"Apa perempuan itu sudah mati?"
Selama seminggu, selalu pertanyaan yang sama yang Hadrick tanyakan. Lelaki itu terlihat frustrasi di meja kerjanya. Mizen yang baru masuk menggelengkan kepalanya, "Seperti hari-hari sebelumnya Tuan, Nyonya Bella—"
Hadrick langsung menyela, "Dia sudah sadarkan diri?" Kali ini tidak terdengar terluka. Hadrick terlihat begitu penuh harap.
Untuk keduakalinya Mizen menggelengkan kepalanya, "Maaf, Tuan."
"Wanita itu benar-benar mempermainkanku," desisan Hadrick terdengar. "Apa dia pikir ini lucu? Ini caranya membalas semua perlakuan burukku padanya?" Hadrick menahan geraman. Sebelah tangan lelaki itu gemetar.
"Jika benar ingin mati, mati saja sana. Jika dia memang ditakdirkan untuk hidup dan terus membersamaiku, bangun sekarang juga!" Setelah berteriak Hadrick bangkit berdiri.
Sebelah tangan lelaki itu masih gemetar, dilewatinya Mizen yang memeringatkan, "Sesuai permintaan Anda sebelumnya, Tuan. Perjodohan sudah keluarga Anda siapkan. Datanglah ke rumah Tuan Besar sekarang juga. Calon-calonnya sudah berdatangan, tinggal Anda yang memilih."
Hadrick diam tidak menanggapi. Lelaki itu mengepalkan sebelah tangan. "Tuan," panggil Mizen sekali lagi. Lelaki itu terdengar lelah.
Bagaimana tidak? Hadrick mengacaukan segalanya. Lelaki itu dengan lantang meminta untuk dijodohkan di awal, yang katanya demi pembuktian pada Bella dan takdir. Tapi ujung-ujungnya lelaki itu sendiri yang malah melewatkan perjodohan ini yang sudah disiapkan matang-matang oleh Tuan Besar dan keluarganya.
Hanya Hadrick seorang yang tidak menakuti murka sang Bos Besar.
"Bagimana Tuan?" Mizen memastikan. Andai Hadrick berubah pikiran hari ini, maka berita melegakan tersebut bisa disampaikan ke Tuan Besar. Tidak seperti hari-hari sebelumnya dimana Hadrick, malah tak acuh dan melewatkannya begitu saja.
"Antar aku ke rumah sakit," Hadrick memerintah.
Mizen hanya bisa pasrah. Dibantah dan dinasehati tidak mungkin, meski seperti kemaren-kemaren Tuan Besar yang selalu diberi harapan palsu pasti murka dan tersinggung.
"Baik Tuan." Mizen melewati lebih dulu. Lelaki itu berlari turun ke lantai bawah untuk menyiapkan mobil. Hadrick yang seakan kehilangan pertahanannya hampir ambruk menimpa tembok. Lelaki itu tersenyum sinis, air mata luruh dari kedua pipinya.
Dimaki-makinya Bella yang membuatnya seperti ini. Andai tidak ada ego, di depan siapa saja Hadrick pasti serapuh dan selemah ini. Hadrick berusaha membangkitkan tubuh dan melangkah. Ditinggalkannya kamar menuju lantai bawah.
Didapatinya Mizen yang sudah menunggu sejak tadi, Hadrick mengusap pipinya demi menghapus sisa-sisa kecengengannya. Mizen membukakan pintu mobil untuk Hadrick, lantas Hadrick masuk tanpa banyak bicara.
Tak lama, kendaraan beroda empat tersebut melaju ke rumah sakit. Hadrick terlihat tidak sabar. Saat sampai, Hadrick turun dan bergegas ke ruangan inap Bella. Mizen menyusul, lelaki itu terengah-engah karena hampir tidak mampu mengejar langkah Hadrick yang berlari.
Sesampainya di ruangan rawat inap, Mizen tersentak kaget saat mendapati Hadrick menciumi tangan Bella yang kurus dan pucat. Lelaki itu memohon dan mendamba, dipanggil-panggilnya nama Bella untuk bangun, sambil mengusap perutnya yang kosong.
"Lima kali sehari aku ke sini menjengukmu. Tapi kenapa yang kamu pertontonkan hanyalah ketidakberdayaanmu, Bella? Bella, bangun sayang. Jangan mempermainkanku seperti ini. Kumohon bangun. Bibir Hadrick berpindah ke leher Bella yang lebih kurus. Lelaki itu menyesapnya sekuat mungkin, berniat memberikan rasa sakit, meski tidak mungkin.
"Tuan," Mizen memanggil prihatin. Hadrick tidak menyahut. Lelaki itu melepas beberapa kancing di pakaian rumah sakit Bella. Disesapnya kulit dingin wanita itu, lagi-lagi berniat membagikan rasa sakitnya. Tapi Bella yang tak sadarkan diri tidak bisa merasakannya.
