webnovel

Bertemu Pak Arthur

Kami berdua seketika terdiam saat mendengar ada seseorang yang mengetuk pintu.

Ketukan itu tak hanya satu kali. Tapi dua kali, tiga kali, empat kali, tak henti-hentinya.

"Siapa itu?" tanyaku pelan. "Apa aku harus membukanya?"

Albert berdiri. Aku rasa, dia sedikit panik.

"Biar aku saja."

Di sini, aku hanya melihat Albert melenggang ke arah pintu dan membukanya.

Aku sedikit melirik dan melihat, ada seorang kakek yang berdiri di depan Albert.

"Oh, pak Arthur!" nada suara Albert seperti menyambut. "Mari masuk."

Kakek itu masuk sambil tersenyum. Aku berdiri dan bergegas menghampirinya.

"Kau yang datang?" tanyanya dengan ramah.

"Iya, pak." Arthur menjawab. "Karena tak ada teman, aku mengajaknya kemari. Kenalkan, nama dia Kevin."

Kakek itu mengangguk-angguk sambil memperhatikanku dari atas kepala sampai ujung kaki. Tak ada yang banyak ia bicarakan selain diam sambil terus memperhatikanku seolah-olah ada sesuatu yang ada pada diriku.

Albert mengajaknya duduk.

"Aku tak akan lama di sini." Pak Arthur memulai obrolannya. "Tapi aku ingin menyampaikan, bahwa aku juga tak tahu ini kebetulan atau tidak. Suasana di sini mulai terlihat aneh dan mungkin akan mengganggu temanmu. Jika hal itu benar, aku mewakilkan yang ada di sini untuk meminta maaf."

"Meminta maaf? Untuk apa, pak?" tanyaku dengan cepat. "Kau tak perlu khawatir. Aku merasa nyaman tinggal di sini."

Pak Arthur menatap mataku lekat-lekat. Bibirnya menyunggingkan senyuman kecil.

"Baiklah kalau kau merasa seperti itu. Semoga kalian semua baik-baik saja."

Aku dan Albert mengangguk bersamaan.

"Aku pergi dulu." saat dia akan beranjak, aku menahannya.

"Apa kau tak ingin makan malam bersama kami di sini? Atau mengobrol?"

Pak Arthur tersenyum sambil mengusap kepalaku. "Tidak. Aku sedang ada urusan. Kau habiskan saja makan malammu bersama Albert."

Dia melenggang kembali ke luar.

"Kalau aku boleh tahu, rumah kau di mana?"

"Di sana." Albert dan Pak Arthur menunjuk rumah tua yang ada di depannya bersamaan.

...

"Oh, jadi dia yang memberimu jam tua itu sekaligus pemilik rumah ini?" aku kembali melanjutkan obrolan bersama Albert.

"Betul sekali. Dia adalah Pak Arthur." setelah selesai mencuci piring, Albert kembali duduk menghampiriku. "Apa kau lihat rumah yang ada di samping rumah Pak Arthur?"

Aku mengangguk.

"Itu adalah rumah Pak Peter. Orangnya sangat ramah dan baik sekali. Besok, kau akan bertemu dengannya."

"Apa baiknya seperti Pak Arthur tadi?"

"Apa? Kau menganggap Pak Arthur baik?" Albert terlihat kaget.

"Iya. Memangnya menurutmu?"

"Menurutku baik juga. Hanya saja, dia orangnya sangat misterius. Sikapnya setiap hari tak bisa ditebak. Kadang baiknya melebihi Pak Peter, kadang ketus, kadang galak, bahkan kadang tak pernah bertanya meskipun kita bertemu."

"Oh begitu."

"Aku juga tak tahu mengapa dia tiba-tiba kemari. Kadang setiap ucapannya selalu aneh. Jika kau merasakan hal yang sama, maka tak perlu dipikirkan."

"Kalau seperti itu, mengapa kau tadi menyambutnya dengan sangat baik?" aku sedikit heran.

"Karena dia banyak membantu orang tuaku. Meskipun sikapnya aneh dan misterius, dia baik dan suka membantu membersihkan rumah ini."

"Oh begitu. Aku paham."

"Tapi saat nanti kau bertemu Pak Peter, kau akan merasa sangat nyaman." raut Albert berubah ceria. "Meskipun sudah sama-sama tua, tapi Pak Peter selalu menjadi tempat aku bercerita. Dia orangnya sangat baik. Setiap hari selalu mengirim ku banyak makanan. Aku rasa setelah nanti kau berkenalan dengannya, kau pasti akan merasakan hal yang sama sepertiku."

Aku mengangguk paham mendengar ceritanya.

