Hari ini Zahra, Anna dan Reyhan sedang berada di panti asuhan. Yah, hari ini adalah hari Minggu. Jadi mereka libur kerja. Dan mereka manfaatkan waktu mereka untuk jalan-jalan ke beberapa panti asuhan dan panti jompo. Sebelumya mereka pergi ke tempat pembelanjaan terbesar di kota itu. Mereka memborong banyak mainan, makanan, pakaian, alat-alat belajar dan sebagainya. Bahkan tak tanggung-tanggung, Reyhan sampai menghabiskan puluhan juta rupiah.
Dan semua barang yang mereka beli, mereka bagi-bagikan ke Panti Asuhan Al Ikhlas, Panti Al Hidayah, Panti Asuhan Al Akbar, Panti Asuhan Aisyah, Panti Asuhan Amanah, Panti Asuhan Kasih Ibu, Panti Asuhan Tahfiz Qur'an, Panti Asuhan An-Nur dan terakhir Panti Asuhan Baiturrahmah.
Setelah ke panti asuhan, mereka juga pergi ke Panti Jompo Peduli Kasih dan Panti Jompo Lansia.
"Alhamdulillah, akhirnya selesai juga ya," kata Anna. Kini mereka berada di kafe untuk makan siang setelah sebelumnya mereka kerja keras kesana-kemari. Tentu mereka tidak hanya bertiga, tapi juga ada beberapa orang bawahan Reyhan, namun mereka pulang lebih dulu karena masih ada pekerjaan lain yang harus mereka selesaikan.
"Iya, selanjutnya kita pergi kemana?" tanya Reyhan.
"Aku pengen pulang aja," jawab Zahra karena perasaannya gak enak sedari tadi.
"Kenapa? Suamimu meminta kamu pulang?" tanya Anna.
"Enggak, hanya saja aku lelah pengen istirahat," balas Zahra.
"Hmmm padahal aku masih ingin ngajak kamu dan Anna ke pantai," ucap Reyhan kecewa.
"Maaf ya, mungkin lain kali aja." Sahut Zahra tak enak hati.
"Iya gak papa."
"Kalau Zahra pulang, aku juga mau pulang. Gak enak kalau jalan-jalan gak ada kamu, Za," rajuk Anna.
"Iya sudah, aku akan antar kalian pulang," ucap Reyhan yang tak mau memaksa. Percuma jalan jika Zahra melakukannya karena terpaksa. Bukan karena keinginannya sendiri.
Zahra dan Anna pun hanya menganggukkan kepala. Lalu Reyhan pun mengantarkan mereka pulang, pertama-tama Reyhan mengantar Anna lebih dulu baru terakhir mengantar Zahra.
"Za, makasih ya sudah nemenin aku jalan-jalan hari ini." Reyhen mengucapkan terimakasih atas waktu yang di berikan oleh Zahra.
"Sama-sama, Mas. Aku senang bisa bertemu dengan mereka semua, ada banyak pelajaran yang bisa aku ambil dari mereka. Terimakasih juga sudah mengajak aku untuk berbagi dengan yang lain."
"Sama-sama, Za. Lain kali kita bisa pergi bersama jika mau kesana lagi,"
"Iya."
Tak lama kemudian, mereka pun sudah sampai di depan rumah Zahra.
"Terimakasih ya Mas."
"Sama-sama. Aku pulang dulu."
"Iya hati-hati."
Setelah kepergian Reyhan, Zahra pun langsung berjalan menuju rumahnya, namun betapa kagetnya dia saat melihat bada kedua orangtuanya di depan rumahnya.
"Abah, Umi. Sejak kapan di sini, kenapa gak nelfon Neng?" tanya Zahra sambil mencium tangan mereka secara bergantian.
"Abah sama Umi sudah hampir dua jam di sini. Umi juga nelfon kamu tapi gak di angkat, bahkan umi chat pun juga gak di balas," jawab Umi Hilda.
"Ya Allah, Maaf Umi. Ternyata Hp nya Neng silent." Zahra pun langsung mengambil Hp yang ada di dalam tas, dan ia kaget karena ternyata nomernya ia silent.
"Tadi kamu di antar siapa?" tanya Abah.
"Oh itu Mas Reyhan, atasan Neng di kantor. Nanti Neng cerita di dalam aja." Zahra mengambil kunci dari dalam tas dan membukakan pintunya.
Mereka pun bersama-sama masuk ke dalam dan duduk di sofa. Zahra menaruh tasnya di meja lalu ia pergi ke dapur dan membuatkan minuman untuk kedua orangtuanya.
"Neng, kenapa Neng di antar laki-laki lain? Neng kan tau, Neng sudah menikah. Tak baik laki-laki dan perempuan jalan bareng," tegur Umi saat Zahra menaruh teh di atas meja di hadapan mereka.
Zahra duduk di samping uminya, dan setelah itu baru ia menjawab pertanyaan orangtuanya.
"Umi, Neng gak pergi berdua tapi sama sahabat Neng, dia Anna. Masih ingat kan sama Anna, dan kami pergi untuk mengunjungi beberapa panti asuhan dan panti jompo untuk berbagai sama mereka. Dan lagi Neng sudah izin sama Ms Andre, dan Alhamdulilah dia ngizinin." Zahra pun menjawab dengan santai dan ramah.