"Tuan," panggil Mizen sekali lagi. Lelaki itu kewalahan. Karena lagi-lagi Bella yang malang hampir ditelanjangi. Hadrick selalu melakukan hal yang sama di setiap inci tubuh wanita itu.
"Tuan Hadrick!" Lain halnya dengan Mizen yang tidak berani membentak, seorang perawat datang tergesa dan meneriaki lelaki itu. Kali ini Hadrick menoleh dan merespon, dua perawat perempuan yang cerewet segera menjauhkan Hadrick dari tubuh istrinya.
"Lagi-lagi! Apa yang Anda lakukan?" Hadrick yang seakan terbiasa tidak menyahuti. Lelaki itu berhasil dijauhkan dari brankar Bella. Didudukkan di salahsatu sofa. Hadrick terlihat patuh pada dua perawat yang lebih tua darinya.
"Bisa Anda sadar dan tahan sedikit? Kasihan istri Anda!" Salahsatu dari mereka mengomel, membuat Mizen takjub dan lega.
"Jika Anda benar menyayangi, menahan diri sebentar saja seharusnya mudah bagi Anda 'kan?" Yang lain menyahuti sambil berkacak pinggang.
"Asal kalian tahu saja," Hadrick menyeringai.
"Selama kami menikah, aku tidak pernah menyentuh istriku. Jadi sudah hampir setahun 'kan saya menahan diri, bukan hanya beberapa minggu."
Dua perawat yang tadinya meneriaki lantas diam. Salahsatu dari mereka tersenyum mengejek, "Lalu bagaimana bisa istri Anda hamil?" Mereka langsung terdiam. Rasanya tidak sopan mengungkit darah-daging Hadrick yang telah tiada. Yang di dalam hati Hadrick takutkan, sang Ibu malah menyusul anaknya.
"Saya menghamilinya sebelum menikahinya," Hadrick mengakui sambil tersenyum sinis. Lelaki itu tertawa hambar.
"Kata dokter boleh saja saya ingin menyentuhnya saat hamil, tapi selagi wanita itu sadar dan matanya terbuka, bagaimana bisa saya melakukannya? Bukannya ini kesempatanku, Nona Suster? Selagi wanita itu tidak sadarkan diri, matanya tertutup rapat, dipukul sekalipun tidak akan bangun, aku bisa menciumnya semauku, memeluknya atau—"
Hadrick menghentikan kalimatnya. Desahan napas lelaki itu terdengar lelah.
"Anda boleh memeluk atau menciumnya," akhirnya salahsatu dari perawat mengizinkan, yang disambut pelototan dari satu perawat yang lain. "Asal tidak lebih dari itu. Bajunya jangan dibuka-buka."
"Tidak bisakah kalian memasangkannya pakaian yang seksi untuk memanjakan mataku?" Hadrick bertanya.
"Maaf Tuan," mereka menggelengkan kepala. "Anda tidak mau istri Anda kedinginan 'kan?"
"Jika saya dilarang membuka dan menyingkap pakaiannya, bagaimana jika saya merindukan isinya?"
Beginilah Hadrick. Diberikan hati minta jantung. Lelaki itu terdengar begitu penuh harap, meski suaranya masih terdengar seperti setengah memerintah.
"Tetap tidak boleh Tuan," ternyata mereka tegas juga. Meski sudah dibujuk-bujuk seperti ini oleh Hadrick. Hadrick terlihat kecewa. Sayangnya mata bulatnya tidak merobohkan pendirian dua suster yang memikirkan kenyamanan pasien meski yang berulah suami pasien sendiri.
"Jika mata Anda memang sejelalatan itu, baiklah nanti akan kami kirimkan foto tubuh istri Anda saat kamu memandikannya. Seharusnya itu sudah cukup 'kan?"
"Dibilang cukup tentu saja tidak," Hadrick tertawa sinis. "Tapi baiklah. Aku setuju. Jangan lewatkan seincipun. Kulit mana yang tidak kutemukan di foto yang kelak kalian kirimkan, maka saya akan mencarinya sendiri di tubuh istri saya."
"Ini kesepakatan kita, Tuan." Salahsatu dari mereka mengulurkan tangan, mengajak berjabat. "Dimohon untuk tidak diingkari."
Hadrick tertawa miris, lelaki itu menyambutnya lalu menjabatnya dan mengangguk. "Baiklah, demi Tuhan tidak akan kuingkari. Kecuali jika istri saya sudah sadar nanti."
Kata 'sadar' membuat keempatnya terdiam secara bersamaan. Tidak ada yang bisa menjamin hal itu, itulah yang terbersit di empat kepala sekaligus. Terlebih Hadrick yang wajahnya langsung mengeras. Lelaki itu berusaha membangkitkan diri, diincarnya tubuh Bella, lelaki itu ditahan sejenak oleh salahsatu perawat yang mengingatkan kesepakatan dengan tatapan tajam.
Hadrick tersenyum, "Hei, kalian bilang aku boleh mencium dan memeluknya 'kan?"