webnovel

Janji Suci Yang Ternoda

Lentera_Hati · Ciencia y ficción
Sin suficientes valoraciones
15 Chs

Bab 8

Sebulan sudah usia pernikahan Devian dan Nadine, selama sebulan sikap Devian jauh lebih baik dari sebelumnya. Namun, berbeda dengan Nadine, justru ia terlihat menghindari sang suami. Semenjak dokter menyatakan jika dirinya mengidap penyakit leukimia, Nadine tidak ingin perasaan sayang dari suaminya itu tumbuh. Karena ia tahu jika dirinya nanti akan pergi meninggalkan Devian untuk selamanya.

Bulan ini Nadine berniat ingin melakukan kemo, tetapi ia tidak punya alasan agar bisa pergi dari rumah. Sementara saat ini kedua orang tuanya berada di Jawa di rumah nenek dan kakek Nadine. Wanita berjilbab itu sudah pasrah dengan takdirnya, tetapi ia masih ingin lebih lama lagi mendampingi suaminya. Walaupun rasa cinta itu belum tumbuh dari Devian, justru itu yang terbaik menurut Nadine.

"Mas, aku mau minta izin. Aku pengen berkunjung ke rumah bunda, apa boleh?" tanya Nadine dengan sangat hati-hati. Saat ini mereka tengah menikmati sarapan pagi bersama.

Devian terdiam sejenak. "Bukannya ayah sama bunda tidak ada di rumah."

"Em, iya. Nanti aku akan .... "

"Kamu tidak boleh pergi," potong Devian dengan cepat, setelah itu ia bangkit dan beranjak dari meja makan.

Nadine menghembuskan napasnya, harapannya untuk pergi telah gagal. Setelah itu Nadine bangkit lalu membawa jas serta tas kerja milik suaminya itu. Wanita berjilbab merah muda itu menyerahkan jas tersebut pada Devian, setelah penampilannya rapi. Devian bergegas untuk pergi ke kantor, tak lupa Nadine mencium punggung tangan suaminya itu.

Mobil BMW i8 sudah melesat meninggalkan halaman rumah mewah milik Devian. Setelah mobil menghilang dari pandangan mata, Nadine memutuskan untuk masuk kembali ke dalam rumah. Wanita berjilbab itu berjalan menuju meja makan, ia akan membereskan piring serta gelas yang kotor. Tentunya dengan dibantu oleh bi Mirna.

***

Di kantor Devian terlihat begitu sibuk, jemarinya tengah berkutat di papan keyboard. Matanya menatap layar komputer yang menampilkan hasil laporan keuangan di bulan ini. Selang beberapa menit, pintu ruangan terbuka. Amara masuk dengan membawa beberapa berkas yang harus Devian tanda tangani. Amara berjalan menghampiri Devian dan duduk di kursi yang telah tersedia.

"Ada apa?" tanya Devian, tetapi matanya tetap fokus pada layar komputer.

"Ada berkas yang harus kamu tanda tangani." Amara meletakkan berkas tersebut di hadapan Devian.

Devian menghentikan aktivitasnya, pria berkemeja putih itu mengambil berkas itu dan memeriksanya terlebih dahulu. Setelah diperiksa, ia segera menanda tanganinya. Selesai ditanda tangani Devian menyerahkan berkas tersebut pada Amara. Wanita berambut sebahu itu tersenyum seraya menerima berkas yang Devian sodorkan.

"Oya, satu jam lagi meeting dimulai, Dev." Amara merapikan berkas yang telah selesai Devian tanda tangani.

"Ok, kamu persiapan saja semuanya," ucap Devian.

"Iya, ya sudah aku kembali ke ruanganku." Amara bangkit dan beranjak keluar dari ruangan Devian.

Setelah Amara keluar, Devian akan kembali melanjutkan pekerjaannya sebelum meeting dimulai. Namun belum sempat tangan Devian menyentuh papan keyboard komputernya itu, tiba-tiba handphonenya berdering. Takut ada yang penting, Devian meraih benda pipih miliknya itu, dan membuka isi pesan yang terkirim.

