya juga Hening, suka-suka dia ajalah.
Terdengar bunyi lonceng, tanda masuk dan akan di langsungkannya pelajaran pertama. Kebetulan jam pertama Hening itu Bahasa Indonesia, kadang buat Hening ngantok sama penjelasan pak Slamet, guru yang lebih senang cerita daripada ngasi tugas.
Cocok sama mapel yang di ajarnya, Bahasa Indonesi. Mendongeng dan mengarang, itulah ahlinya pak Slamet, penduduk desa Suka Sari yang ladangnya di samping ladang abah Hening. Tanahnya nyewa tanah kakeknya Dipta.
Terdengar suara langkah kaki yang mendekati kelasnya, nggak lama masuk pak Slamet sama calon suaminya Hening, yang pasti hanya terjadi dalam mimpi Hening. Dimas ini memang ganteng, di tambah lagi postur tubuh yang tinggi dan bentuknya profosional.
Kulitnya kuning langsat, rambut hitam legam yang agak panjangan, berkilau tanpa minyak rambut. Air liur Hening mau tumpah pas liat pujaan hati masuk ke dalam kelasnya. Kalo di ibaratkan dengan adanya slowmotion, pas Dimas masuk dengan gerakkan yang sangat lambat, terpancar cahaya putih yang menyilaukan mata semua orang yang memandangnya dengan tatapan memuja.
Namun begitu tatapan dan senyuman Dimas hanya untuk Hening permata Hati seorang. Tapi sayangnya itu semua hanya halayan Hening, kesadarannya kembali setelah di tampar kenyataan bahwa pemuda tampan dan tersohor itu nggak menatapnya sama sekali.
Hening kaya di terjunin dari pesawat tanpa parasut, sakit.
"Tegak grak!" Jepri memberi intruksi agar seisi kelas berdiri lalu memberi salam. Setelah salam di sambut guru, Dimas dan seorang pemuda lagi dia kembali mengintruksikan agar duduk kembali. Tangan di lipat dengan benar dan siap mendengar apa yang akan di sampaikan.
Seisi kelas curi-curi pandang ke Hening, bersiap melihat aksi gilanyanya Hening pas ngegombalin Dimas. Jangan heran ya kenapa seisi kelas tau, kan mereka satu desa. Jumpanya nggak cuma di sekolah aja, di rumah dan ladangpun sering ketemu.
Dimas Bimo Setyawan sengaja nggak melihat kearah pojok karena tau kalo Hening duduk di sana, sebisa mungkin dia menjaga sikap jangan sampe menampilkan kekesalannya terhadap gadis yang selalu berani mengejarnya. Nggak perduli berapa kali di tolak, tetap aja nempel kaya hama.
Wajah cantik dan menggemaskannya luntur karena keagresifanya yang buat Dimas muak.
Dimas berdehem, "jangan ada yang menyelas sebelum saya selesai bicara dan mempersilahkan kalian bertanya."
"PAHAM MASSSS!!!"
Liatkan? Padahal Dimas nggak ada bilang, paham? Tapi Hening denga pede dan senyum di buat-buatnya mengatakan paham mas dengan suara lantang. Hening mana perduli kalo satu kelas menahan tawa karena ucapannya, yang penting mas Dimas.
Pak Slamet geleng-geleng kepala melihat tingkah siswinya itu, "Hening." Tegurnya dengan suara kebapak-an.
Hening nyengir kuda, "saya cuma menimpali, biar mas Dimas nggak meras di anggurin."
Dimas yang mendengar itu meremas kuat kertas yang di pegangnya, sementara teman kuliahnya yang berdiri di sisi kanannya tersenyum kecil. Dia menatap Hening dengan jenaka, gadis cantik yang aneh tapi lucu.
Kombinasi yang langka.
Pak Slamet mengabaikan ucapan siswinya itu, lalu mempersilahkan Dimas menjelaskan kampus tempatnya menimba ilmu dan sekarang sudah berada di smester akhir. Sebenarnya ini bukan lagi tugasnya, tapi setiap promosi kampus ke Suka Sari maka dia lah yang di tunjuk.
