webnovel

Hukuman Menggetarkan Hati

"Beraninya… Sekarang kau, kuhukum!"

Tubuh Anna seketika bergetar ketakutan kala suara bariton terdengar menyeramkan itu keluar dari pita suara Ryan laki-laki yang berada tiga meter jauh dari posisinya.

Peluh menetes dari pori-pori kulit Anna, tangan mengepal bergantian, terasa lembab di sana. Tidak bisa lari, atau berucap satu kata saja. Wajib diam! Bagaikan patung atau robot manusia!

Karena terakhir kali Anna ingat, lelaki yang kini berdiri, berkacak di pinggangnya itu memberikan ia kerja tiga kali lipat dari biasanya.

Walau tak memberikan hukuman fisik seperti memukul tubuh Anna, hukuman ini adalah hukuman paling menyakitkan baginya.

Anna sakit dua hari penuh, tidak bisa melakukan apapun, dan Ryan juga seolah tidak mempedulikan Anna dengan menanyakan keadaannya tapi memberi gadis itu obat dan memanggil dokter supaya Anna berangsur sembuh.

Itu pun dilakukan Ryan karena tidak mau rumahnya penuh kotor sebab Anna cuti sakit.

"Sudah berani memasuki kamarku sekarang, yaa."

Langkah tegas tanpa menggunakan alas kaki berhasil menguasai seisi ruangan yang memiliki luas tiga setengah kali lebih besar dari pada kamar Anna.

Ryan mendekat kepada Anna, sembari memberikan senyuman miring. "Cium aku, pelayan!" menekan kata 'pelayan', Ryan sekilas mencolek bibir Anna, dan berakhir menyentuh bibirnya.

Anna sontak membulatkan mata, ingin berkata, namun rasa takutannya berkali-kali lebih besar dari keberaniannya.

Lelaki itu mendekatkan kepala nya beberapa centimeter dari telinga Anna.

"Ada komentar?" sepertinya tahu pikiran Anna, segenap keberanian, Anna membuka mulut yang dalam hitungan jari mengatup bersuara.

"T-tuan…" ucap ragu Anna mengatakan isi pemikiran nya kini.

"Mau apa? Protes!" secara tiba-tiba, laki-laki itu menatapnya tajam.

"I-iya tuan… A-ak-aku."

"Katakan dengan lancar!" kesal Ryan.

"Aku tidak suka di cium oleh tuan. I-tu tidak baik," secepat kilat Anna menyuarakan pendapatnya.

Dalam wajah yang masih dalam posisi tertunduk, Ryan–nama lelaki berusia 23 tahun itu tiba-tiba tertawa sumbang.

"Hahahah!"

Anna mengangkat kepalanya sedikit menoleh, 'Tuan Ryan, dia kenapa? Apa yang salah? Bukankah sangat tidak pantas melakukan hal…' tidak berani melanjutkan kalimat hatinya.

Anna memasukkan semua sisi bibirnya dan mengatupkannya rapat-rapat.

"Tidak juga, saya hanya ingin mencoba bagaimana rasa bibir pelayan, seperti kamu! Mungkinkah lebih manis dari pada bibir kekasih menyebalkanku itu?"

Seakan tahu apa yang dipikirkan Anna. Anna kini merasa diintimidasi. Lelaki itu lagi-lagi mendekat pada Anna. Menatap puncak kepala Anna.

"Bukankah tuan Ryan… Memiliki pacar? Dan saya rasa, tidak sepantasnya saya dan tuan…"

'Dasar, pembantu yang tak tahu jalan pikiran tuannya. Menyebalkan!' Ryan berkata di dalam hati.

Ryan kembali berfokus pada Anna. Tidak ada tapi-tapian! Saya katakan sekarang 'ya, sekarang! Ini perintah!" ia meneriaki Anna.

Mencondongkan tubuh mendekat pada Anna, "Lagi pula, kamu sudah memasuki kamar saya. Melihat tubuh saya tanpa berkedip tadi. Apa arti lain selain keinginan kamu untuk 'mencicipi' tubuh saya!?" sedikit menggoda, tak apa. Itulah yang dipikirkan Ryan saat ini.

"Saya memberikan waktu bagi kamu untuk melakukannya. Apa lagi? Ayo, lakukan saja! Jangan munafik deh, kalau mau," lanjut pria itu dengan santainya tanpa memikirkan perasaan hati Anna yang ingin marah besar itu.

Hanya saja tertahan. Anna tidak mau memberontak terhadap pria yang sering membuatnya kewalahan dengan segalanya tingkahnya itu.

Walau jujur, Anna tidak mengerti maksud pembicaraan tuan Ryan-nya ini. Memberikan waktu untuk 'mencicipi' tubuh tuannya sendiri?

Ini merupakan hal tidak masuk akal bagi Anna!

