webnovel

Seperdelapan Limbungnya Hati

Perkuliahan dimulai sore hari, setidaknya ini untuk jadwal kelas Richard. Hari ini ia mendapat jadwal yang lebih lapang karena dosen yang mengampu dua mata kuliahnya tidak bisa mengajar dan tidak ada yang bisa menggantikan kedua dosen pengampu tersebut. Alhasil, jadwal Richard sedikit lebih free.

Richard berjalan menuju ruang kelas di mana seseorang yang teramat bawel sedang menunggunya, merengek untuk minta bantuan mengerjakan tugasnya.

 

Suasana siang ini tampak teduh atau bisa dibilang sedikit mendung. Mungkin tak lama lagi hujan akan turun menyapa bumi. Ah, ya, tak terasa Richard sudah berada di depan kelas itu. Sungguh, rasanya ia sangat malas meladeni orang itu, kalau saja ia tak ingat bahwa mereka bersahabat, ia akan datang beberapa menit sebelum kuliah sorenya dimulai.

 

Richard menjatuhkan beberapa buku yang dibawanya untuk dijadikan referensi bagi tugas sahabatnya itu. Farel tampak tersentak saat mendengar bunyi gaduh di sebelahnya. Ia menatap Richard dan buku-buku tadi secara bergantian, matanya seolah mengeluh.

 

Richard mendudukkan dirinya di samping Farel. Ia memutar laptop sahabatnya dan melihat apa yang sedang dikerjakan Farel. Sepersekian detik, sepasang manik hazel Richard membola. Bukannya Farel tadi ribut sekali merengek untuk dibantu tugasnya? Lalu ini kenapa sahabatnya ini malah asyik meratapi foto milik Rin?

 

Richard menoleh dan mendapatkan cengiran khas Farel yang sebelas dua belas mirip dengan Ray, adiknya. Richard gemas. Tangannya terangkat dan mendaratkan jitakan sayang kepada Farel. Benar-benar, Farel sudah tak waras.

 

Richard sedikit memaki sahabatnya karena sikap sahabatnya sungguh membuatnya tampak bodoh. See? Richard rela berangkat 2 jam lebih awal hanya untuk sang sahabat yang merengek seperti anak kecil. Namun, sang sahabat malah asyik melihat foto perempuan sedangkan dirinya harus mencari-cari referensi tambahan dari perpustakaan kampus.

 

Farel yang merasa bersalah pun hanya bisa memohon maaf berulang kali. Tampak tangan Farel terulur memberikan sesuatu pada Richard yang mana adalah secarik kertas.

 

Richard menarik kertas itu dan membaliknya. Itu bukan sebuah kertas biasa. Ada sebuah potret yang familiar di sana, sebuah foto. Tasya bergandengan tangan dengan seorang laki-laki. Laki-laki yang wajahnya oriental dan tampan. Tubuh si lelaki itu pun tampak sangat bagus. Richard mengangkat kepalanya. Sebelum sempat bertanya, Farel sudah memberitahunya.

 

"Calon suami Tasya, namanya Vernon."

 

Richard kembali menurukan pandangan pada potret di kertas itu. Matanya menyiratkan kesedihan. Calon suami, bukan hanya kekasih. Perasaan Richard sedikit terluka.

 

Farel melihat perubahan ekspresi Richard. Ia merasa bersalah, tapi ia juga ingin membantu sahabatnya untuk sedikit mengenal Tasya. Meskipun ada kesedihan di awal, Farel tahu bahwa Richard nantinya akan merasa lebih baik bila mengetahui kelanjutan ceritanya.

 

"Calon suaminya hilang bersama kedua orangtua Tasya di laut saat mau membicarakan perihal pernikahan mereka di Amerika. Itu membuat Tasya sedikit depresi."

 

Richard terkejut. Hatinya sedikit senang. Tapi apakah pantas ia merasa bahagia di atas penderitaan Tasya?

 

Farel melanjutkan cerita singkatnya tentang masalah itu. Tentu saja ia tahu semuanya dari Rin. Sebenarnya Rin tak ingin membeberkan masalah Tasya, akan tetapi Farel terus menerus merengek padanya. Alhasil Rin memberitahunya. Dan Rin juga tahu bahwa Richard menyukai Tasya karena kerap kali Rin memergoki Richard yang berusaha berteman dan mengakrabkan diri dengan sepupunya itu. Farel juga sudah meyakinkan Rin bahwa Richard adalah lelaki yang sangat baik.

 

Rin mengenal baik kepribadian Leo dan Leo pun sering bercerita tentang adiknya. Iya, Richard. Bila sudah membahas Richard, Leo seperti incest. Padahal mereka hanya kakak beradik terlebih mereka satu gender. Tapi yang Rin tahu, sepenglihatannya, Richard memang sosok lelaki yang baik. Karenanya, Rin mau membuka mulutnya mengenai Tasya.

 

Richard terdiam mendengar penuturan Farel. Ternyata begitu kisah cinta Tasya. Ia sungguh simpati dengan hal itu. Sejak mendengar kisah dari Farel, Richard menjadi tahu mengapa Tasya selalu memasang ekspresi kosong, hampa, sedih, atau semacamnya selama mereka bertemu.

