webnovel

Bab 7

Pagi telah menyapa, pagi ini langit nampak cerah, matahari bersinar terang. Burung-burung saling berkicau dan berterbangan di atas sana. Pagi ini pukul enam Hanum sudah selesai dengan tugas dapur. Meski ia masih kepikiran soal semalam, tetapi Hanum yakin jika mereka berjodoh tidak ada seorang pun yang bisa memisahkan. Dan pagi ini Hanum punya kejutan untuk Seno, suaminya.

Setelah selesai menyiapkan sarapan pagi, Hanum beranjak ke kamar. Terlihat jika Seno sudah siap dengan pakaian kantornya. Hanum melangkah masuk ke dalam, wanita dengan dress berwarna putih itu berjalan menuju almari. Entah apa yang ia ambil, Seno yang menyadari itu hanya diam sembari terus pada aktivitasnya. Selepas itu Hanum berjalan menghampiri Seno dengan sedikit gugup.

"Mas, aku punya kabar gembira," ucap Hanum seraya menundukkan kepalanya.

Seno mengalihkan pandangannya. "Kabar gembira apa."

"Aku hamil, Mas. Ini hasil pemeriksaanku kemarin pagi." Dengan penuh semangat Hanum menyodorkan hasil pemeriksaannya yang dari RS.

Seno mengambil kertas tersebut, ia membaca isi kertas itu dengan seksama. Mata Seno melotot saat melihat jika Hanum positif hamil. Pikirkannya kembali kacau, masalah yang baru terjadi saja ia tidak tahu bagaimana cara menyelesaikannya. Dan sekarang bertambah masalah lagi dengan Hanum hamil. Status mereka lama-lama bisa terbongkar jika Hanum hamil dan melahirkan.

"Gugurkan kandunganmu, Hanum! Aku tidak ingin bayi itu lahir, aku tidak mau kalau Cristie sampai tahu jika aku sudah menikah!" seru Seno. Mata elangnya menatap tajam kepada wanita yang tengah berdiri di hadapannya.

Hanum menggelengkan kepalanya dengan mata yang sudah berkaca-kaca. "Tidak, Mas. Sampai kapanpun aku tidak akan membunuh bayi yang tidak berdosa ini."

Tatapan Seno semakin tajam. "Hanum, apa kamu lupa kalau kamu hanya istri sementaraku saja. Dan kamu tahu apa itu artinya 'kan. Kamu juga sudah tahu jika Cristie sudah kembali, aku akan .... "

"Aku tahu, Mas. Aku memang istri sementaramu, tapi bukan berarti aku harus membunuh bayi yang sama sekali tidak berdosa. Aku hamil karena mempunyai suami, bukan hamil di luar nikah." Hanum memotong ucapan Seno.

"Kalau, Mas tidak menginginkan seorang anak, lalu untuk apa menikah. Untuk apa kita melakukan hubungan suami istri," sambung Hanum.

Plak, satu tamparan keras mendarat sempurna di pipi mulus Hanum. Sorot mata Seno menunjukkan amarah yang sudah tak terkendali lagi. Pria berkemeja putih itu merasa kesal dengan sikap keras kepala Hanum. Seno benar-benar tidak ingin jika bayi yang istrinya kandung itu lahir. Jika itu sampai terjadi, maka rencananya untuk menikah dengan kekasihnya bisa gagal.

"Kamu sudah tahu kan alasannya, untuk apa bertanya lagi. Dan untuk yang itu, bukankah itu kewajiban seorang istri yaitu melayani suaminya," ungkap Seno.

"Mas memang benar, tapi kenapa harus marah jika aku hamil," ujar Hanum.

"Kalau, Mas tidak mau mengakui bayi ini sebagai anak. Aku tidak keberatan, aku akan mengasuh dan membesarkannya sendiri." Hanum menatap wajah pria di hadapannya dengan air mata yang sudah luruh.

"Aku juga sadar kalau aku hanya istri sementara, dan aku tidak akan menuntut lebih. Jadi, Mas tidak perlu khawatir. Aku juga bukan dari keluarga berpunya, tapi aku masih punya cara dan akal untuk mengasuh seorang anak," lanjut Hanum.