Selain itu Anna tidak pernah memikirkan pemikiran buruk seperti yang ditunduhkan tuan Ryan padanya.

"Cepat, cium aku!" Ryan semakin mendekatkan, wajahnya kepada Anna.

"Tidak tuan! Itu perbuatan tak baik!" tolak Anna berteriak dengan suara nyaringnya itu, sembari mendorong tubuh Ryan yang seketika membatu, ia tidak percaya, 'Ternyata dia bisa juga berteriak ya,' begitulah isi pikirannya.

Anna segera berlari keluar dari kamar, meninggalkan Ryan dengan semua perintah di luar nalar Anna, si pelayan tunggal di Rumah super besar, megah dan mewah warisan orangtua Ryan.

Persetan dengan yang namanya hukuman. Mencium tuannya sendiri, atau orang lain sekali pun ia tidak pernah, Anna masih suci dan polos

Seperti ucapan orangtuanya, menyentuh tubuh lawan jenis sama saja seperti melakukan tindak pelecehan apalagi bagian mulut, dada, atau yang lebih dari sana.

Karena Anna lumayan tahu bagaimana cara kerja hasrat pria. Awalnya memang menbujuk manis, hanya ciuman.

Namun kemudian justru kebablasan, akhirnya Anna dirugikan di sini.

Kehilangan perawan, mau ditaruh di mana wajah Anna? Anna kemari kerjapun untuk membayar budi kepada keluarga Agrenisya. Keluarga Gearon, nama keluarga yang disandang Anna pernah berhutang budi dengan keluarga itu.

Memberikan kesempatan kedua buat ibu kandung Anna untuk hidup sungguh merupakan keajaiban dan anugerah.

Maka mau tidak mau Anna harus tetap bertahan, walau memang Anna sendiri tahu bagaimana peraturan kejam dan menyebalkannya Ryan yang sudah diterapkan pada hari-hari lalu.

"Dasar gadis konyol. Padahal aku hanya bercanda, hahaha. Sebegitu takutnya kah dia? Hey, seleraku lebih tinggi dari pada tubuhnya itu!" celetuk Ryan gemas. Pria itu kelihatan tertawa seakan puas dengan apa yang sudah ia lakukan pada Anna.

Berbalik badan, kembali tertawa walau sudah lewat delapan menit sejak Anna keluar dari sana.

Sepertinya tingkah Anna tadi cukup menghibur bagi lelaki dengan kejahilan luar biasa menakutkan bagi Anna itu.

***

Di dalam kamar.

Anna duduk sembari memeluk kaki di atas ranjang mini cukup untuk satu orang.

Menyembunyikan wajah di kedua sela lututnya, air mata menetes menyisakan isak tangis.

"Itu terlalu kejam! Hiks, hiks, hiks. Aku tak suka!" Ia menjambak kepalanya sendiri hingga rambut gadis itu tampak sangat berantakan.

Rasa kata-kata singkat yang keluar dari mulut Ryan memang selalu melukai hatinya.

Sama saja sebuah tuduhan melesat menusuk tubuh hingga tembus ke belakang.

Dan tempat paling tepat untuk mengadu hanyalah Kamar. Ia meraung sedih hingga air matanya habis membasahi satu selimut setiap harinya.

"Kamu sudah memasuki kamar saya. Melihat tubuh saya tanpa berkedip tadi. Apa arti lain selain keinginan kamu untuk 'mencicipi' tubuh saya!?"

Kata itu kembali menggema dalam pikiran Anna.

Sekali lagi Anna katakan, "Aku bukan perempuan seperti maksud terselubung dari kata-kata tuan Ryan! Sama sekali tidak!" ia berteriak sangat kuat. Menggeleng kepala seperti orang prustasi yang sebentar lagi menggila.

Pernah sekali Anna bertemu dengan salah satu pelayan di rumah seks, yang tak lain adalah temannya.

Temannya itu dijual ke sana karena ayahnya yang kejam memiliki hutang banyak. Tahu pun Anna mengenai semua informasi bagaimana lelaki berhasrat, karena memang begitu, awal bujukan, terlena dan DJAM! Tidur sekamar!

Anna tidak mau menjadi perempuan jenis itu.

Mengalalalkan segala cara supaya mendapatkan apa yang diinginkan.

Bukankah tuannya sudah memiliki kekasih? Untuk apa berpaling pada yang lain?

Apa sih sebenarnya yang menyebabkan semua ini?

Pikiran Anna begitu suntuk berpikir ke arah sana.

Tindakan pelecehan yang akan dilakukan Ryan padanya—yang lucunya 'meminta' apakah diperbolehkan.

Sepertinya Ryan hanya 'bermain'.

Tetapi bagi Anna, kata itu sungguh menjadi pertimbangan berat dalam otak buntunya.