Malam ini, aku merasa tak nyaman saat melihat jam ternyata masih pukul satu malam.
Perutku rasanya sakit sekali. Entah lapar atau apa, tapi kakiku seolah memintaku untuk turun ke bawah entah mencari apa.
Tanpa perlu berpikir panjang aku segera membuka pintu kamar pelan-pelan, berharap Albert tak terganggu karena suara bising ku.
Aku berjalan sedikit mengendap sambil mencari saklar agar lampunya bisa ku nyalakan. Kadang aku heran dengan Albert.
Setiap malam dia selalu mematikan seluruh rumah. Bukan karena hemat listrik atau apa, tapi Albert sangat suka jika kondisi rumahnya gelap.
Aku berjalan turun ke bawah tanpa ada rasa takut sedikitpun.
Setelah lampunya ku nyalakan, aku bergegas pergi ke dapur sambil mencari beberapa makanan yang tersisa tadi malam. Di sana, masih ada beberapa potongan pizza yang sengaja kita buat dan satu burger yang sudah dingin.
Karena rasa lapar ini seolah mengalahkan semua rasa takut itu, aku lantas memakannya dengan sangat lahap. Tak peduli dengan apa yang akan terjadi di depan nanti, aku benar-benar tak peduli dengan semua itu.
"Untuk apa kau di situ?" tiba-tiba, aku mendengar sebuah teriakan yang sangat keras sekali di arah tangga. Aku seketika berdiri dan melihat bahwa, seseorang yang berteriak itu adalah Albert.
Aku segera menghampirinya.
"Mengapa kau diam di sini begitu lama?" aku terkejut karena Albert tiba-tiba mengatakan hal itu dengan keras. Ketika aku akan menaiki tangga, Albert kembali berteriak sambil mengatakan berhenti!
"Kau kenapa, Albert?" sejujurnya aku sangat bingung dan tak habis pikir dengan sikap dia yang tiba-tiba aneh seperti itu. Wajahnya penuh kemarahan seolah-olah aku telah berbuat salah sebelumnya.
Dia berjalan dengan perlahan menuruni tangga. Barang-barang yang ada di depannya dia lempar hingga menimbulkan suara gaduh seperti seorang suami istri yang sedang berkelahi.
Aku berjalan mundur ketika melihat Albert seperti sangat marah kepadaku. Tangannya mengepal keras seolah-olah ingin memukul sesuatu yang ada di hadapannya saat ini.
"Tenangkan dirimu, Albert. Ini aku, Kevin." kakiku begitu lemas. Namun di sisi lain, aku harus berusaha tidak takut sedikitpun dengan apa yang ada di hadapanku saat ini.
"Saya tahu kau tanpa diberi tahu. Mengapa kau masih di sini? Mengapa kau tak segera pulang?" Albert meneriaki ku dengan sangat keras. Dia membanting semua barang-barang yang ada di depannya. Bahkan vas bunga sekalipun dia lempar ke arahku dan aku berusaha menghindar karena itu.
Bola matanya merah sekali. Aku merasa ada sesuatu hal yang salah di dalam diri Albert. Wajahnya benar-benar menunjukkan marah yang luar biasa. Tangannya masih mengepal sambil terus mendekatiku. Untuk saja rumah ini begitu luas jadi aku bisa menghindar dengan leluasa.
"Albert, apa yang terjadi dengan kau? Kita bicarakan baik-baik. Bukankah kau yang memintaku untuk menemanimu di sini?"
"Sebaiknya kau segera pergi dari sini atau akan ada sesuatu hal buruk yang terjadi pada kau! Argggghhhh!" Albert mengacak-acak semua barang. Dimulai dari buku, kursi piano, bahkan makanan yang ada di meja pun dia lempar-lempar kan ke arahku. Tentu aku di sini tak tahu harus berbuat apa. Aku sangat bingung karena kejadian itu terjadi begitu cepat.
"Kita harus bicara baik-baik, Albert. Kau jangan bertindak gegabah seperti ini. Coba tenang sedikit dan katakan semuanya dengan pelan."
