webnovel

ASISTEN BARU

"Ya, udah. Aku setuju kalau Tini jadi pembantu kita. Ingat ya, Mas. Tini harus rajin." Akhirnya kalimat persetujuan itu keluar dari bibir Ira.

Dito dan Indy pun saling bertatap muka barang sejenak, kemudian melempar senyum samar. Rencana keduanya berhasil. Kini, Indy akan lebih mudah untuk berdekatan dengan kekasihnya.

"Tini. Kamu diantar Ibu, ya." Dito meninggalkan kedua perempuan tersebut.

Ira pun menggiring Indy ke kamar khusus asisten. Sebuah tempat yang telah lama kosong. Mulai detik ini Inah akan memantau setiap gerak-gerik suami dan pembantunya. Entah kenapa hati Ira berkata jika ada yang tidak beres diantara mereka.

"Kamu harus berterimakasih karena sudah diizinkan tinggal di sini, Tini," ucap Ira memperingatkan.

"Iya, Bu. Aku paham," balas Indy polos.

"Kamu juga harus rajin dan cekatan. Kalau disuruh itu langsung manut,"

"Iya, Bu,"

"Hah! Apaan sih si tua bangka ini. Baru juga datang, tapi udah banyak permintaannya." Indy menggerutu kesal di dalam hati.

"Ya, sudah. Itu kunci kamarnya, ya,"

Ira pun meninggalkan Indy seorang diri di ruangan barunya. Sementara itu, Indy langsung merebahkan tubuh untuk melepas penat. Indy berhasil meninggalkan jabatan pelayannya di sebuah café guna memilih menjadi pembantu rumah tangga. Indy tak masalah, karena dengan begini ia dapat melancarkan misi.

"Secepatnya Dito harus jadi suamiku." Indy berangan-angan.

Malamnya, Dito dan Ira sudah siap menyantap makanan hasil racikan tangan Indy. Keduanya sedang menunggu wanita itu menyiapkan seluruh hidangan di meja.

"Silahkan dimakan, Pak, Bu," pungkas Indy, kemudian ngeloyor pergi.

Bersama-sama Dito dan Ira memasukkan sendok ke mulut mereka. Suapan pertama berhasil membuat dahi Dito berkedut.

"Kenapa, Mas?" Ira yang menyadari hal tersebut langsung bertanya.

Dito tak menjawab, melainkan ia memanggil asistennya untuk hadir di hadapan.

"Tini!" Laungan suaranya menembus hingga ke dapur.

Buru-buru Indy ngacir dan mendaratkan kaki di depan Dito dan istrinya. "Iya, Pak?" tanya Indy sopan.

"Kamu masak apa, sih? Gak enak begini,"

Degh!

Kepala Indy sontak tersentak ke belakang.

"Apa yang salah, Pak?" tanyanya keheranan.

"Masakan kamu asin banget. Bisa masak gak sih?"

"Hah?" Indy terperangah mendengar kritikan Dito.

Begitupun dengan Ira. Wanita itu melotot karena perkataan Dito. Ira sudah menicipi masakan Indy dan tidak ada yang salah dengan rasanya.

"Tini! Kamu harus bersyukur, karena sudah kubawa ke rumah ini. Kerjaan kamu harus bagus semuanya." Lagi-lagi Dito menginterupsi.

Indy tertunduk lesu. Hatinya menggerutu kesal atas perlakukan Dito. Apakah pria itu sedang bercanda? Ah, tapi tetap saja Indy merasa dipojokkan.

"Iya, Pak. Maafkan saya." Indy tak dapat berkata-kata.

"Ya, sudah. Sana pergi!" Dito mengibaskan telapak tangannya.

Dito dan Ira pun melanjutkan makan malam mereka seberes kepergian Indy. Ira enggan membahas perihal masakan. Mungkin memang benar jika lidah Dito merasa bahwa masakan itu asin.

"Tini. Bersihkan mejanya!" Dito kembali memanggil setelah menyelesaikan makan malam.

Indy ngacir dari dapur dengan membawa kain lap di tangannya. Tanpa menunggu arahan Dito lagi, Indy langsung menggosok meja dengan benda bewarna biru tersebut.

"Yang ini belum," cercah Dito saat melihat adanya kuah yang tercecer di meja.

Ira melihat jika Dito lebih cerewet dari biasanya. Ia kerap memarahi Indy apapun yang perempuan itu lakukan.

