Wili tampak sudah selesai dengan urusannya, dia berjalan mendekati posisi duduk Jeni sambil membawa obat dalam kantong yang ia jinjing.
"Ayo kita pulanh, Jen!" ajak Wili seraya meraih telapak tangan kekasihnya yang tampak lemas.
Jeni tak bisa menolak, ia memang tak bisa lama-lama berdiam diri di rumah sakit karena suasananya kurang cocok untuk berbincang dengan Wili. Ia berjalan di papah Wili. Lelaki tampan berkulit putih itu memang sangat perhatian dengan kondisi, Jeni.
Mereka kini sudah duduk di kursi mobil bagian depan, Jeni sudah bisa duduk setelah sebelumnya hanya berbaring.
Safety belt sudah dipasang dan Wili segera menyalakan mesin mobilnya bersiap akan pergi.
"Wil!" panggil Jeni saar Wili mulai melajutan kendaraan roda empatnya di jalan raya.
Wili menoleh seraya menaruh sebelah tangan kirinya di telapak tangan Jeni. "Kenapa?" Ia bertanya penuh rasa perhatian.
"Aku ingin mampir dulu," pinta Jeni mulai membuat alasan. Tentu ia tak ingin segera pulang karena Wili tak boleh melihat Jefri di rumahnya.
"Mampir kemana?" Wili tampak mengernyitkan dahi. Mana bisa mereka mampir-mampir sementara Jeni dalam keadaan sakit perut.
"Aku harus minum obat bukan?" Jeni pura-pura bertanya.
"Ya tentu, Jen! Obat ini harus diminum agar kamu cepat sembuh," balas Wili seraya memainkan kembali kedua tangannya di atas setir mobil.
"Tapi aku lapar, aku harus makan dulu. Di rumah tidak ada makanan apa-apa," rengek Jeni tampak manja. Sebenarnya perutnya masih terasa mules. Beruntung dokter sudah menyuntiknya sehingga rasa sakit pada perut Jeni tak terlalu parah.
"Take away kan?" Wili kembali bertanya.
Jeni menggelengkan kepalanya. "Makan di tempat saja. Dibawa pulang mana enak!"
"Tapi perut kamu masih sakit, Jen. Makan di rumah saja agar bisa sambil tiduran," balas Wili. Perhatiannya pada Jeni tak pernah terlewatkan.
"Tidak mau, Wil. Makan di tempat saja. Cepat menepi dahulu di rumah makan. Aku sudah tidak kuat, lapar sekali!" rengek Jeni kembali beralasan. Padahal, tak ada rasa lapar sedikit pun pada perutnya yang masih sedikit mules namun masih bisa ditahan.
Jeni meminta Wili dengan cepat agar kekasihnya itu segera banting setir mencari rumah makan yang nyaman.
"Iya, oke!" Wili tak bisa menolan permintaan kekasihnya yang memaksa. Tentu ia segera menepikan kendaraan roda empatnya itu di ssbuah restaurant amerika yang tak jauh dari rumah sakit.
Mereka berdua kemudian turun dari mobil dan tampak berjalan dengan bergandengan tangan, masuk ke dalam restaurant amerika lalu Wili segera memesan makanan kesukaan, Jeni.
Tuna Sandwich dan Pot Roast adalah makanan yang sering di pesan Jeni tatkala makan berdua dengan Wili di sela-sela waktunya. Wili selalu mengingat itu dan selalu tahu apa saja yang Jeni sukai.
Setelah memesan makanan, mereka kemudian berjalan mencari kursi yang nyaman, tentunya di ujung dekat kaca yang mampu memperlihatkan pasang maniknya pada pemandangan ke arah luar. Mereka duduk berdua di sana sambil sesekali Jeni menahan rasa sakit yang masih ada di perut bagian bawahnya.
"Sebenarnya kamu masih tidak, Jen?" Wili bertanya kembali untuk memastikan. Ia tampak khawatir dengan kondisi kekasihnya dengan raut wajah yang terlihat meringgis.
"Tidak terlalu, Wil. Aku hanya merasa lapar, setelah makan sepertinya akan kembali sembuh," elak Jeni berusaha mengukir senyuman. Ia tentu tak akan bisa membiarkan Wili mengantarkannya pulang sebelum ada kabar dari mamahnya mengenai keberadaan Jefri di rumahnya.