Seno diam mendengar kata-kata Hanum. Namun dalam diri pria itu sama sekali tidak ada kata penyesalan. Demi ambisinya untuk menikah dengan wanita pujaannya, Seno berniat ingin membunuh darah dagingnya sendiri. Seno sama sekali tidak berpikir akan dosa, yang ada dalam benaknya adalah menikah dengan Cristie, kekasihnya

Setelah itu Hanum memilih keluar dari kamar, wanita itu berjalan menuju lantai bawah. Sementara itu Seno melempar kertas itu ke ranjang. Ia tidak menyangka jika hubungannya dengan Hanum telah membuahkan hasil. Mereka akan menjadi orang tua, seharusnya Seno merasa bahagia karena istrinya akan memberinya anak.

"Arght, kalau Hanum hamil akan sangat sulit untuk menceraikannya. Dan kalau Cristie sampai tahu soal ini, dia pasti akan pergi meninggalkanku lagi. Aku tidak mau kehilangan Cristie untuk yang kedua kalinya." Seno mengerang frustasi. Bahkan ia melempar vas bunga yang berada di atas nakas.

Seno tidak ingin kalau kabar kehamilan Hanum sampai tersebar. Terlebih pada Cristie, ia tidak akan membiarkan kekasihnya tahu apa status Seno yang sesungguhnya. Pria berjas itu memutuskan untuk pergi ke kantor terlebih dahulu. Urusan Hanum bisa ia urus nanti. Seno melangkahkan kakinya keluar dari kamar, tetapi saat membuka pintu ia terkejut ketika mendapati istrinya berada di depan pintu.

"Cristie mencarimu." Setelah mengatakan itu Hanum berlalu dari hadapan Seno tanpa memperdulikan pria itu.

Seno menghembuskan napasnya, ia bisa melihat kesedihan di mata Hanum. Setelah itu ia memutuskan untuk turun ke bawah, Seno berjalan menuruni anak tangga satu persatu. Setibanya di dasar tangga, terlihat jika Cristie tengah menunggu. Seketika wanita seksi itu bangkit dari duduknya saat melihat Seno, Cristie berjalan menghampiri pria berkemeja putih itu.

Dan hal tak terduga terjadi, tanpa merasa malu Cristie menyambar benda kenyal milik Seno. Awalnya pria berkemeja putih itu merasa kaget dengan apa yang Cristie lakukan. Namun, akhirnya ia menikmatinya bahkan Seno menekan tengkuk Cristie untuk memperdalam. Mereka tidak sadar jika dari kejauhan Hanum menyaksikannya.

"Kamu benar-benar tega, Mas. Bisa-bisanya kamu melakukan ini saat status kita masih suami istri." Hanum meremas dress bagian bawahnya, hatinya terasa tercabik-cabik saat melihat adegan yang Seno dan Cristie buat.

Hanum menyeka air matanya, setelah itu ia memilih untuk pergi. Matanya tidak sanggup lagi untuk melihatnya. Sementara itu Seno dan Cristie masih menikmati adegan yang mereka ciptakan itu. Setelah cukup puas, keduanya mengakhirinya, Cristie tersenyum begitu juga dengan Seno. Bahkan pria berkemeja putih itu mencium kening Cristie dengan lembut.

"Sayang kamu bisa temenin aku pemotretan nggak." Cristie bergelayut manja di lengan kekar Seno.

"Memangnya ada apa? Tidak biasanya kamu minta ditemani." Seno membimbing Cristie untuk duduk di sofa.

"Nggak ada apa-apa, memangnya nggak boleh." Cristie merajuk membuat Seno merasa gemas.

Seno mencubit hidung kekasihnya itu. "Boleh kok, kita berangkat sekarang atau nanti."

"Sekarang juga boleh," ujar Cristie.

"Ya udah ayo." Seno bangkit dengan diikuti oleh Cristie. Seno merangkul pundak Cristie lalu berjalan keluar.

