webnovel

Make Me Blushing Like Boiled Crab

Di saat tubuh Kamila tiba-tiba tumbang dengan dia yang nyaris tersungkur ke atas tanah. Jay spontan berdiri melingkarkan lengan kekarnya, ke perpotongan pinggang wanita itu guna menyanggahnya. Plukkk! Kamila telah mendarat di dada Jayden.

Ia bahkan sesekali menggerakkan kepalanya untuk mencari titik kenyamanan. Sementara Jay yang belum memahami situasi ini, memilih untuk mengarahkannya ke kursi. Wajahnya jelas diserbu kebingungan terbukti dari raut yang berkerut beberapa kali, "Mil.. Mil... bangunlah!" Panik Jay ketika menepuk-nepuk pipi wanita yang tidak sadarkan diri.

Jayden tidak pernah membayangkan bagaimana dirinya mati sebelumnya. Hanya saja, ketika ia di hadapkan pada kondisi di mana bahunya dijadikan bantal tidur. Dia yakin, bahwa sebentar lagi ia akan berubah jadi fosil lantas di pindahkan ke Museum Ternama yang ada di Jakarta.

Iya sejauh itu pikiran Jayden. Apalagi ketika senja dengan semburat oranye mulai terlukis di langit, lalu angin khas sore hari telah menggelitik ke permukaan kulit, tepat saat ia tidak merasakan lagi eksistensi bokong padatnya di sana.

Akhirnya di sela-sela kewarasan yang tersisa, Jay baru berinisiatif untuk menelepon Jeffrey. Mengapa tidak sedari tadi saja? Lima belas menit berselang. Mereka; Jeffrey dan Laura menampakan diri dengan raut yang tidak kalah pusingnya. "Kalian dari mana saja sih?" Jay bertanya lesu.

Ya ampun! Laura rasanya ingin menjadi psikopat saja hari ini, melihat Kamila sedang terlelap dalam damai di waktu yang salah, benar-benar membuat saraf jengkelnya terpanggil maksimal, "Kak! bangunlah..." Laura berkoar di telinga seraya mengguncang pelan punggung wanita tersebut.

"Sampai negara kita tercinta ini, terbebas dari korupsi-pun, ia tidak akan bangun Laura..." Jay menjawab sebuah penggambaran nyata betapa lamanya ia berada di sini. Tentu saja, karena dia juga sudah mencoba membangunkan Kamila beberapa kali. Hingga akhirnya menyerah dan berpasrah merelakan pundaknya.

***

Terdengar sayup-sayup suara yang mengusik tidur, membuatku refleks membuka mata perlahan. Anehnya, harum maskulin langsung menabrak hidung tanpa ampun setelahnya, dengan mata memicing, masih menyesuaikan sensor cahaya aku mendapati Adikku yang membungkuk.

Jeffrey yang berdiri tegak namun dengan mimik seolah telah dilempar bola jeruk diatas kepalanya—heran. Arrgh! Kepalaku pusing saat menyadari ini masih di taman. Jujur, sekujur tubuhku terasa pegal luar biasa kemudian astaga! Aku segera bangkit dan duduk tegak dari sandaran bahu lebar Jayden.

Mataku masih mengerjap. "Sudah ku bilang berhenti meminum obat tidur, kenapa ngeyel sekali kalau dilarang huh?" Adikku itu memancarkan sorot jenuh dengan wajah tertekuk.

"Apa aku tertidur?" Mataku terbelalak sempurna sejak mendengar kronologi yang terjadi, dari mereka. "Kau ceroboh!" dingin Jeffrey.

Dia mengajak kita semua pergi dari taman menuju Kopi Palace Sky setelah beberapa obrolan ringan terjadi. Kita semua tertawa puas di sepanjang perjalanan, meskipun sebagian besar isinya mereka murka berkat tindakan serampanganku.

Sesampainya di dalam kedai aku segera meniti anak tangga guna sampai di lantai dua, "Kak... Aku akan membeli makanan dulu." Teriakan lantang Laura terdengar dari bawah sana. Aku sudah membulatkan tekad untuk mandi sesegera mungkin. Sepuluh menit kemudian.

Bahagianya setelah mandi astaga! rasanya wangi, segar dan menenangkan jiwa menurutku.

"Pergilah bermain! Tutup saja lebih awal..." suruhku pada Zaky dan Putri.

Sedari tadi mereka hanya menatap sendu area jalan di depan sana, yang kebetulan kini sedang menggelar Food Festival And Social Charity. Acara yang isinya didominasi oleh kaum millenial dengan tujuan hiburan dan penggalangan dana. Zaky tampak ragu seraya berkata, "Mana bisa kami begitu kak..."

