webnovel

Kegaduhan di Malam Pertama

Ini adalah malam pertama aku tidur di rumah Albert.

Suasana begitu sepi dan sunyi sekali. Tak ada suara kendaraan ataupun hilir mudik orang-orang seperti di sekitar rumahku yang tak akan pernah sepi sebab, rumahku berada di kawasan kota.

Ini adalah salah satu pengalaman yang tentu tak bisa aku lupakan. Tidur dalam kegelapan dan sunyinya keadaan sekeliling, membuatku mau tak mau harus bersikap lebih pemberani lagi seperti Albert.

Walau dia pun mengakui, keberadaannya di sini membuat rasa penakutnya semakin terlihat.

Seperti biasa, ketika berada di tempat baru aku sulit untuk beradaptasi. Apalagi tidur. Sesaat aku melihat Albert yang sudah tertidur pulas, sementara aku masih terdiam melihat langit-langit kamar sambil mendengar suara jam yang memecah keheningan malam.

Tak ada satupun suara manusia yang bisa kudengar dari dalam rumah ini selain suara Albert dan Pak Arthur tadi. Tentunya, aku sedikit penasaran untuk mencari tahu sebenarnya ada berapa rumah yang ada di sini dan ada berapa puluh keluarga yang tinggal di tempat, yang menurutku tidak cocok untuk aku sendiri.

Tak ada sinyal di sini. Kemarin, Albert menghubungiku saja harus naik ke atas pohon  yang lumayan tinggi. Pantas saja aku tak bisa menghubunginya setiap saat karena saat ini pun, ponsel ku terasa seperti bangkai yang tak bisa digunakan untuk mencari kabar.

Sebelum tidur tadi, Albert membiarkan sedikit jendela kamarnya terbuka. Menurutnya, meskipun lingkungan dia yang terasa dingin dan sejuk, setiap malam dia selalu merasa gerah dan banjir keringat.

Aku tak tahu mengapa itu bisa terjadi. Namun sejak tadi, aku melihat kain gorden yang sedikit berhembus itu bergerak seolah-olah mengikuti angin.

"Argh!"

Entah ada angin dari mana, perutku tiba-tiba mulas tak tertahan. Aku baru ingat sebelum pergi tadi, aku belum buang air besar.

Biasanya jika aku merasa mulas di malam hari, aku bisa menahannya sampai pagi tiba.

Namun ini berbeda. Aku berusaha memejamkan mata pun rasanya percuma. Perutku semakin melilit dan tak tertahankan.

"Albert?" aku terpaksa membangunkannya yang tampak tidur dengan pulas.

"Hm?" sahutnya tanpa membuka mata.

"Kau tahu di mana kamar mandi yang paling dekat dari sini?"

"Di bawah dekat piano." jawabnya. "Kenapa?"

"Perutku sakit sekali."

Albert membuka matanya. "Mau aku temani?"

Rasanya tak tega jika aku harus mengganggu dia sampai mengantarkanku ke bawah.

Terpaksa, aku menolak permintaan dia dan segera bergegas turun ke bawah.

Tentu. Ada rasa takut dan mulas yang tak bisa kutahankan. Mendadak, aku seperti menjadi seorang pemberani yang bisa menembus kegelapan rumah ini.

Tanpa ada waktu untuk menyalakan lampu ruang tamu, aku segera masuk ke dalam kamar mandi yang memang tak pernah dimatikan lampunya oleh Albert.

Sejenak, aku memperhatikan ruangan kamar mandi ini yang cukup luas. Meskipun lampunya terang, tetap saja sejak tadi hatiku tak bisa tenang.

'Naa.. naa.. naa.. naaa....'

Tubuhku tersentak kaget saat dengan jelas sekali, aku mendengar suara seseorang sedang bersenandung sambil memainkan piano yang letaknya tak jauh dari kamar mandi.

Sekuat mungkin aku berusaha berpikir positif dan menganggap bahwa semua itu adalah halusinasi, tapi tetap saja. Selang beberapa detik kemudian, suara itu kembali kudengar.

Kali ini aku yakin, suara itu adalah suara anak kecil yang lembut dan khas.

Sadar ada sesuatu yang ganjil, aku segera membereskan semuanya dan keluar cepat-cepat tanpa melirik sedikitpun ke arah piano yang cahayanya hanya remang-remang saja.

"Tolong saya...."