@Nadine

[ Assalamualaikum, Mas aku minta izin mau pergi ke rumah Ayu, teman kuliahku. Bolehkan ]

@Devian

[ Wa'alaikumsalam, mau ngapain ]

@Nadine

[ Aku bosen di rumah terus, boleh kan Mas ]

@Devian

[ Ok, tapi sebelum jam lima sore kamu sudah harus di rumah ]

@Nadine

[ Iya, Mas. Terima kasih ya, assalamualaikum ]

@Devian

[ Wa'alaikumsalam ]

Devian kembali meletakkan ponselnya, ia terdiam sejenak. Memang selama ini Nadine tidak pernah pergi kemana-mana, istrinya itu pergi hanya untuk beli barang kebutuhannya saja, itupun hanya sebulan sekali dan selalu pergi di antar oleh dirinya. Jadi menurut Devian tidak ada salahnya jika mengizinkan Nadine untuk pergi ke rumah sahabatnya itu.

Setelah itu, Devian kembali melanjutkan pekerjaannya, sebelum meeting dimulai. Pria berkemeja putih itu kembali berkutat di papan keyboard, masih ada beberapa pekerjaan yang belum sempat Devian selesaikan. 

***

Di sebuah kamar apartemen sepasang kekasih baru saja selesai dengan aktivitas terlarangnya. Alexa masih duduk di atas ranjang, dengan menyenderkan kepalanya di punggung ranjang tak lupa selimut tebal masih membungkus tubuhnya yang polos. Sementara itu, Juan kekasih Alexa sudah rapi dengan kemeja berwarna hitam yang dipadukan dengan celana warna senada.

"Bagaimana hubungan kamu dengan pria bodoh itu? Apa kamu berhasil membuatnya jatuh cinta lagi kepadamu?" tanya Juan.

"Pria bodoh? Maksudmu Devian?" tanya Alexa.

"Iya siapa lagi." Juan menjatuhkan bobotnya di samping Alexa.

Alexa tersenyum. "Iya dia memang pria bodoh yang dengan mudah aku taklukkan."

"Kamu memang hebat. Oya, aku pergi sekarang ya." Juan mencium kening Alexa dengan lembut.

"Ini untukmu. Terima kasih untuk siang ini, kamu sudah memuaskanku." Juan menyerahkan amplop berwarna coklat. Alexa menerimanya dengan tersenyum.

"Sama-sama, Sayang. Hati-hati, ya," ucap Alexa dan dibalas dengan anggukan oleh Juan.

Juan menyambar jas dan kunci mobilnya, pria berkemeja hitam itu bergegas keluar dari apartemen milik Alexa. Keduanya sudah menjalin hubungan sebelum Alexa kembali ke Indonesia. Devian sama sekali tidak tahu jika mantan kekasihnya itu telah memiliki kekasih baru. Setelah Juan pergi, Alexa beranjak dari ranjang dan masuk ke dalam kamar mandi untuk membersihkan diri.

Sekitar tiga puluh menit Alexa sudah rapi dengan dress mini berpadu brokat berwarna biru tua untuk bagian atas, serta bagian bawah berwarna putih, dengan panjang di atas lutut. Setelah penampilannya sempurna, Alexa akan bersiap-siap untuk pergi. Tujuannya saat ini untuk menemui Devian, entah apa yang akan Alexa lakukan.

"Devian, kalau aku tidak bisa memilikimu lagi. Maka aku tidak akan membiarkan hidupmu bahagia," gumam Alexa. Kakinya melangkah keluar dari kamar apartemen miliknya.

Kini Alexa sudah berada di mobilnya, perlahan mobil yang ia naiki berjalan meninggalkan basemant apartemen yang ditempatinya. Alexa terus fokus untuk menyetir, tetapi tidak dengan otaknya. Pikiran Alexa selalu tertuju pada Devian, andai saja dulu ia tidak memilih untuk pergi, mungkin saat ini mereka sudah hidup bahagia.

***

Mobil Mercedes Benz GLE-Class berwarna putih berhenti di pelataran kantor milik Devian. Selang lima menit, seorang wanita cantik dengan penampilan yang sangat seksi itu turun dari mobil tersebut. Wanita itu adalah Alexa, setelah turun bergegas Alexa berjalan masuk ke dalam gedung yang berada di hadapannya itu. Banyak pasang mata yang terus memperhatikannya, tetapi Alexa sama sekali tidak perduli.

"Maaf, Mbak. Pak Devian ada di ruangannya apa tidak?" tanya Alexa pada pegawai resepsionis.