"Gak mungkin mereka ada hubungan kalau Dito terus-terusan marahin Tini," gumam Ira. Ia melirik wajah polos Indy dari ekor mata.

Tepat pada tengah malam di saat Ira sudah tertidur pulas, Dito mengambil kesempatan untuk keluar kamar. Ia beringsut ke bilik milik selingkuhannya, yakni Indy. Ada sesuatu yang mengganjal, karena ia telah membentak Indy saat makan malam.

Tok! Tok! Tok!

"Indy, buka pintunya!" Dito berbisik-bisik.

Indy yang sama sekali belum memejamkan mata langsung melompat dari kasur menuju pusat pintu. Dia menoleh ke kiri dan kanan setelah membukakan pintu tersebut untuk Dito.

Buru-buru Dito masuk sebelum ada mata yang melihat. Didekapnya tubuh Indy erat.

"Aku kangen," titahnya manja.

Indy melepas pelukan Dito dan mendorong tubuhnya kasar. Bibir Indy manyun serta kedua tangannya terlipat di dada.

"Mau apa, Mas? Bukannya tadi marah-marah?" sindirnya.

Dito mengenduskan napas berat. Dikecupnya dahi Indy singkat.

"Bukan begitu, Sayang. Sebenarnya Mas tadi cuma akting doang, supaya Ira gak curiga sama kita. Kalau Mas ramah sama kamu, bisa-bisa Inah jadi cemburu," terang Dito. Sejujurnya dia tak ingin melakukan hal tersebut.

"Kenapa kamu gak bilang, Mas? Kalau tahu begitu, kan aku gak perlu masukin ke hati," ucap Indy kesal. Andai saja Dito memberitahu lebih awal.

"Dengar, ya! Pokoknya kalau Mas marahin kamu, sebenarnya itu gak dari hati Mas. Semua itu Mas lakuin supaya Ira ga curiga,"

"Aku kesal banget sama kamu, Mas. Aku ikhlas kamu marahin asalkan bayarannya setimpal untukku." Indy semakin memajukan bibirnya.

"Iya. Kamu tenang aja kalau masalah itu." Dito kembali mendekap tubuh Indy.

Kedua insan itu memutuskan untuk merebahkan tubuh di atas ranjang. Hal itu berlangsung hingga subuh menjelang. Sebelum Ira bangun, Dito lebih dulu masuk ke kamar mereka. Sehingga perempuan malang itu tidak tahu jika suaminya telah tidur bersama wanita lain.

***

"Silahkan diminum." Indy menampakkan gigi pepsodentnya kepada sekawan ibu-ibu.

Hari ini kediaman Inah disambangi oleh beberapa temannya. Mereka memang biasa melakukan hal tersebut sebagai pengingat pertemanan. Ira yang sudah memiliki pembantu, kini tak perlu repot-repot lagi menyiapkan hidangan. Dia tinggal menyuruh Indy untuk melakukannya.

"Terimakasih ya, Tini," ucap Ira, kemudian mengizinkan Indy pergi.

"Itu siapa, Ra?" tanya Risa. Seorang wanita beranak dua.

"Pembantu baruku. Namanya Tini,"

"Kok bisa pakai jasa dia?" timpal Ulya. Teman Ira yang paling teliti.

"Awalnya Tini kerja di café suamiku, tapi karena rumahnya kebaran ya dia dibawa ke sini jadi pembantu,"

"Dito yang bawa?"

"Iya,"

"Hati-hati loh, Ra. Kamu wajib curiga tuh sama si Tini." Ulya memperingatkan.

"Ya, awalnya aku juga curiga, tapi Mas Dito sering marahin Tini di depanku kok,"

"Kali aja akting, Ra." Kali ini Dina pula yang menyela.

Ketiga teman Ira membenarkan. Bagi mereka Inah terlalu percaya pada Dito dan juga pembantunya itu.

"Saranku sih kamu harus berpenampilan lebih menarik, Ra. Lihat si Tini. Dia rapi dan harum banget loh," kata Ulya halus. Tak ingin menyakiti perasaan Ira.

"Iya. Jangan sampai suami kamu lebih tergoda sama si Tini ketimbang istrinya sendiri,"

Perkataan teman-temannya sukses meruntuhkan benteng pertahanan Ira. Seketika dia jadi tidak percaya diri dan mengkhawatirkan keberadaan Tini.

"Sialan mereka! Kalau kayak gini si Inah bisa curiga nih," geming Indy yang ternyata menguping pembicaraan ibu-ibu di ruang tamu.

***

Bersambung