Baru saja aku menaiki satu anak tangga, aku merasa suara itu kini berada di belakangku. Hawanya begitu dingin dan tak enak sekali. Kaki yang ingin aku langkahkan terasa begitu berat. Tubuhku tertahan dan keringat membanjiri pelipis.

Brukk!!!

Aku tersentak kaget saat jam tua yang ada di seberangku tiba-tiba terjatuh.

Berusaha menahan rasa takut, aku memundurkan langkah dan menghampiri jam itu, dengan niat kembali menyimpannya ke tempat semula.

Kali ini aku berpikir mungkin saja jam ini jatuh karena angin, sebab di sampingnya ada jendela terbuka yang sepertinya lupa ditutup Albert sore tadi.

Saat hendak menutup jendela tersebut, tiba-tiba aku melihat ada seorang pria yang berada di tengah jalan di depan rumah Albert menatapku dengan tajam.

Aku memberinya senyum, namun wajahnya seperti tak suka.

Pria itu entah siapa.

Namun karena tubuhku terasa merinding, cepat-cepat aku menutup jendela tersebut.

"Ayo bermain bersamaku...."

Aku membulatkan mata saat suara anak kecil itu kembali aku dengar. Dengan sigap aku melihat kanan dan kiri, tapi tak ada satu orangpun yang aku lihat.

"S-siapa kau?" aku memberanikan diri bertanya. "Jangan ganggu aku."

"Main..., ayo bermain...."

Mendengar seruan itu, aku segera berlari ke atas dengan penuh perjuangan. Kamar Albert yang dekat dengan tangga terasa sangat jauh sekali. Tangga demi tangga yang kunaiki terasa tinggi dan berat. Aku bersusah payah untuk segera ke atas dan tidur secepat mungkin, walau aku rasa tak akan semudah itu.

"Albert?" saat aku membuka pintu, aku tak melihat Albert berada di kasur.

Kudengar suara tangisan. Karena panik, aku segera menyalakan lampu dan melihat Albert berada di pojok ruangan sambil menangis.

"Ada apa dengan kau?" tanyaku yang berusaha menenangkannya.

"Aku takut." baru kali ini aku melihat wajah Albert yang benar-benar panik seperti ketakutan akan sesuatu.

"Takut kenapa? Apa ada seseorang yang berusaha mengganggu kau?"

Tangan Albert gemetaran. Tatapannya kosong dan menunjuk kasur di mana dia tertidur tadi.

"Saat kau turun, kakiku tiba-tiba ditarik dengan keras hingga aku jatuh." ucapnya lirih.

Aku melihat ke arah kasur itu dan kembali menatap wajah ketakutan Albert. "Ditarik? Ditarik siapa?"

Albert menggelengkan kepala. "Aku tak melihat apa pun. Bahkan saat aku berusaha naik ke kasur lagi, kakiku kembali ditarik untuk yang kedua kalinya. Aku takut, Kevin. Aku tak berani beranjak kemanapun. Kau sangat lama sekali."

Aku mengerutkan kening. "Lama?"

"Setelah kejadian itu, aku berteriak-teriak memanggil namamu namun kau tak mendengar sedikitpun."

"Berteriak?" aku semakin kebingungan.

"Apa kau tak mendengarnya?" tanya Albert tak yakin. "Selama lima belas menit tadi, aku terus memanggil namamu. Aku kira kau kabur dari sini. Ada keinginan untuk memeriksa kau keluar kamar, namun aku takut jika ada yang menarik kakiku lalu menjatuhkannya ke bawah."

"Kau bilang apa, Albert?" aku balik menanyainya. "Aku tak mendengar teriakanmu sedikitpun di bawah. Tak ada suara sedikitpun yang aku dengar. Dan satu, aku tak selama yang kau pikirkan. Aku yakin, aku di bawah hanya lima menit saja. Lagi pula, saat di bawah aku pun diganggu dengan suara piano kau yang tiba-tiba berbunyi sendiri."

Kali ini, Albert yang terlihat kaget dan bingung.

"Benarkah? Apa kau tidak berbohong?"

"Untuk apa aku berbohong?"

"Ya Tuhan." Albert mengacak-acak rambutnya. "Ada apa ini? Biasanya aku tak merasakan hal seperti ini." dia berdiri lantas menutup jendela kamar rapat-rapat. "Aku rasa ada sesuatu hal yang tak beres."

"Maksud kau?" aku ikut berdiri.

Dia menghela napasnya dengan berat.

"Besok, antar aku ke rumah Pak Peter."

...