 

Selesai mendengar cerita dan membantu Farel, Richard melangkahkan kaki ke luar sebentar. Ia ingin membeli kopi untuk menyegarkan mata.

 

Baru setengah jalan, Richard berhenti. Ia mendengar suara sayup-sayup dari arah kamar mandi perempuan.

 

"-jalang! Jangan sok kecantikan! Lo aja gak bisa apa-apa kan sekarang! Dasar Anak Agung ja-"

 

Brak. Richard membuka kasar pintu kamar mandi itu saat mendengar ada yang tidak beres di sana. Benar saja, nama yang disebut ternyata sama dengan nama yang ia kenal.

 

Bullying. Jelas sekali ini pembulian. Richard melihat rambut panjang Tasya ditarik dan Tasya tampak berjengit kesakitan. Namun, Tasya tak semudah itu mengalah. Tangannya tampak sedang menarik kasar ujung blouse dari gadis satunya.

 

Richard menatap kejadian di depannya dengan takjub. Tasya menatap kosong Richard yang berdiri di ambang pintu. Meski kesakitan dirinya tak mau meminta tolong pada lelaki di hadapannya itu.

 

Richard beranjak masuk dan menghentikan pertengkaran yang terjadi. Setelah memisahkan mereka, Richard menarik Tasya menjauh dari sana. Ia menggiring Tasya ke taman yang biasa Tasya sambangi.

 

Tasya tampak kacau. Rambutnya acak-acakan. Pakaiannya juga menjadi lusuh. Berbeda dengan dua gadis pembuli tadi yang tampak masih tergolong dalam keadaan rapi.

 

Richard melepaskan genggamannya dan berbalik menghadap Tasya. Tangannya tergerak untuk merapikan rambut Tasya, mencoba menatanya agar tampak cantik kembali.

 

"Berteriaklah lain kali. Lo gak mau kalo wajah cantik lo ini rusak, 'kan?"

 

Tasya menatap tepat di bola mata Richard. Ia melihat ketulusan di sana. Richard juga selalu tersenyum seburuk apapun perlakuan yang ia berikan padanya. Tasya tahu ia salah karena membalas orang sebaik Richard dengan sikap yang tak pantas tempo hari.

Tasya menunduk, bibirnya tampak merapal. Karena merasa mendengar sesuatu, Richard merendahkan dirinya dan menatap Tasya dari bawah. Ia bertanya perihal apa yang digumamkan oleh Tasya. Tasya pun terkejut saat melihat wajah Richard berada tepat di bawahnya, meskipun sedikit tertutupi oleh beberapa helai rambut panjangnya. Dengan segera ia pun berbalik memunggungi Richard.

 

"Terimakasih gendut."

 

Richard mendengarnya dengan jelas. Itu membuat senyumnya merekah semakin lebar. Ia pun kemudian berlari kecil untuk menyamakan langkahnya dengan Tasya. Mereka melangkahkan kaki ke arah lain. Tasya ingin makan karena memang ia lapar. Seharusnya ia sudah mengisi perutnya kalu saja dua gadis pembuli itu tidak muncul dan menyeretnya ke kamar mandi.

 

"Kenapa lo selalu ngikutin gue?"

 

Richard memposisikan dirinya untuk duduk di hadapan Tasya. Bibirnya menyesap Coffee Latte yang baru saja ia beli sedangkan mata teduhnya menatap Tasya dengan lembut, kemudian ia tersenyum.

 

"Karena lo butuh teman."

 

Jawaban sederhana Richard mampu membuat Tasya mencelos. Bila diingat-ingat, dirinya memang tidak memiliki teman sama sekali, kecuali sepupunya. Akan tetapi sepupunya juga sedang sibuk dengan tugas-tugasnya. Ah, dan juga Vernon. Tasya jadi sedikit terbawa suasana bila mengingat Vernon. Vernon kurang lebih sama seperti Richard. Sama-sama tak pantang menyerah untuk mendekati dirinya.

 

Richard melihat Tasya tersenyum. Demi apapun, saat itu Richard benar-benar terpana. Meski hanya senyum simpul yang tak begitu jelas, itu sudah cukup untuk membuat jantungnya berpacu dengan hebat.

 

"Lo cantik kalo senyum, Sya."

Atensi Tasya kembali tertarik. Ia menatap Richard lagi. Entah atas dasar apa pipinya itu merona. Karena mengingat Vernon atau karena pujian dari Richard?

"Lo tahu kan gue gak suka-"

 

"-gendut. Iya gue tahu. Terus apa kalo gue bisa kayak Bani lo bakal suka gue? maksud gue, gue mau temenan sama lo."

 

Richard mengusap tengkuknya, ia sedikit gugup dan takut salah berbicara. Sementara Tasya mengedikkan bahunya seolah tak perduli. Sesungguhnya Tasya juga penasaran apakah bisa si gendut di hadapannya itu menjadi kurus dan memiliki six packs? Entahlah. Mungkin akan menarik bagi Tasya untuk melihat perubahannya.

 

"Ya, ya, boleh saja-"

 

"-kalau lo berhasil, gendut."