"Kalau ngomong itu yang jelas, Rania, jangan A I U begitu. Tinggal bilang saja kalau kamu takut aku apa-apakan, iya kan? Tapi kamu harus tahu satu hal, Rania. Aku bukan laki-laki yang doyan icip sana sini. Apalagi itu mencicipi pekerja sendiri," ucap Alva terselip kekesalan dalam perkataannya.
Rania langsung garuk-garuk kepala mendengar perkataan Alva. Bisa-bisa masa depannya terancam jika laki-laki itu marah. Apalagi Alva tidak mungkin melakukan apa yang Rania takutkan. Jadi seharusnya Rania tidak boleh berpikiran macam-macam tentang hal ini.
"Tidak, Tuan. Anda tidak benar. Saya hanya takut kalau Anda tidak percaya saja pada saya. Nanti kalau ada barang-barang Anda yang hilang, malah saya yang disalahkan," kilah Rania sambil cengengesan.
"Heh, kamu pikir apartemen milikku itu gubuk derita hingga tak ada cctv? Aku bisa memantau segalanya lewat cctv itu, termasuk melihat siapa yang menyentuh barang-barang ku," ketus Alva dengan delikan mata yang kentara kesal karena tahu kalau Rania hanya mencoba berkilah saja.
Kembali, Rania hanya bisa nyengir mendengar perkataan Alva. Kali ini dia tidak bisa menghindar lagi dari lelaki itu.
"Baiklah, Tuan. Malam ini saya akan menginap di apartemen bersama Anda. Tapi saya harus pulang dulu untuk mengambil baju. Saya …."
"Tidak usah mengatakannya, aku sudah tahu apa yang harus aku lakukan," ketus Alva memotong perkataan Rania.
Rania langsung mengerucutkan bibirnya mendengar perkataan Alva. Laki-laki yang menjadi bosnya itu memang sangat-sangat menyebalkan.
Perkataannya selalu pedas dan juga selalu semaunya sendiri. Rasanya, Rania benar-benar ingin menggeplak kepala pria itu.
Hanya saja, kelebihan Alva bagi Rania adalah laki-laki itu yang impoten. Rania tidak akan takut terjebak dalam cinta bosnya lagi. Meskipun Alva masih belum memiliki pasangan seperti mantan bos-nya yang lain, namun tetap saja Rania enggan menjalin kasih dengan atasan.
Kalau sudah terlibat cinta, tak akan ada lagi kata profesional. Semuanya akan melibatkan perasaan dan itu adalah hal yang paling menyebalkan. Rania bukan wanita yang akan memanfaatkan suatu hubungan demi mencapai impiannya. Apalagi ini tentang masalah percintaan.
"Turun!" titah Alva membuatkan lamunan Rania.
Gadis itu langsung menoleh pada Alva dengan tatapan yang penuh dengan berbagai pertanyaan.
"Kenapa malah menatapku seperti itu? Bukankah kamu ingin mengambil bajumu, jadi ayo turun!" titah Alva lagi.
"Memang ini di mana?" tanya Rania clingukan.
"Ckckck … kamu itu ternyata selain menyebalkan, lelet juga! Tentu saja ini di apartemenmu. Bukannya kamu memintaku mengantarmu untuk mengambil baju dulu, Hem? Lalu kenapa kamu malah bertanya ini di mana?" ketus Alva geleng-geleng kepala.
"Benarkah? Tapi saya belum memberitahu Anda tentang alamat apartemen saya," ucap Rania kebingungan.
"Ya sudah, kamu lihat saja sendiri ini apartemen kamu atau bukan! Cepat turun!" titah Alva kesal karena Rania masih saja bertingkah menyebalkan menurutnya.
"Hem, baiklah."
Tak punya pilihan, akhirnya Rania turun dari mobil untuk memastikan jika di depan mereka itu benar-benar apartemen yang dia tempati atau bukan.
Jujur saja Rania tidak percaya dengan apa yang Alva katakan mengingat Rania tidak pernah membagi apa pun tentang ranah privasinya termasuk alamat tempat tinggalnya.
Namun, begitu turun mata Rania langsung membeliak kaget. Di depannya benar-benar apartemen yang dia tinggali selama ini. Entah dari mana Alva tahu di mana selama ini dia tinggal.
"Hey kenapa diam lagi? Ayo mauk dan ambil bajumu! Aku tidak ingin terus berlama-lama di sini," ketus Alva kembali mengagetkan Rania.