"Terus kenapa Neng tiba-tiba kerja, lalu mana suaminya Neng. Terus mobil di depan itu punya siapa?" tanya Umi penasaran.
"Ya ampun Umi, kalau nanya mah satu-satu hehe. Pertama, Neng kerja karena Neng bosen di rumah terus. Lagian juga Mas Andre tak mempermasalahkan Neng kerja dan mengejar karir Neng. Kedua Mas Andre lagi ada urusan jadi tak bisa pulang. Mungkin lusa baru pulang. Dan masalah mobil, itu mobil perusahaan karena Neng menjabat sebagai sekertaris CEO, makanya Neng mendapatkan fasilitas mobil."
"Sejak kapan suamimu pergi Neng?" tanya Abah dan Zahra bingung mau jawab apa. Haruskah ia berbohong atau menjawab dengan jujur.
"Neng Abah nanya, kog diam? Sejak kapan suamimu pergi?" tanya Umi Hilda.
"Emmm sudah beberapa hari lalu," jawab Zahra.
"Sejak kapan Neng lebih tepatnya?" desak Abah.
"Saat Abah, Umi, Mama dan Papa pergi dari sini, tak lama kemudian Mas Andre ikutan pergi," jawab Zahra takut.
"Dan sejak itu suamimu tak pulang?" tanya Abah tegas. Dan Zahra pun hanya menganggukkan kepala.
"Lalu Neng tau, suami Neng pergi kemana? Tak mungkin jika masalah pekerjaan karena suamimu itu masih cuti dan belum masuk kerja," ujar Abah, ada raut wajah kecewa disana.
"Neng gak tau." Zahra memilih jujur takut jika kedua orangtuanya nanya banyak hal dan ia malah bingung menjawabnya.
"Astaufirullah. Kenapa seperti ini? Umi fikir hubungan kalian baik-baik saja. Pantas Umi curiga saat kamu bekerja padahal baru aja nikah. Jadi inikah alasannya? Jangan bilang suamimu itu tak memberikan kamu nafkah lahir bathin?" tanya Umi lagi. Dan Zahra memilih diam karena memang kenyataannya ia tak mendapatkan itu semua.
Melihat Zahra diam, Umi Hilda pun menangis, sedangkan Abah Ahmad cuma diam. Mungkin ia menyesal sudah menjodohkan putrinya dengan laki-laki yang salah.
"Kenapa kamu tak cerita Neng? Kenapa hanya diam aja?" tanya Umi menangis.
"Neng gak papa Umi. Mungkin Mas Andre juga butuh waktu buat nerima Neng. Semua ini begitu dadakan. Neng pun juga sebenarnya belum siap. Neng mohon, jangan sampai masalah ini sampai di dengar oleh mama dan papa. Cukup abah dan umi aja yang tau. Biarkan masalah ini Neng hadapi sendiri. Bagaimanapun Neng sudah menikah, dan Neng sudah jadi milik Mas Andre. Jadi Neng mohon, izinkan ini menjadi masalah Neng, jangan ikut campur," ucap Zahra.
"Tapi Neng ... umi gak bisa hanya diam aja sedangkan kamu di terlantarkan seperti ini. Umi merasa berdosa karena menjadi penyebab kesedihan kamu,"
"Sudahlah, Umi. Jangan menyesali apa yang sudah terjadi. Neng yakin, kelak Mas Andre pasti berubah. Walaupun abah dan umi tak menjodohkan kami, tapi jika memang Mas Andre jodohnya Neng, tak akan ada yang bisa menghalangi, siapapun itu." Zahra berusaha untuk tegar, ia tak mau terlihat lemah di depan siapapun.
"Maafin Abah Neng," ujar Abah Ahmad.
"Sudahlah, Abah. Neng gak papa. Neng kuat. Lagian dengan begini, Neng bisa mengejar karir Neng. Neng juga sangat menikmati kehidupan Neng yang seperti ini. Neng bahagia," tutur Zahra tersenyum.
Namun senyuman itu malah membuat kedua orangtuanya semakin merasa bersalah.
"Gimana jika Neng pulang ke rumah. Dari pada Neng kesepian di rumah ini sendiri. Nanti jika Andre sudah pulang, baru Neng bisa balik ke rumah ini,"
"Gak, Umi. Neng lebih suka tinggal di sini. Walaupun sendiri, tapi Neng menikmatinya. Sudahlah, jangan terlalu memikirkan Neng hehe. Oh ya ayo di minum tehnya, mumpung masih hangat." Zahra pun terus tersenyum dan berusaha tegar.
Abah dan Uminya pun mengangukkan kepala, mereka meminum teh itu hingga habis tak tersisa.
"Abah dan Umi mau nginap di sini kah?" tanya Zahra.
"Enggak, Neng. Abah sama Umi mau pulang aja Kamu jika ada waktu pulanglah ke rumah. Emang Neng gak kangen sama Umi dan Abah?" tanya Umi Hilda.