Setelah beragam penjelasan kulontarkan secara rasional, sebab intensitas pengunjung yang sudah menyepi aku meyakinkan mereka untuk pulang lebih awal. Mereka tampak senang bahkan sejak punggungnya menghilang di balik pintu beberapa menit lalu.

"Berikan aku kopi yang kemarin!" Nyaris saja aku melupakan kehadiran Jay jika ia tidak bersuara dengan baritonnya barusan, "Baiklah tunggu sebentar," balasku tanpa beban. Sembari sekilas melirik wajah Jay yang sedang duduk, dengan raut yang tidak terdefinisi lagi. Aku tarik nafas panjang saat menyiapkan kopi tersebut.

Teringat juga lamanya Jay menjadikan bahunya sebagai sandaran tidurku. Kenapa harus tidur dipundaknya sih? Tidak. Mengapa semuanya jadi membingungkan, senyumku tiba-tiba hadir begitu saja.

Hito, jangan biarkan aku terjerembab ke lain hati. Kumohon kabari aku sesegera mungkin, agar aku bisa menjaga cincin serta janji kita yang telah di rangkai begitu lama ini.

Aku berjalan menuju kursinya, lalu menaruh kopi di depannya. Jayden datar sekali ketika mencicipi itu. "Bagaimana?" tanyaku. Bibir Jayden berdecak beberapa kali sebelum tersenyum kecut dan menatapku. Sikap tanpa kejelasan itu membuatku gemas dan menarik kursi guna duduk disampingnya, barangkali dia tidak mendengar ucapanku begitu.

Jayden masih saja berada di mode menatap. Sedangkan aku merasa tidak enak padanya karena terlalu sering membantuku, hingga membuatku merasa bersalah untuk itu. Sekarang aku meminta pendapat tentang minuman buatanku, "Bagaimana rasanya menurutmu?" Aku menatap kopi itu.

Dia mencoba lagi untuk yang kedua kalinya, namun aku tidak menemukan ekspresi apapun disana. Baiklah! Kopi 'Cold Brew' yang diilhami dari kedinginan seorang Jayden ini, harus diberi kejelasan apakah aku akan memasukannya ke daftar menu atau tidak.

Karena jujur, kemarin kupakai biji kopi baru yang berbeda dari kopi biasanya yang kujual. Jadi aku perlu pendapatnya, "Bagaimana?" desakku kesekian kalinya.

"Kalau begini bagaimana?" Jayden malah menjauhkan kopinya, mataku membulat karena rasa kejut, jantungku berdentum dengan kacau saat sedetik lalu Jayden meraih pinggang dan mengangkatku menuju meja. Pantas saja ia tadi memindahkan gelas yang setengah penuh itu kemeja sebelah kanan.

Jagat yang kutinggali sekarang terasa berhenti berputar. Caranya menatapku, hingga membuat manik kami menyelam satu sama lain benar-benar membuatku kehilangan pijakan. Yah jelas, kakiku memang menggantung jauh dari lantai.

Lantunan lagu A Thousand Years yang romantis, mendadak terputar di radio kedai. Ya ampun! dari jarak seperti ini Nathan terlihat berbeda sekali lebih... lebih mematikan.

Surai hitam legam yang diberi sapuan pomade dengan tatanan poni yang disisir ke belakang.

Kemudian menampilkan kening dengan hidung tegasnya itu, membuat kinerja pompaan darahku aktif sekali. Aku melakukan upaya pembebasan diri.

Namun kedua kaki-ku tidak sanggup bergerak lagi, sebab ia menghimpit dengan kuat diantara tungkainya sendiri. Tanganku? Langsung keduanya ditahan Jayden.

Entahlah rasanya imanku tidak setebal itu untuk membangun reaksi; semacam tamparan, dikala pikiranku telah terhipnotis jauh.

Jayden sedikit mendongak padaku ketika kembali mengulang kalau."Aku harus bagaimana jika kau menatapku seperti itu." Kini giliranku yang berkeluh, sebagai upaya agar Jayden berhenti.

Berhenti membuatku menjadi aneh.

"Tenang dan diam saja sekarang," Dia berkata seperti itu sebelum menarik senyum simpul, hingga manik bulatnya tenggelam dan membentuk lengkungan sabit. Aku spontan tersenyum.

Perlahan namun pasti ia mulai mengikis jarak hingga membuat senyum di antara kami memudar. Tangan yang ia gunakan untuk menahan ke dua lenganku sepertinya telah bebas seutuhnya.

Wajahnya kian mendekat. Selagi fokus memperhatikan arah geraknya, sepertinya terasa jika pipiku sudah memerah seperti kepiting rebus sekarang. "Kamila..."

Bersambung...