webnovel

Jejak Masa Lalu

"Jika kau ingin memulai hidup yang baru, lupakan bayangan masa lalumu!" Ya, kata itu memang sangat mudah diucapkan oleh semua orang termasuk diriku sendiri ketika menyadari untuk memulai kehidupan baru di masa depan. Tapi nyatanya...

Michella91 · Adolescente
Sin suficientes valoraciones
287 Chs

Disaat hujan lebat

Aku memasuki kamar dengan membanting pintu. Kuhempaskan tubuhku di atas kasur dengan kesal sembari memeluk erat boneka pemberian Choco padaku.

"Kenapa ibu begitu kesal dan tidak merestui Choco jadi pacarku? Hanya karena dia anak dari kota? Apa yang salah dengan itu semua?" aku mulai menangis sambil memeluk erat boneka pemberian Choco.

"Kita baru saja bertemu setelah dua bulan berpacaran, semua terasa begitu singkat. Andai aku bisa memintamu untuk tetap disini, bersamaku, sebentar saja. Aku masih ingin membuktikan pada ayah dan ibuku, jika kau memang laki-laki yang baik."

Aku menangis tertahan, begitu sesak du dalam hati, rasanya ingin berlari mengejar Choco. Tapi, apakah aku begitu mencintainya? Apa itu cinta?

Di tengah kesedihanku, ponsel yang sejak tadi kutinggalkan begitu saja di kasur bergetar. Sebuah panggilan telepon dari Choco, aku tersentak dan segera mengatur suaraku yang baru saja menangis.

"Halo," jawabku singkat.

"Eng, Rose. Kau, kau menangis?" tanya Choco langsung menyadari suaraku yang terdengar serak.

"Tidak, aku baik-baik saja. Barusan mendadak aku bersin," jawabku memberi alasan konyol.

"Tidak! Aku tahu kau sedang menangis."

Aku terdiam sejenak. Kenyataannya, aku memang sedang menangis. Belum lagi sempatku jawab, terdengar rintikan hujan dari luar jendela kamarku. Hujan turun begitu lebatnya hari ini, sangat lebat.

Hah, langitpun tahu. Hatiku sedang menangis pilu, iya bukan?

"Ya ampun, hujan!" Choco tampak kebingungan dan pelan kudengar dia mulai mencari-cari kak Janet dan seperti sedang kebingungan.

"Halo, Choco. Ada apa?" tanyaku kembali bersuara.

"Ah, ya? Oh, itu. Hujannya begitu lebat, aku hanya bingung bagaimana aku akan kembali ke kota jika hujan begini lebatnya, akh... Sepertinya Tuhan mendengar doamu," jawabnya tiba-tiba.

Aku mengernyit sambil mengeratkan genggaman ponsel di tanganku.

"Apa yang kau bicarakan, Co?"

"Aku tahu, Rose. Kau masih ingin bicara denganku, kau tadi terlihat gelisah dan berat membiarkanku pergi begitu saja dari hadapanmu."

Akhirnya, air mataku kembali mengalir deras. Sederas hujan yang turun lebat hari ini.

"Bisakah kau tunggu sebentar? Aku masih ingin menemuimu sebelum kau benar-benar pergi. Ada yang belum sempat aku katakan padamu, aku ingin mengatakannya hari ini."

"Ehm, tapi Rose, bagaimana kau mau menemuiku sedangkan saat ini hujan turun begitu lebat. Jika kau benar-benar masih ingin menemuiku lagi, biarkan aku yang datang ke rumahmu saat ini juga."

"Choco, tunggu! Please, pergi. Tunggu aku disitu, aku yang akan datang menemuimu."

Klik!

Tanpa menunggu tanggapan dari Choco lagi, aku mematikan panggilan teleponnya.

Ya, aku harus menemui Choco kembali. Aku ingin mengatakan bahwa aku bersungguh-sungguh mencintainya, aku harap dia benar-benar mau menjaga hubungan ini meski kita berada di jarak yang jauh nantinya. Aku tidak peduli bahwa ayah dan ibu akan menentang hubungan ini.

Aku segera beranjak keluar kamar, kulihat ibu masih duduk di ruang tamu bersama ayah memandangi turunnya hujan.

"Bu, aku... Bolehkah aku pergi ke luar sebentar?" tanyaku dengan gugup. Sontak ibu menolehku seketika setelah mendengar suaraku.

"Mau kemana lagi, Rose? Sedang turun hujan lebat di luar. Ibu tidak akan mengizinkan!" jawab ibu tegas.