***

Waktu berjalan begitu cepat, pukul sebelas siang Hanum telah selesai membereskan baru serta barang miliknya. Hanum sudah memutuskan untuk pergi dari rumah Seno, ia tidak ingin jika berlama-lama di rumah itu. Seno benar-benar akan membunuh bayi yang sama sekali tidak berdosa itu. Demi keselamatan bayi yang tengah Hanum kandung, ia memilih untuk meninggalkan suaminya.

Toh, setelah Cristie kembali, Hanum akan tersingkir. Maka dari itu, sebelum Seno menceraikannya ia memilih untuk pergi. Memang Hanum lebih berhak atas Seno, tetapi untuk apa bertahan jika nantinya akan tersingkir. Wanita dengan balutan dress itu berjalan keluar dari kamar, sebelum pergi ia akan berpamitan dengan bi Siti. Selama tinggal di rumah itu Hanum sudah menganggap bi Siti seperti keluarganya sendiri.

"Bi, nanti kalau mas Seno nanyain aku. Bibi bilang saja kalau, Bibi tidak tahu ya," pesan Hanum pada bi Siti.

"Baik, Neng. Jaga diri baik-baik ya, jaga kesehatan. Ingat, Neng Hanum sedang hamil, jangan terlalu banyak pikiran." Bi Siti pun memberi Hanum pesan dan juga nasehat.

"Iya, Bi. Terima kasih ya, Bi untuk selama ini." Hanum memeluk perempuan paruh baya itu.

"Sama-sama, Neng. Semoga Allah selalu melindungimu." Bi Siti mengusap punggung Hanum dengan lembut.

"Iya, Bi. Aku pergi dulu ya." Hanum melepas pelukannya lalu mencium punggung tangan bi Siti.

Setelah berpamitan Hanum beranjak ke kamar untuk mengambil kopernya. Hanum melangkah sembari menarik kopernya yang berwarna hitam itu. Namun langkahnya terhenti saat ia ingat jika ada yang tertinggal. Hanum melepas kopernya dan berjalan menuju almari besar yang terletak di kanan ranjang.

"Aku yakin, mas Seno tidak akan mencariku. Justru dia akan merasa senang saat tahu aku telah pergi. Jadi aku harus membawa uang ini, ini lebih dari cukup untuk biaya hidup dan lahiran nanti." Hanum membuka brangkas tempat Seno menyimpan uang.

"Dasar bodoh, biasanya orang menyimpan uang di brangkas akan memakai kode, tapi ini enggak." Hanum mengambil semua uang itu, tak peduli berapa jumlahnya. Yang pasti tidak sedikit.

Setelah itu Hanum menutup kembali brangkas tersebut. Ia kembali menarik kopernya dan bergegas untuk keluar dari rumah mewah itu. Hanum tiba di pertigaan jalan di belakang rumah Seno, ia tengah berdiri menunggu taksi yang telah dipesan. Cukup lama Hanum menunggu, setelah taksi itu datang. Wanita berdress itu segera masuk ke dalam taksi tersebut.

Perlahan taksi yang Hanum naiki berjalan menyusuri jalan raya. Ia merasa lega karena bisa pergi dari kehidupan Seno yang membuatnya tertekan. Meski Hanum tidak tahu kehidupan seperti apa yang akan ia jalani nanti. Namun Hanum yakin, ia akan menemukan kebahagiaannya di luar sana. Ia harus kuat demi bayi yang kini masih berada di dalam perutnya.

***

Pukul delapan malam Seno baru tiba di rumah, hari ini adalah hari yang cukup melelahkan baginya. Namun ia cukup bahagia, karena bisa menghabiskan waktu bersama dengan wanita yang sangat dicintainya. Setelah memarkirkan mobilnya, Seno bergegas keluar dari mobil dan beranjak masuk ke dalam rumah. Tanpa merasa curiga Seno langsung masuk ke dalam kamar.