"Ya Kangen Umi. Tapi aku pulangnya selalu malam. Kadang jam 7, kadang jam 8 malam baru pulang. Makhlumlah Umi, jadi asisten pekerjaan kadang seperti tiada habisnya hehe. Tapi Neng suka dengan pekerjaan Neng. Apalagi gajinya pun sepuluh kali lipat di banding karyawan yang lain. Bikin Neng semakin semangat kerjanya hehe," balasnya tersenyum mensyukuri rezeki yang Allah berikan padanya.
"Syukurlah jika Neng betah dan menyukai pekerjaan Neng yang sekarang. Kalau gitu Abah dan Umi mau pulang, Neng jaga diri baik-baik ya. Jika ada sesuatu, jangam sungkan-sungkan menghubungi Abah dan Umi,"
"Siap."
"Neng, jika Andre menyakitimu, mengkhianatimu apalagi sampai melukai fisikmu. Jangan sungkan bilang ke Abah, biar Abah yang kasih pelajaran buat laki-laki seperti itu," ujar Abah yang masih sedikit emosi, putri kesayangannya di perlukan seperti ini.
"Abah, tak boleh seperti itu. Jangan suka menaruh dendam atau kebencian di hati Abah. Ingat, laki-laki yang kini jadi suami Neng adalah pilihan Abah sendiri. Jadi Neng mohon, jangan memperburuk kedaan. Apapun yang terjadi ke depannya, jangan melakukan apapun kecuali Neng sendiri yang minta bantuan Abah dan Umi. Dan Neng harap jangan sampai memberitahu tentang sikap Mas Andre kepada mama dan papa. Neng tak mau jika masalah ini semakin melebar kemana-mana,"
"Baiklah. Abah mengerti. Abah janji tak akab memberitahu sikap Andre kepada mereka. Abah dan Umi pulang dulu, Assalamualaikum."
"Waalaikumsalam."
Setelah itu mereka pun segera pergi. Zahra menatap kepergian mereka dengan hati yang berdebar-debar. Sesungguhnya ia tak mau keadaan rumah tangganya sampai di ketahui oleh keduaorangtuanya. Namun ia pun tak bisa berbohong sama mereka saat mereka menanyakan tentang suaminya. Ia tak terbiasa untuk berbohong.
Setelah kedua orangtuanya pergi, Zahra pun segera menutup pintunya, lalu ia segera mencuci gelas yang kotor. Lalu lanjut ia pergi ke kamar untuk mandi, sholat lalu tidur siang. Ia tak perlu makan, karena ia sudah makan siang bersama Reyhan dan Anna.
Sedangkan di dalam mobil, kedua orang tua Zahra merasakan penyesalan yang teramat dalam. Terutama Ahmad, Abahnya Zahra. Ia yang bersikokoh ingin menjodohkan putrinya dengan anak sahabatnya karena ia percaya Zahra pasti akan bahagia jika menikah dengan Andre Nyatanya buka kebahagiaan yang di dapatkan oleh putrinya, melainkan sebaliknya.
"Mas, hatiku rasanya sesak melihat rumah tangga Zahra seperti itu. Ternyata Zahra di tinggal gitu aja, bahkan ia tak di nafkahi lahir bathin. Seharusnya ia bahagia karena masih pengantin baru, nyatanya ia malah langsung mencari kesibukan sendiri dengan bekerja untuk mengusir kesepiannya karena di tinggal suaminya entah kemana. Mas, aku merasa berdosa karena menjadi penyebab hancurnya hidup putriku sendiri," curhat Hilda, Uminya Zahra. Dadanya sesak saat tau bagaimana putrinya menjalani kehidupannya selama ini.
"Aku juga gak tau dek, Mas juga bingung. Mas pun juga menyesal, tapi semuanya sudah pecuma karena sudah terjadi. Mas juga gak bisa membicarakan masalah ini sama Agus dan Ayu karena bisa-bisa masalah ini akan melebar tapi jika di biarkan, kasihan juga putri kita. Mas bingung," sahutnya yang merasa sedih memikirkan nasib putrinya ke depannya.
"Sebenarnya Andre pergi kemana ya Mas? Jika ia pergi saat baru tiba di rumah itu artinya sudah hampir seminggu. Dan kemana dia selama seminggu? Gak mungkin kan dia punya selingkuhan?" tanya Hilda menerka-nerka.
"Jika dia berani berkhianat, Mas gak akan pernah memaafkannya. Mas akan beri dia pelajaran," balas Ahmad geram.
Hilda pun hanya diam, tapi entah kenapa firasatnya mengatakan jika Andre punya wanita lain di luar sana. Tak mungkin seorang laki-laki betah di luar sana berlama-lama sedangkan di rumah ada istrinya. Kecuali jika laki-laki itu punya wanita yang dicintainya.
Mereka pun diam memikirkan Zahra dan Andre. Namun walaupun begitu Ahmad tetap berusaha untuk fokus menyetir.
Tak lama kemudian, mereka pun sampai di depan rumah mereka.
Jika ada typo, silahkan komen di bawah ya temen-temen. Salam kenal dari Author Evi Tamala