Baru sampai kemari, aku sudah mengenal nama dua orang tetangga yang ada di sini.

Pak Peter, dan Pak Arthur.

Meskipun aku belum bertemu dengan Pak Peter, tapi aku merasa sangat lega karena ternyata, di lingkungan yang sepi seperti ini ternyata kami masih di kelilingi oleh orang-orang yang sangat baik dan peduli.

Sesekali saat diam, pikiranku tiba-tiba tertuju pada hutan terlarang yang berada tak jauh dari rumah Albert.

Bahkan jika aku ke teras rumahnya, aku melihat sebuah papan yang tak terlalu jauh bertuliskan,

'Hutan terlarang. Jangan masuk bila tak berkepentingan.'

Aku merasa penasaran tentang sesuatu yang menurutku terasa unik dan baru kali ini aku lihat.

Sebuah hutan yang tentu banyak pepohonan, kicauan burung dan tumbuhan-tumbuhan lucu, entah karena alasan apa hutan itu sudah lama terkenal sebagai hutan terlarang.

Jika di dalamnya terdapat hewan buas, bukankah hampir semua hutan terdapat hewan buas pula?

"Albert?"

"Ya?"

"Apa kau pernah masuk ke dalam hutan itu?"

Albert melotot. "Apa? Yang benar saja. Mana mungkin aku kesana."

Aku tertawa kecil.

"Barang kali pernah."

"Aku tak mau mengambil resiko yang parah. Selagi Pak Peter memintaku untuk tak pergi ke sana, aku tak akan pernah masuk ke dalamnya."

"Memangnya kenapa?"

Albert mengendikan bahunya. "Aku juga tak tahu. Tapi Pak Peter selalu berpesan agar aku tetap di rumah dan jangan sekali-kali memberanikan diri untuk masuk ke hutan itu. Katanya jika kau ingin selamat, maka kau jangan memutuskan hal yang bisa berakibat fatal untuk diri kita sendiri."

Agak sedikit aneh sebenarnya.

Aku yang biasa tinggal di lingkungan yang sangat bebas dan tak dilarang oleh siapapun untuk tak masuk atau jangan datang ke sebuah tempat, merasa sangat tertarik untuk mencari tahu tentang apa-apa yang ada di dalam hutan itu sehingga tak ada satupun manusia yang boleh masuk ke dalam sana.

Dari depan, hutan itu nampak normal. Tak terlihat angker, ataupun sesuatu yang menakutkan.

Bahkan jika dibandingkan dengan rumah Albert yang satu itu, tentu jauh lebih menakutkan rumah Albert.

Sampai sekarang, perhatianku tak bisa fokus pada satu titik.

Selalu saja ada sesuatu yang seolah-olah sedang memperhatikanku dari balik ruangan-ruangan yang gelap itu.

"Ada berapa ruangan di rumah kau ini, Albert?" tanyaku setelah makan malam kita selesai dan aku memutuskan untuk menonton televisi.

"Sepertinya ada sepuluh."

"Waw. Banyak sekali."

"Iya. Maka dari itu aku tak bisa jika di rumah ini sendiri. Terlebih lagi, aku selalu merasa seperti ada sesuatu yang memperhatikanku."

"Aku juga merasakan hal yang sama."

Albert memberiku satu gelas susu yang dia ambil dari kulkas. Anak itu memang suka sekali dengan susu tanpa rasa. Dari kecil sampai sekarang, ternyata minuman favoritnya sama sekali tak berubah.

"Tapi kau jangan khawatir. Kata Pak Peter, dia baik dan tak akan mengganggu."

"Oh jadi Pak Peter sudah tahu?"

Albert menaikkan alisnya. "Sepertinya begitu."

"Hubungan Pak Peter dengan Pak Arthur itu apa? Apa mereka adalah saudara?" aku merasa penasaran.

"Aku tak tahu. Saat itu aku pernah menanyakan hal yang sama seperti yang kau tanyakan, namun Pak Arthur memilih tak menjawab. Dilihat dari tampilan dan umur, aku rasa mungkin mereka adalah teman."

Aku memilih diam sambil mencerna setiap ceritanya.

"Kevin, tolong maafkan aku jika kau merasa berat tinggal di sini. Kalau keadaan tak seperti ini pun, tentu aku tak ingin meminta tolong kepada orang lain."

"Kau tak perlu khawatir. Aku akan segera terbiasa di sini."

"Baiklah. Tadi sebelum Pak Arthur pergi, dia mengirim pesan untuk kau."

"Oh ya? Apa?"

"Katanya, jika ada seseorang yang mengajak kau untuk mendekati hutan itu, entah siapapun itu, maka kau tinggalkan dia dan jangan dengarkan dia."