"Maaf, Bu. Pak Devian sedang keluar untuk makan siang," jawab pegawai resepsionis tersebut.

"Oh, udah lama apa belum," sahut Alexa.

"Belum, Bu. Sekitar sepuluh menitan," balas pegawai resepsionis.

"Oh, ok." Alexa tersenyum, dan segera beranjak meninggalkan kantor milik Devian.

Setibanya di parkiran, Alexa segera masuk ke dalam mobilnya. Perlahan mobil melaju meninggalkan pelataran gedung bertingkat itu. Entah kemana tujuan Alexa saat ini, rencananya yang akan mengajak Devian makan siang telah gagal, lantaran Devian telah pergi lebih dulu. Alexa melajukan mobilnya dengan kecepatan sedang, mungkin ia akan datang ke resto tempat biasa ia dan Devian makan.

Tidak butuh waktu lama, Alexa tiba di resto tujuannya. Wanita berambut pirang itu bergegas masuk ke dalam, dan mungkin nasib baik tengah berpihak padanya. Setibanya di dalam, matanya menangkap sosok pria yang pernah dicintainya. Siapa lagi kalau bukan Devian, Alexa tersenyum lalu beranjak menghampiri Devian.

"Sendirian aja, Mas." Alexa menarik kursi lalu duduk tepat di hadapan Devian.

"Alexa, kamu ... kamu kok ada di sini." Devian mengernyitkan keningnya, raut wajahnya terlihat bingung.

"Iya, tadi aku ke kantor kamu. Niatnya mau ngajak kamu makan siang, tapi kamunya nggak ada," jelas Alexa.

"Iya, tadi ada pertemuan dengan klien. Jadi sekalian makan siang," terang Devian.

"Oh, kamu sendirian?" tanya Alexa.

"Sama Amara, itu dia." Devian menunjuk ke arah Amara yang baru saja kembali dari toilet.

"Oh." Alexa tersenyum, tetapi senyum itu pudar saat menoleh ke arah Amara.

Amara menyunggingkan senyumnya saat tiba di meja di mana Devian dan Alexa berada. Jujur, Amara merasa tidak senang dengan adanya Alexa, baginya wanita itu adalah penghalang untuk mendapatkan Devian. Mata Alexa dan Amara saling adu pandang, kedua wanita itu memiliki rencana yang sana, yaitu ingin mendapatkan Devian.

"Kamu ngapain di sini?" tanya Amara dengan nada jutek.

"Bukan urusanmu," jawab Alexa tak kalah jutek.

Sementara itu, Devian hanya bisa diam. Pria beralis tebal itu sudah paham dengan dua wanita itu. Alexa dan Amara memang tidak pernah akur, keduanya kerap sekali bertengkar saat bersama. Devian menghembuskan napasnya, menatap Alexa dan Amara secara bergantian. Kedua wanita itu masih saja saling lempar pandang, dengan tatapan mata yang tajam dan penuh kebencian.

"Ehem. Ini tempat makan, lebih baik sekarang kalian duduk. Kita makan .... "

"Sorry, Dev. Aku kembali ke kantor saja, masih ada yang harus aku selesaikan," potong Amara dengan cepat.

Devian mengernyitkan keningnya. "Ya sudah terserah kamu saja."

"Iya." Amara mengambil tasnya dan beranjak pergi dan meninggalkan tatapan tajam untuk Alexa.

"Amara, sampai bumi berhenti berputar. Kamu tidak akan pernah bisa untuk mendapatkan Devian," gumam Alexa dalam hati.

"Alexa, kamu mau makan apa?" tanya Devian yang saat ini tengah melihat buku menu makanan resto tersebut.

"Seperti biasa aja deh, Mas." Alexa tersenyum manis ke arah Devian.

"Ok." Devian membalas senyuman Alexa.

Setelah itu Devian segera memanggil pelayan lalu memesan makanan dan minuman seperti yang biasa mereka pesan. Resto itu adalah tempat di mana Alexa dan Devian menghabiskan waktu bersama. Namun itu dulu, tetapi akhir-akhir ini keduanya juga sering datang ke resto tersebut. Alexa telah berhasil membuat Devian kembali simpati padanya, dan mungkin suatu saat ia pasti bisa menaklukkan mantan kekasihnya itu.