"Argggghhhh!" Albert tiba-tiba berlari ke arahku kemudian mencekikku dengan keras. "Kau tahu apa? Sudah aku katakan kau lebih baik pergi dari sini atau kau akan mati di sini? Aku sudah sering mengatakan hal ini kepada kau tapi kau tidak pernah mau mendengarnya sama sekali. Hal buruk akan segera menimpamu tapi mengapa kau tidak mau mendengar semua itu? Mengapa kau masih tetap ada di sini? Tempat ini sangat berbahaya bagi kau dan sebelum terlambat, lebih baik kau segera pergi. Aku sudah peringati kau sampai beberapa kali. Tapi kau sangat keras kepala!"
"Albert!" cengkeramannya begitu kuat sekali hingga aku sulit bernapas. "Lepaskan aku."
"Argggghhhh!" Albert berteriak sambil membantingku. Tak tahu dari mana otot-otot itu bisa kuat. Aku merasa orang yang ada di depanku ini seperti bukan Albert.
Dia sangat kasar dan galak sekali. Aku yakin ada sesuatu yang sedang terjadi padanya.
Jujur.
Setelah dibanting Albert tadi, badanku benar-benar sakit sekali. Kekuatan dia seperti meningkat 100%. Aku tak tahu kenapa semua ini bisa terjadi begitu cepat.
Dia sangat berbahaya dan tak bisa aku dekati dengan cara baik-baik.
"Kau bodoh, Kevin! Kau telah masuk ke dalam lubang yang sangat berbahaya dan tidak akan mudah membuat kau selamat."
"Albert, tapi kan kau sendiri yang memintaku kemari. Mengapa jadi sekarang kau yang marah-marah? Aku tak mengerti sebenarnya apa yang terjadi padamu? Sadarlah, Albert. Mengapa kau jadi kasar seperti ini?"
"Diam!" teriaknya dengan keras. "Aku sudah bicara sejak awal bahwa ini bukan tempat yang baik untuk kau, Kevin. Kau sangat keras kepala!" Albert mengangkat sebuah kursi dan akan melemparkannya kepadaku.
Badanku yang sangat sakit tidak bisa mengelak itu semua dan,
"Albert!"
Seseorang menamparku sedikit keras hingga aku terbangun.
Jantungku benar-benar berdegup begitu kencang. Keringat dingin sekolah membanjiri semua badanku. Tanganku sampai gemetaran dan tak tahu harus bagaimana ketika melihat Albert kebingungan di depanku.
"Kau kenapa?"
Aku masih ingat wajah sangarnya saat membantingku. Mata merahnya begitu menyala seolah-olah menunjukkan bahwa orang yang ada di depanku ini bukanlah Albert. Aku tak bisa berkata-kata lagi ketika harus berhadapan dengannya. Aku menepis tangannya dan berusaha lari dari sini, namun Albert menghentikanku.
"Sebenarnya apa yang terjadi pada kau, Kevin?"
"Kau bukan Albert!"
"Ini aku!" Albert menarik tanganku kemudian kembali menamparku. "Kau kenapa? Apa kau mengalami mimpi buruk?"
Jika tadi aku tak berani melihat wajahnya, entah kenapa saat ini aku sedikit lebih tenang ketika Albert mengatakan hal itu.
Badanku benar-benar lemas dan terduduk. Aku tak bisa melupakan kejadian tadi karena menurutku, kejadian itu seperti nyata dan aku rasakan sendiri. Bahkan rasa sakit yang ditimbulkan ketika dia membanting tubuhku pun masih aku rasa.
Aku tak tahu sebenarnya apa yang aku rasakan tadi adalah sebuah mimpi ataukah tidak. Kejadian itu begitu menyakitkan untukku dan terasa sakit jika harus diingat kembali.
"Aku rasa kau sudah bermimpi, Kevin. Aku tidak jahat dan kau jangan takut padaku. Saat kau sadar tadi, aku melihat kau seperti ketakutan melihatku. Aku rasa ada sesuatu yang tak beres kepadaku di dalam mimpimu. Jangan pikirkan hal itu dan tolong tenanglah. Aku di sini bersamamu dan akan membuatmu melupakan hal itu."
"Tapi aku sangat takut, Albert. Aku benar-benar takut karena kejadian tadi seperti nyata. Pantatku sakit karena kau banting aku."
"Apa?" tanya Albert dengan cepat. Raut wajahnya tiba-tiba berubah seperti menahan tawa.
Aku yang masih ketakutan tentu bingung melihatnya.
"Kenapa? Kenapa kau tertawa?"
"Aku membantingmu sampai pantat kau sakit? Tidak, Kevin. Itu bukan aku. Mungkin kau berhalusinasi."
...