Mungkin karena dirinya anak Suka Sari yang terkenal pintar memilik universitas tempatnya menimba ilmu.
"Seperti yang kalian tau Universitas BINA DIDIK sudah melahirkan banyak generasi Bangsa yang bermutu, kabar baiknya lagi banyak mahasiswa atau mahasisiwi berprestasi yang berasal dari desa tercinta kia ini. Oleh karena itu, saya mengajak adik-adik sekalian untuk tidak ragu melanjutkan pendidikkan lanjutan setelah lulus ke Universitas ini."
Kemudian dia melanjutkan, "kalian jangan ragu untuk mempercayakan Bina Didik sebagai ladang ilmu berikutnya. Di sana banyak yang siap membantu mulai dari pendaftaran sampai memilih jurusan sesuai minat dan bakat kalian. Jika ada kesulitan kalian bisa konsultasi dulu dengan kakak-kakak yang sudah terbentuk dalam organisasi khusus membantu calon mahasiswa dari desa Suka Sari. Adapun jurusan yang tersedia, kak Johanes akan menjelaskannya."
Dimas mempersilahkan temannya untuk bicara. Tugasnya memang memberi kata pembuka, sudah tiga tahun terakhir ini dia selalu bertugas sebagai pembicara inti, sekarang saatnya istirahat.
Johanes mengangguk lalu mengambil alih kelas, "sama seperti Univ lain, Bina Didik membuka semua jurusan, kalian bisa lihat di brosur yang akan di bagikan sebentar lagi." Dimas menyerahkan brosur pada ketua kelas untuk membagikannya pada yang lain.
"Sembari kalian baca, saya akan jelaskan system dan tata cara kuliah disana. Kalau ada pertanyaan silahkan di tanya," ucap pemuda tampan berwajah agak kebule-bulean itu.
Begitu brosur sampai di tangan Hening, gadi itu mendesah kecewa dengan suara yang cukup menarik perhatian semua orang. Dalam hati Bayu dan Nur, mereka menghitung mundur untuk melihat aksi Hening yang pastinya bakal buat malu empat belas turunan.
"Ada masalah?" tanya Johanes sopan. Hening menatapnya sekilas lalu mengangguk sambil kembali menatap brosur yang baru aja di terimanya.
"Bisa kasi tau dimana letak salahnya?" tanya Johanes lagi. Satu kelas memusatkan perhatian pada Hening termasuk Dimas.
"Kok nggak ada jurusan mengejar hati mas Dimas?"
Seisi kelas melirik kearah Dimas yang berdiri di dekat meja guru, mereka semua tahan napas karena merasa malu dengan pertanyaan Hening. Sudut bibir Johanes berkedut, cuma dia yang nggak paham dengan apa yang terjadi.
Bayu menendang kursi Hening tapi gadis itu nggak perduli, dengan tatapan penuh cinta dia menatap lurus mata Dimas yang sekarang menatapnya tidak suka.
"Aku butuh jurusan itu untuk mendapatkan hati mas Dimas yang sulit di raih."
Anjayyyy ….
Johanes langsung menoleh untuk melihat reaksi teman satu angkatannya itu, dia nggak tau kalo temannya ini punya pemuja garis keras. Kemana aja dia selama ini?
Ah … tentu aja nggak tau, taun-taun lalu kan gadis cantik itu baru kelas 1 dan 2, jelas aja nggak ketemu.
"Ning …." Geram Nur. Dengan ekor matanya dia bisa lihat Dimas sangat marah bercampur malu.
Dimas menatap temannya dengan dingin, "jangan hiraukan pertanyaan di luar jalur. Anggap angin lalu."
Johanes kikuk, temannya terlalu berlebihan menyikapi gombalan Hening. Itu menurutnya.
Hening yang lagi-lagi di ketusin cuma bisa senyum aja, udah biasa. Hatinya udah kebal.