"I-iya."
Gegas Rania melangkahkan kakinya memasuki gedung menjulang tinggi di depannya itu. Bahaya kalau sampai Alva marah lagi padanya.
Namun, begitu akan menutup pintu lift, Rania terpaku melihat Alva yang malah mengikutinya.
"Kenapa?" tanya Alva heran melihat Rania menatapnya dengan tatapan yang begitu aneh.
"Tuan ngapain ngikutin saya? Saya kira Tuan akan menunggu di mobil," ucap Rania segera menekan tombol lift untuk menghindari bersitatap dengan Alva.
"Memang kamu pikir aku sopir taksi yang harus menunggu di mobil? Enak saja!" gerutu Alva penuh kekesalan.
"Bu-bukan begitu, Tuan. Saya hanya …."
"Sudahlah, kamu tidak usah banyak bicara. Lagipula aku ikut bukan karena ingin berbuat macam-macam padamu. Aku hanya ingin melihat semewah apa apartemen sekretaris baruku ini," potong Alva tak ingin Rania lebih banyak bicara.
Rania hanya menghela napas sembari menganggukan kepala. Memang tidak ada yang bisa menawar keinginan Alva. Apa pun itu, Alva selalu mempunyai jawaban untuk mematahkan perkataan orang lain. Jadi Rania lebih memilih mengalah dari pada semuanya menjadi semakin runyam.
Tidak tahu saja Rania jika sebenarnya sebenarnya alasan Alva mengekor Rania, tentu saja karena dia masih terbayang-bayang adegan film horor tadi. Membayangkan ditinggal sendirian di mobil membuat Alva bergidik dan lebih memilih mengekor wanita itu saja.
Meskipun Rania akan menganggapnya aneh, namun Alva tidak peduli. Toh dia punya seribu alasan jika Rania berani mempertanyakan kelakuan anehnya saat ini.
Ting.
Suara pintu lift yang terbuka, membuyarkan lamunan Alva. Begitu melihat Rania sudah berjalan lebih dulu, buru-buru Alva menyusul wanita itu.
"Hey, kau ingin aku tersesat sampai nyelonong begitu saja enggak ngajak-ngajak?" tanya Alva benar-benar geram dengan kelakuan Rania.
Rania langsung menoleh dengan tatapan yang dipenuhi tanya.
"Maksud Tuan apa? Bukannya barusan saya sudah ngajak Anda?" ucap Rania kebingungan.
'Benarkah? Apa aku terlalu memikirkan hantu itu hingga tak mendengar ajakannya?' batin Alva dipenuhi tanya.
"Alasan saja kau itu! Kau pikir aku budeg, begitu? Benar-benar sekretaris menyebalkan!" gerutu Alva menyembunyikan rasa malunya dengan tetap menyalahkan Rania.
Terdengar helaan napas kasar dari bibir Rania. Sepertinya wanita itu cukup jengkel dengan kelakuan Alva yang lumayan menyebalkan. Namun apalah daya, mungkin ini memang kelebihannya bekerja dengan sosok bos unik seperti laki-laki itu.
"Heh, kenapa diam saja? Cepat tunjukan di mana unit apartemen milikmu? Aku sudah lelah terus berdiri," teriak Alva kesal karena Rania malah mematung.
"Ah, iya. Maaf, Tuan."
Rania pun segera mempercepat langkahnya menuju apartemen miliknya. Begitu sampai, Rania segera memasukan password untuk membuka pintu.
Begitu pintu terbuka, dengan senyuman yang dibuat semanis mungkin, Rania segera mempersilahkan Alva masuk ke dalam.
"Ternyata apartemen kamu tidak buruk juga. Tapi untuk ukuran wanita ini masih jorok. Lihatlah, pakaian kotor berserakan di sofa. Bahkan bekas makanan pun masih ada di atas meja," decak Alva geleng-geleng kepala melihat apartemen Rania yang cukup berantakan.
"Maaf Anda harus melihat pemandangan ini, Tuan. Tadi pagi saya …."
Ctek!
"Rania! Kenapa lampunya mati? Kamu di mana, Rania?" jerit Alva bagaikan anak kecil.
"Tuan tenanglah, mungkin hanya ada pemadaman listrik jadi …."
Grab!
"Jangan jauh-jauh, aku takut!"