Selang beberapa menit tampak pramusaji menyiapkan makanan yang tadi dipesan di hadapan mereka berdua.
"Yummy! Mari kita makan!" Dengan segera, Jeni mulai menyantap makanan yang berada di hadapannya. Ia berusaha terlihat rakus di hadapan Wili agar kekasihnya itu percaya bahwa dia memang tengah lapar.
Sementara Wili, dia memang sudah tahu kalau Jeni senang makan dan akan selalu lapar di setiap beberapa jamnya. Sementara fostur tubuhnya yang ideal dan langsing sekali tak menampakkan kalau Jeni memang senang makan.
Dan yang terjadi dikediaman Jeni saat ini, Jefri masih tampak menunggu Jeni dengan sabar. sesekali ia memnaggil Karin untuk sekedar bertanya mengenai kepulangan Jeni padanya.
"Tante!" panggil Jefri dengan lantang.
"Iya, Tuan!" sahut Karin seraya berjalan ke depan memenugi panggulan duara Jefri. Ia merasa takut dengan degup jantung tang sedikit kencang. Bagaimana tidak, kenyataannya lelaki bertubuh tinggi dan kekar itu adalah ayah biologis dari janin yang tengah dikandung putrinya dan Karin tentu merasa cemas karena dia adalah kakaknya Wili.
Kisah rumit Jeni memang sulit dipahami oleh sepintas. Bahkan Karin merasa tak habis pikir dengan ulah putrinya itu. Namun, apalah daya semua telah terjadi sementara waktu memang tak akan bisa diputar kembali. Ia berusaha legowo dan membantu Jeni untuk menyelesaikan masalahnya. Sebagai seorang Ibu, Karin hanya ingin anaknya hidup tenang dan bahagia tidak seperti hidupnya yang terlanjur berantakan.
"Jam berapa Jeni akan pulang, Tante?" tanya Jefri tampak kesal. Ia sudah menunggu Jeni selama dua jam dan ini adalah hal konyol yang pertama kali dilakulan Jefri. Sebelum-sebelumnya, lelaki bertibuh tinggi itu tak pernah menunggu seseorang termasuk rekan bisnisnya. Seorang CEO seperti dia lebih sering ditunggu oleh orang lain. Namun kali ini nyatanya berbeda, sebuah kata cinta berhasil membutakan mata lelaki yang sudah beristeri itu. Ia tampak berusaha menunggu kepulangan Jeni walau pun hari sudah menjelang sore.
"Saya tidak tahi, Tuan. Hari ini Jeni banyak sekali tugas kampur yang membuatnya sedikit sibuk," jawab Karin kembali beralasan setelah sebelumnya menjawab dengan alasan yang sama.
"Oke! Saya akan menjemputnya ke kampus sekarang," tegas Jefri. Sepertinya ia memang tengah menyimpan suatu pembicaraan yang penting untuk Jeni sehingga membuatnya tak bisa menunda waktu lebih lama.
"Tapi, Tuan-,"
"Tidak apa-apa, saya akan ke kampus Jeni sekarang juga," potong Jefri dengan tekadnya yang keras. Ia tampak berjalan menuju kendaraan roda empatnya tanpa perduli saat Karin mencegangnya.
"Bagaimana inu kalau lelaki itu tak mendapatkan Jeni di kampus!" resah Karin berbicara sendiri saat Jefri telah berlalu menjauhi rumahnya.
Mobil mewah itu tampak melaju dengan kencang berniat segera menuju kampus yang dituju. Raut wajah Jefri terlihat berbalut emosi. Ia tak akan memaafkan hari yang buruk ini jika Jeni tak berhasil ia genggam.
Saat ditengah perjalanan, kedua bola mata Jefri berhasil menangkat mibil hitam yang tak asing dalam pandangannya. Mobil hitam itu milik Wili dan Jefri yakin itu. Ia segera menepikan kendaraan roda empatnya di sebuah restaurant amerika yang terdapat mobil Wili di depannya.
Perasaan Jefri berkata ada yang lain dari penampakan mobil Wili itu.
"Awas saja kalau sampai Jeni tengah bersama Wili! Akan aku beri pelajaran dia!" geram Jefri saat mesin mobilnya ia matikan. Ia kemudian keluar dari mobilnya dan berjalan menuju ke dalam restaurant amerika tersebut.