Setibanya di dalam Seno segera melepas jasnya di atas ranjang. Selepas itu ia hendak mandi, dan saat akan mengambil handuk Seno merasa curiga dengan pintu almari yang tidak tertutup rapat. Alhasil Seno mendekat ke almari dan membukanya, ia terkejut saat melihat isi lemari telah kosong. Dan alamari itu adalah tempat di mana baju-baju Hanum tersimpan.

"Kenapa lemarinya kosong, kemana baju-baju Hanum." Seno membuka pintu almari sebelahnya, tetapi ia tidak menemukan baju Hanum.

Setelah itu Seno bergegas turun ke bawah, ia akan mempertanyakan di mana Hanum berada pada bi Siti. Seno berjalan menuruni anak tangga, setibanya di bawah pria berkemeja itu melangkahkan kakinya menuju dapur. Tujuannya untuk menemui bi Siti, setelah di dapur terlihat perempuan paruh baya itu tengah sibuk mencuci peralatan dapur yang kotor.

"Bi, Hanum di mana?" tanya Seno.

Bi Siti menghentikan aktivitasnya dan membalikkan badannya menghadap sang majikan. "Maaf, Tuan. Tadi siang, Nyonya meminta izin untuk ke kantor, Tuan."

"Apa! Hanum ke kantor." Seno terkejut mendengar pernyataan dari bi Siti.

"Benar, Tuan. Katanya mau mengantarkan makan siang untuk, Tuan." Bi Siti terpaksa berbohong demi kebaikan Hanum.

Seno terdiam sejenak, benarkah jika Hanum ke kantor. Sementara dirinya baru ke kantor setelah jam makan siang. Ada rasa khawatir menyelimuti dirinya, entah kenapa saat Hanum tidak ada Seno merasa kesepian. Setelah itu ia memutuskan untuk kembali ke kamar, tubuhnya yang lelah ingin segera di rebahkan di atas ranjang.

"Seharusnya aku senang jika Hanum pergi, itu tandanya aku bisa dengan mudah untuk menikahi Cristie," ucap Seno seraya menaiki anak tangga.

"Apa mungkin Hanum akan mempertahankan kandungannya. Jika iya, ini akan menjadi masalah di kemudian hari. Ini tidak bisa dibiarkan." Seno mengambil ponselnya, ia berniat untuk menghubungi Hanum.

"Ah sial. Hanum kan tidak punya handphone, bagaimana aku bisa melacaknya." Seno mengumpat kesal. Namun itu adalah kesalahannya sendiri yang melarang Hanum untuk memakai ponsel.

Setibanya di kamar, Seno melempar ponselnya ke ranjang. Lalu merebahkan tubuhnya, ia melirik ke samping kiri. Biasanya di samping kiri selalu ada Hanum, tapi malam ini Seno harus tidur tanpa sang istri. Pria berkemeja itu menatap langit-langit kamarnya, bayangan Hanum selalu berlari-lari di pelupuk mata. Seno mencoba memejamkan matanya, tetapi sangat sulit.

Tiba-tiba saja pintu kamarnya di ketuk, Seno sedikit terkejut. Setelah itu ia bangkit dari tempat tidur dan berjalan menuju pintu. Seno membuka pintu kamarnya, terlihat jika bi Siti sudah berdiri di depan pintu.

"Ada apa, Bi?" tanya Seno.

"Di bawah ada, nyonya sama tuan besar, Tuan," jawab bi Siti.

Seno terkejut saat mengetahui jika orang tuanya ada di bawah. "Ya sudah, sebentar lagi aku turun, Bi."

"Baik, Tuan." Bi Siti membungkukkan tubuhnya, selepas itu ia beranjak dari hadapan majikannya.

Pikiran Seno kacau, kedatangan kedua orang tuanya pasti untuk bertemu dengan Hanum. Karena sebelumnya Regina dan Akbar pernah berpesan, mereka akan datang setelah kembali lagi ke Indonesia. Dan setahu Seno kedua orang tuanya baru tiba kemarin sore. Seno mondar-mandir tak jelas, otaknya tengah berpikir untuk mencari alasan jika mereka mempertanyakan keberadaan Hanum.