"Ibu, Rose mohon... Biarkan Rose pergi, sebentar saja, Bu. Sebentar, aku janji hanya sebentar." aku memohon pada ibu dengan wajah memelas.

Ibu terdiam sejenak menatap tajam wajahku.

"Rose, apa kau baru saja menangis? Apa kau ingin pergi untuk menemui anak kota itu, jangan bodoh, Nak. Ibu tidak akan mengizinkannya!"

Aku tertunduk dengan derai air mata di depan ibuku sendiri. Entah kenapa ibu begitu keras hati, selama ini kami seperti sepasang sahabat, kakak beradik, dan kadang juga seperti teman baik. Tapi kenapa?

"Bu, sebentar saja..." lirihku kembali.

Ayah yang sejak tadi berdiri menatapku disisi ibu, memanggil ibu dengan nada memohon. Ayah memang selalu terbaik dan paling peka.

"Istriku..."

"Tidak, Pak! Ibu tidak akan membiarkan anak kita bertemu dengan anak kota itu, lagi pula sedang turun hujan lebat di luar. Apa kau tidak melihatnya?" cetus ibu dengan tegas.

Yah, sepertinya ini percuma. Aku tahu, ibu tidak akan pernah mengizinkannya. Aku ingin berhenti menangis, tapi kenapa air mata ini terus saja mengalir dan membuatku begitu sesak.

"Rose!" panggil ibu.

Aku masih terdiam menundukkan wajahku dengan isakan tangis.

"Rose! Lihat ibu!" hardiknya dengan nada tinggi.

Seketika aku menolehnya dan menatap wajah ibu.

"Hah... Apa kau sungguh jatuh hati pada laki-laki itu, Rose?" tanya ibu sekali lagi.

"Iya, Bu. Aku jatuh hati padanya, bahkan sebelum kami bertemu aku sudah mencintainya. Apakah itu salah, Bu? Aku tidak pernah meminta untuk mencintainya, andai aku bisa memilihnya, Bu."

Ibu tertegun dengan tatapan yang begitu dalam padaku. Aku tahu, ibu kecewa, ibu juga marah, mungkin ibu juga ingin mengamuk, tapi berusaha menahannya.

"Pergilah!" ucap ibuku.

Aku memelototinya. Benarkah apa yang baru saja kudengar? Ibu mengizinkannya.

"Bu..."

"Ibu tidak mau mendengar apapun lagi, pergi saja!" sahutnya lagi seraya memalingkan muka dariku.

Aku melirik wajah ayah yang juga menatapku. Lantas ayah mengangguk padaku, tanda bahwa aku benar-benar diizinkan.

Dengan sekuat tenaga aku berlari keluar ruangan dan menembus hujan yang begitu lebat. Aku tidak mau tahu, setelah ini apa yang akan terjadi padaku.

Aku berlari tanpa memikirkan apapun lagi, tujuan dan harapanku saat ini hanya satu. Aku harus bertemu Choco dan menyatakna ungkapan hatiku, sebelum nantinya dia akan pergi jauh dariku.

Choco, tunggu aku!

Namun, sungguh! Aku tidak tahu harus berkata apa lagi, di tengah perjalanan saat aku berlari di bawah lebatnya hujan datang, seketika hujan mereda dengan sendirinya.

Aku tak peduli tanpa mau berhenti sejenak. Hanya gerimis yang menemani langkahku menerjang air yang sedikit menggenang di tengah perjalanan.

Jarak dari rumahku ke rumah kak Janet hanya membutuhkan waktu 20 menit perjalanan. Dan ini sungguh sulit kupercaya, aku berlari sepanjang jalan.

Begitu sampai di rumah kak Janet. Aku melihat Choco berdiri dengan cemas di temani kak Janet dan suaminya.

"Choco..." panggilku lirih dengan suara terengah-engah.

"Rose! Kau benar datang?" Choco menghampiriku sembari langsung memelukku di depan kak Janet dan suaminya.

"Hem, aku sudah bilang kan, aku akan datang menemuimu lagi sebelum kau kembali ke kota."

Choco menatapku dengan tatapan pilu, lagi-lagi dia memeluk tubuhku yang sedikit basah kuyup karena hujan tadi.

"Kalian membuat kakak sedih, ya sudah... Kalian bicara saja dulu, kami tinggalkan kalian berdua," ujar kak Janet kemudian.

Aku sedikit malu mendengarnya kak Janet berkata demikian seolah dia sudah mengetahui kami masih butuh waktu berdua saja.