***

Devian saat ini tengah asyik makan siang bersama wanita yang pernah mengisi hatinya. Namun tidak dengan Nadine, saat ini wanita berjilbab itu tengah berjuang menahan sakit. Nadine tengah menjalani kemoterapi, mungkin itu tidak bisa menjamin dirinya akan sembuh total dari penyakit yang di deritanya. Namun setidaknya Nadine bisa bertahan, untuk bisa berbakti kepada sang suami.

Tubuh mungil Nadine terbaring lemah di atas brangkar, beberapa alat medis melekat di tangannya. Sesekali Nadine meringis menahan sakit, bahkan tak jarang ia beristighfar agar diberi kekuatan untuk bisa berjuang melawan penyakit yang bersarang di tubuhnya. Harapan Nadine tidak terlalu banyak, ia hanya berharap semoga di saat-saat terakhirnya nanti bisa melihat suaminya tersenyum.

"Sus, kira-kira berapa lama ini berlangsung?" tanya Nadine pada suster yang tengah menunggunya.

"Biasanya sekitar dua sampai tiga jam, Bu. Bahkan terkadang ada yang sampai empat jam," jelas suster tersebut dan dibalas dengan anggukan oleh Nadine.

Tiba-tiba saja ponsel Nadine berdering, takut ada yang penting ia segera mengeceknya. Nadine sedikit tersentak saat melihat nama Devian berada di layar ponselnya. Ia ragu untuk mengangkatnya, tetapi jika dibiarkan. Malah bisa menjadi masalah, dan bisa-bisa nanti Devian curiga. Dengan terpaksa akhirnya Nadine menggeser tombol berwarna hijau tersebut.

[ Assalamualaikum, Mas ]

[ Wa'alaikumsalam, kamu sudah pulang ]

[ Be-belum, memangnya ada apa, Mas ]

[ Hari ini aku pulang lebih awal, karena nanti sore aku harus berangkat ke Jepang untuk urusan pekerjaan. Jadi aku minta tolong siapkan baju untukku ]

[ Ke Jepang, Mas. Kenapa mendadak ]

[ Iya, ya sudah aku mau lanjut kerja dulu. Jangan lupa siapkan baju, dan pulang lebih awal ]

[ Ba-baik, Mas. Insya Allah aku pulang lebih cepat ]

[ Ya sudah, assalamualaikum ]

[ Wa'alaikumsalam, Mas ]

Setelah selesai, Nadine langsung menutup sambungan teleponnya. Wanita berjilbab itu merasa panik sendiri, bagaimanapun ia bisa pulang lebih awal. Sedangkan sekarang ia belum selesai melakukan kemoterapi. Nadine takut jika dirinya pulang terlambat, apa yang akan ia katakan pada Devian jika suaminya itu pulang lebih dulu. Haruskah Nadine jujur, atau berbohong.

"Ya Allah, bagaimana kalau mas Devian pulang lebih awal dariku. Apa yang harus aku katakan," ucap Nadine bermonolog sendiri.

Tidak terasa waktu berjalan lebih cepat, pukul setengah empat sore, Nadine baru selesai di kemo. Sebelum pulang, ia memutuskan untuk melakukan shalat ashar terlebih dahulu. Meski dalam hatinya merasa tidak tenang, tetapi ia tidak boleh melakukan kewajibannya. Wanita berjilbab itu berjalan menuju Musholla yang ada di RS tersebut. Setelah tiba di Musholla, Nadine bergegas mengambil air wudhu.

Lima belas menit telah berlalu, kini Nadine tengah bersiap-siap untuk pulang. Waktu sudah menunjukkan pukul empat kurang lima belas menit. Nadine berjalan keluar dari RS dengan sedikit terburu-buru. Ia khawatir jika Devian sudah pulang, dan yang lebih mengkhawatirkan adalah karena ponselnya mati, dan Nadine lupa tidak membawa charger.

Karena jalan terlalu buru-buru, membuat Nadine tidak memperhatikan sekelilingnya. Dan tiba-tiba saat hendak keluar dari RS tersebut, ia tidak sengaja menabrak seseorang. Bruk, seketika tubuh Nadine jatuh tersungkur ke lantai. Wanita berjilbab itu meringis menahan sakit di tangannya, perlahan Nadine mendongak menatap orang yang tidak sengaja ia tabrak. Seketika matanya terbelalak saat tahu siapa orang itu.